Merawat Ingatan di tengah Kebisingan Peradaban
“Perjuangan melawan kekuasaan adalah
perjuangan melawan lupa” - Milan Kundera.
Melawan tidak harus dengan senjata.
Inilah yang terjadi saat ini. Merawat ingatan ditengah kebisingan peradaban.
Siapa yang pernah menjamin bahawa hak asasi manusia tidak bisa dilanggar oleh
orang lain. Bahkan penguasapun tidak bisa manjamin hal itu. Hak Asasi Manusia
adalah hak yang mutlak dimiiki oleh semua manusia sejak lahir tanpa
pengecualian.
Pasca beralihnya dua rezim besar di
Indonesia, Orde Baru dan Orde Lama menyisakan banyak masalah yang masih gelap.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa itu sampai saat ini masih
diperjuangkan oleh berbagai kalangan. Tragedi 65-66, Tregedi Talangsari,
Tragedi Semanggi, Kerusuhan Mei 98, Penculikan aktivis, dan banyak lagi
pelanggaran HAM lainnya yang masih belum terselesaikan.
Mengherankan memang, peristiwa besar
dan berdarah tersebut tidak tertulis dalam buku-buku sejarah yang dipelajari di
Sekolah, lalu luput begitu saja dari ingatan kolektif masyarakat kita. Tidak
disebutkan dalam buku sejarah yang beredar di sekolah bahwa tragedi 65-66
merupakan sebuah tragedi kemanusiaan paling basar dalam sejarah bangsa
Indonesia (Giebels, 2005). “sejarah adalah tentang siapa yang menuliskan,
bukan tentang siapa yang dituliskan”
Menjelang pukul empat rombongan tiba
dan manempatkan diri mereka tepat di depan Tugu Pal Putih Jogja. Pakaian
mereka serba hitam. Dibawah gagahnya lambang kota Jogjakarta ini mereka berdiri
dibawah sebuah payung berwarna hitam dan bertuliskan Aksi Diam, Hitam, Kamisan.
Sebuah spanduk panjang bertuliskan
KAMI TIDAK MELUPAKAN, KAMI TIDAK MEMAAFKAN serta terpampang 13 foto para korban
pelanggaran HAM seperti Munir, Wartawan Udin, Wiji Thukul, dan korban-korban
lain mereka gelar didepan mereka.
Guratan merah matahari mulai
menampakan diri pada wajah langit sore itu. Tanda bahwa mereka sudah saatnya
membubarkan diri. Aksi ini diakhiri dengan orasi-orasi dari para pegiat aksi
dan juga pembacaan sikap. Rilis yang sudah mereka susun malam harinya mereka
bacakan dengan lantang ditengah-tengah gaduhnya jalan raya.
Kamis itu 23 Oktober 2014 adalah
aksi pertama mereka di masa pemerintahan Presiden Jokowi yang baru saja
dilantik beberapa hari sebelumnya. Aksi saat itu mereka berikan untuk pemimpin
baru kita. Hal ini mereka pertegas dengan pernyataan sikap yang mereka tulis
dan bagikan kepada pengguna jalan di sekitar Tugu Jogja.
Mereka menuntut agar dalam masa
jabatannya kedepan Jokowi-JK memiliki niatan untuk menuntaskan kasus-kasus yang
sudah lama mangkrak ini. Mereka juga menyerukan kabinet bersih, tidak boleh ada
keterlibatan orang-orang bermasalah dalam kabinet Jokowi nanti, serta tidak ada
politik balas budi “Koncoisme”.
“Demikian aksi kita sore ini. Kami
mengundang semua elemen masyarakat, siapapun itu untuk bergabung dengan kami,
berdiri bersama kami setiap Kamis sore ditempat ini. Mari kita kawal pemerintah
kita untuk malaksanakan pemerintahan yang benar-benar adil. Mari kita berdiri
bersama mendampingi para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dimanapun
untuk terus berjuang,” ungkap korlap aksi sore itu.
Partisipasi Aksi Kamisan Jogja
Siapa mereka dan apa yang akan
meraka lakukan ?
Perkenalkan, mereka adalah gabungan
dari beberapa mahasiswa, aktivis, akademisi, dan beberapa profesi lain yang
menyatakan diri mereka sebagai Komite Aksi Kamisan Jogjakarta. Sebuah gerakkan
yang belum lama muncul dan menteror pengguna jalan disekitar Tugu Jogja setiap
Kamis sore. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai kepedulian dan semangat
juang yang sama untuk melawan serta mengutuk pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi
Manusia di Indonesia. Mereka adalah orang yang percaya bahwa Hak Asasi Manusia
adalah sebuah kekayaan manusia yang dimiliki sejak lahir tanpa memandang
siapapun orang itu, dan tidak ada satupun orang yang bisa merampas hak itu.
Terbentuknya Komite Aksi Kamisan di
Jogja ini bermula dari sebuah acara yang bernama “GO RIGHTS” yang
diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga dalam rangka perayaan 10 tahun KontraS.
Hariz Azhar yang merupakan
koordinator KontraS dan juga pegiat HAM mennyarankan teman-teman di Jogja untuk
menggelar aksi solidaritas terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM
di Indonesia. Kemudian terbentuklah Komite Aksi Kamisan yang dimotori oleh
aktivis-aktivis mahasiswa dari sebuah organisasi gerakan bernama Social
Movement Institute (SMI).
Aksi Kamisan mulanya diselenggarakan
di Jakarta tujuh tahun yang lalu. Terinspirasi dari aksi serupa yaitu “Plaza de
Mayo”, semacam aksi untuk mengenang para korban pembunuhan dan penghilangan
paksa yang terjadi pada rezim junta militer di Argentina yang dipimpin oleh
Jorge Rafael Videla. Sudah Kamis ke-371 aksi ini digelar di Jakarta, berdiri
kokoh diatas kaki-kaki para orang-orang sepuh yang ujung
rambutnya mulai memutih tetapi akarnya masih hitam pekat.
Aksi Sebagai Monumen Ingatan
Tujuan utama aksi ini adalah untuk
mengingatkan kepada pemerintah dan masyarakat bahawa masih banyak kasus-kasus
pelanggaran HAM di Indonesia yang harus diselesaikan.
“Kamisan tidak hanya menyuarakan
kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, kita juga merespon pelanggaran HAM
yang terjadi dibeberapa daerah dan Jogja juga,” papar Bandel Ilyas salah
seorang pegiat aksi kamisan.
Ia juga menyatakan bahwa aksi
Kamisan ini adalah suatu aksi yang berbeda dari aksi-aksi yang lain. Aksi kita
konsisten dilakukan, berbeda dengan aksi lain yang bersifat temporer dan
reaksioner.
Bandel Ilyas atau yang lebih
dikenal dengan nama Kirun adalah seorang aktivis gerakan sosial sejak menjadi
mahasiswa di ISI Jogjakarta. Laki-laki ini memjelaskan bahwa banyak isu yang
diangkat dalam kamisan, mulai dari isu HAM, politik, sosial, rasisme, hukum,
agraria, dan isu-isu lainnya.
Para pegiat aksi ini juga diajak
untuk terlibat langsung untuk melakukan konsolidasi langsung bersama para
korban di lapangan. Begitulah Kirun menganggap bahwa keefektifan aksi ini harus
dilihat dari tindak lanjut gerakan mereka yang tidak sebatas Kamisan saja.
“Teman-teman diajak untuk
mendampingi secara aktif para korban yang hak-haknya dirampas. Jadi teman-teman
di sini tidak sekedar berdiri dan orasi saja, tapi mereka juga harus tahu
keadaan dilapangan seperti apa,” ujar Kirun
Kirun mengungkapkan bahwa aksi ini
tidak sebatas untuk mengecam aksi-aksi pelanggaran HAM saja. Aksi Kamisan Jogja
juga diharapkan menjadi pintu awal untuk para pegiat sosial yang peduli dengan
HAM di Indonesia, dan aksi ini juga digunakan untuk merebut ruang publik di
Jogja yang selama ini banyak digunakan untuk kegiatan hiburan saja. Pemilihan
tempat di Tugu Jogja juga sangat diperhitungkan, perempatan Tugu Jogja sangat
representatif untuk menyuarakan aspirasi mereka.
“Saya kalau pulang kerja setiap hari
lewat sini, jadi setiap Kamis pasti lihat mereka. Awalnya tidak tahu mereka ngapain,
tapi lama-lama ngerti kalo mereka itu aktivis-aktivis. Saya salutlah, masih
banyak anak muda yang peduli sama sesama, sama negara,” ungkap Darmadi seorang
pegawai swasta yang setiap hari Kamis menyaksikan Aksi Kamisan saat menuju
perjalanan pulang.
Peristiwa-peristiwa itu memang sudah
lama terjadi, tetapi ingatannya masih basah dan tumbuh dalam pikiran-pikiran
keluarga korban serta para pegiat-pegiat sosial dan HAM. Reformasi sudah
menjajaki jalan panjangnya, pergantian Presiden saat era reformasi sudah
berganti lima kali. Sebelumnya, 10 tahun SBY menjabat sebagai Presiden dianggap
gagal dalam upaya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM.
Kini harapan mereka tertumpu pada
pemerintahan Jokowi-JK. Kalaupun memang tidak dapat terselesaikan, nantinya
paling tidak masyarakat tahu dan ingat bahwa pernah banyak terjadi
pelanggaran-pelanggaran HAM di Indonesia pada masa berkuasanya rezim besar di
Indonesia yang sampai saat ini tidak ada titik terangnya. “Kita harapkanlah
Jokowi memberikan kejutan yang positiflah kepada kawan-kawan yang tergabung
dengan aksi ini,” kata Kirun.
Aksi Kamisan adalah
sebuah monumen ingatan, monumen hidup yang menjadi saksi gelapnya sebuah rezim
yang pernah berkuasa di Indonesia. Membolak-balik lambar demi lembar sejarah
adalah sebuah tantangan. Mata dan telinga harus tetap dibuka lebar-lebar untuk
muatan-muatan sejarah demi menjauhkan generasi kita dari amnesia ingatan yang
akut. (Intan Maharani)
They told us, we must never look back.
But, we have to look back.
It is our sacred duty to look back.
“Imagining Argentina” (2003)
Tulis Komentarmu