Demonstrasi Tanpa Mengerti Substansi
Aksi damai yang dilakukan dibeberapa
kota di Indonesia pada Senin (23/9),
merupakan bentuk kekecewaan masyarakat dan mahasiswa terhadap wakilnya di parlemen. Beberapa kebijakan
yang diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
dianggap hanya mementingkan golongan tertentu. Praktek oligarki yang telah
dihapuskan pada saat reformasi memiliki potensi untuk dihidupkan kembali
melalui beberapa Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kemungkinan akan disahkan.
Aksi damai penolakan sejumlah RUU juga
merupakan bantahan dari argumen bahwa mahasiswa telah kehilangan ‘gaungnya’
pasca era reformasi. Namun, antitesa dari argumen tersebut
harus ditelusuri lebih dalam. Apakah mahasiswa mengerti substansi dari demo itu
sendiri? Atau hanya ajang mencari eksistensi dan mengisi instastory?
Untuk mengetahui hal tersebut saya menelusuri Aksi damai di Gejayan, Sleman,
Yogyakarta.
Beberapa kali saya ditolak untuk
melakukan wawancara dengan para peserta aksi. Mereka tidak bersedia untuk
diwawancara dengan alasan sudah ada yang berkepentingan untuk menjawab
pertanyaan dari rekan media dan wartawan. Namun, beberapa peserta enggan
menjawab pertanyaan karena mereka tidak mengerti substansi dari aksi tersebut.
Mereka langsung memangggil serta menunjuk peserta yang mereka anggap lebih
kompeten untuk menjawab. Padahal seharusnya, setiap mahasiswa mengerti akan
poin-poin apa
saja yang dituntut.
Demo menurut saya adalah bentuk paling
nyata dari demokrasi. Masyarakat secara langsung turun ke jalan menyampaikan
apa yang mereka inginkan. Tidak lagi melalui wakil ataupun pihak ketiga. Aksi
seperti demo sejatinya adalah panggung untuk menyampaikan aspirasi. Jika
mahasiswa datang dengan tujuan hanya untuk meramaikan, apa bedanya dengan
mereka yang dibayar untuk teriak-teriak dan hadir di setiap aksi demonstrasi?
Jika hanya nurani yang kalian jadikan alasan, lapisan masyarakat mana yang
tidak tergugah hatinya melihat carut-marut kondisi ibu pertiwi?
Lalu, apa sebenarnya yang membuat mereka
pantas untuk menyandang kata maha disetiap penyebutannya? Secara terminologis (bahasa), kata mahasiswa merujuk kepada mereka yang belajar di
perguruan tinggi atau universitas. Tapi menurut saya, gelar mahasiswa jauh
lebih luas dari kalimat tadi. Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat, agen
perubahan, serta komponen yang paling memiliki kapabilitas untuk menghubungkan
masyarakat dengan anggota dewan. Jika mereka tidak mengetahui masalah-masalah
apa saja yang tengah terjadi di dalam masyarakat, apa masyarakat mau diwakilkan
oleh mereka yang tidak peka dan paham akan kebutuhannya?
Melalui tulisan ini, saya ingin para
mahasiswa, termasuk diri saya sendiri, untuk berkaca dan merefleksikan diri
apakah kita telah pantas menyandang gelar mahasiswa. Apakah kita pantas untuk
mewakili kaum-kaum yang termarjinalkan di negara ini? Mari kita berpartisipasi
dalam suatu bentuk demokrasi yang dijaga keabsahannya menurut UUD 1945.
Mari kita memperjuangkan hak-hak mereka yang masih tertindas. Bukan sebagai
ajang untuk memenuhi ego kita sendiri, tapi ajang untuk menunjukan bahwa masih
ada lapisan masyarakat yang tidak didengar suaranya oleh para penguasa. Mari
pahami substansi. (M. Rizky Fabian)
Editor:
Marcelina Mia Amelia
Tulis Komentarmu