Sedikit Mengenai UU KIP
Mungkin sebagian besar
mahasiswa di negeri ini tahu benar ada yang namanya Undang-Undang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP) yang mulai diberlakukan sejak 1 Mei 2010, tapi
mungkin juga, sebagian besar dari kita belum mafhum benar mengenai isi
undang-undang itu.
Tentunya kalimat di atas
bukan bertujuan untuk meremehkan tingkat intelegensia seseorang, apalagi merasa
paling tahu, sama sekali tidak. Hanya saja, ada baiknya kita posisikan diri
sebagai orang yang tidak tahu. Seperti kata seorang cerdik pandai: “Orang yang
paling bijaksana adalah orang yang mengetahui dia tidak tahu.”
Sejatinya, setiap orang
mempunyai kebutuhan dalam dirinya. Sebuah naluri untuk mengetahui apa yang
terjadi di luar pengalaman langsung diri sendiri, disebut informasi. Kita
membutuhkan informasi untuk menjalani hidup, melindungi diri kita, menjalin
ikatan satu sama lain, mengenali teman dan musuh. Oleh karena itu, informasi
harus dapat diperoleh oleh setiap orang. Tak terbayangkan betapa suramnya
kehidupan ketika aliran informasi tersumbat.
UU KIP kemudian menjadi
dasar hukum bagi Warga Negara Indonesia untuk memeroleh informasi dan mendorong
masyarakat terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan publik, terutama
keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Hal tersebut termaktub
dalam pasal 3 ayat a yang menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan
keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Salah satu kendala yang
paling sering ditemui untuk mengakses informasi publik adalah lembaga apa saja
yang bisa didatangi untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Untuk itu,
kita perlu mengetahui lembaga apa saja yang ditunjuk oleh negara untuk
menyediakan informasi publik, yang selanjutnya disebut badan publik.
Sesuai ketentuan Pasal 1
ayat 3 UU KIP, badan publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan
badan lain. Fungsi dan tugas pokok badan-badan tersebut berkaitan dengan
penyelenggaraan negara yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari
Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah atau organisasi non pemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara dan/atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri.
Singkatnya perguruan tinggi
baik yang negeri maupun swasta masuk dalam kategori badan publik.
Dengan demikian, perguruan
tinggi berkewajiban membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi
(PPID) sesuai amanat UU KIP. PPID adalah pejabat yang bertanggung jawab di
bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi
di Badan Publik. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sudah adakah PPID di
kampus kita masing-masing?
Jika belum, mungkin salah
satu penyebabnya adalah adanya kekhawatiran bahwa keberadaan PPID justru akan
menelanjangi badan publik. Itu sebabnya, kenapa badan publik (perguruan tinggi)
masih tergagap-gagap memahami dan menerjemahkan UU KIP, yang kelahirannya
memang ditujukan untuk membawa perubahan paradigma badan publik dalam mengelola
informasi.
Sebelum UU KIP berlaku,
pengelolaan informasi dilakukan dengan paradigma tertutup. Hampir seluruh
informasi adalah tertutup, kecuali yang diizinkan terbuka. Namun, setelah
berlaku, paradigma pengelolaan informasi bergeser menjadi pengelolaan informasi
secara publik. Artinya, seluruh informasi adalah terbuka (informasi publik),
kecuali yang dikecualikan.(Siti Nurhayati. "Keterbukaan Informasi Masih
Tersandera". Suara Karya, 9 Februari 2012)
Atau mungkin juga yang
menjadi penyebab adalah pemahaman yang belum terbentuk mengenai UU ini ,
seperti yang di katakan Rektor Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Dr
Maryatmo ‘’Prinsipnya kami sangat terbuka, terutama kepada mahasiswa, tetapi
terus terang kami belum mendalami UU KIP.
Banyak hal yang telah kami lakukan, yang utama kami membuka informasi
melalui website resmi universitas. Mengenai PPID, memang belum terbentuk,
tetapi ketugasannya telah dilaksanakan dengan cukup baik oleh bagian Humas.”
(komisi-informasi.jogjaprov.go.id/news, 15 Agustus 2014)
Tapi kita tidak boleh
terlalu berburuk sangka, karena wawancara itu dilakukan per 15 Agustus 2014,
mungkin sekarang keadaan sudah berubah. Panta rhei…..
Sungguh beragam kesulitan
akan ditemui badan publik ketika dirinya tidak membentuk PPID. Badan publik
akan kesulitan mengomunikasikan pengumpulan dan dokumentasi data, mengembangkan
layanan informasi, menghambat kinerja badan publik yang tidak membidangi hal
tersebut. Ketiadaan PPID juga berpotensi menghambat partisipasi masyarakat
dalam penentuan kebijakan publik serta berpotensi meningkatkan sengketa
informasi publik.
UU ini juga mengatur tentang
hak dan kewajiban badan publik, badan publik berhak untuk menolak memberikan informasi yang tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, yaitu (i) dapat membahayakan negara; (ii) berkaitan dengan
kepentingan perlindungan usaha dari persaingan usaha tidak sehat; (iii)
berkaitan dengan hak-hak pribadi; (iv) berkaitan dengan rahasia jabatan; dan
(v) informasi yang diminta belum dikuasai atau belum didokumentasikan.
Sebaliknya, badan publik
berkewajiban untuk menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi
daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya-tidak
termasuk informasi yang dikecualikan- yaitu: laporan keuangan terkait neraca,
arus kas, realisasi penggunaan anggaran., mengetahui rencana pembuatan
kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambilan keputusan publik,
serta alasan pengambilan suatu keputusan publik.
Ketika kewajiban-kewajiban
tersebut belum di penuhi oleh badan publik (baca : universitas) maka ada
indikasi bahwa badan publik tersebut masih dijalankan secara tertutup. Kalau
tertutup, lantas kenapa?
Kajian yang dilakukan Jeremy
Pope (2003) mengaitkan pemberantasan korupsi dengan keterbukaan informasi. Pope
percaya bahwa keterbukaan informasi merupakan prasyarat penting dalam
pemberantasan korupsi, dan salah satu elemen integritas nasional. Hipotesanya,
badan publik yang semakin terbuka informasinya semakin rendah tingkat
korupsinya.
Sengketa Informasi
Sengketa informasi publik
adalah sengketa yang terjadi antara Badan Publik dengan Pemohon Informasi
Publik (masyarakat), yang berkaitan dengan hak memperoleh dan menggunakan
informasi publik berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Sengketa informasi terjadi
salah satunya karena badan publik menolak memberikan informasi yang diinginkan
pemohon atau tidak menyediakan dan tidak mengumumkan informasi publik yang
termasuk kategori informasi publik wajib disediakan dan diumumkan secara
berkala.
Ada dua contoh kasus dimana
mahasiswa bersengketa dengan pihak Universitas, yaitu sengketa informasi di
Universitas Negeri Medan (Unimed) dan Universitas Hasanudin (Unhas). Khusus
untuk kasus di Unimed, bahkan berlarut-larut sampai ke Komisi Informasi Pusat.
(kebebasaninformasi.org. 6 Maret 2014)
Dua kasus tersebut identik,
dalam artian universitas tersebut belum mematuhi UU, mahasiswa memohon
informasi publik sebagai upaya untuk ikut mewujudkan terciptanya tata kelola
perguruan tinggi yang transparan dan akuntabel dan dua-duanya dimenangkan oleh
pihak mahasiswa.
UU KIP memang menyediakan
tiga mekanisme penyelesaian sengketa informasi, yaitu pertama, melalui atasan
PPID. Kedua, melalui Komisi Informasi. Dan ketiga, melalui pengadilan. Komisi
Informasi merupakan lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UU KIP dan
peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi
publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau
ajudikasi nonlitigasi.
Mekanisme tersebut dilakukan
secara bertahap, dalam arti jika mekanisme pertama tidak berhasil, maka
diselesaikan melalui mekanisme selanjutnya. Namun apabila dalam mekanisme
pertama telah dapat diselesaikan, maka mekanisme selanjutnya tidak diperlukan.
Pemilihan penyelesaian
sengketa melalui pengadilan akan berkonsekuensi terhadap : proses peradilan
berjalan lama, biaya yang dikeluarkan besar, proses peradilan membutuhkan waktu
dan energi besar dari para pihak, dan kemungkinan hilangnya momentum untuk
memanfaatkan informasi. Sehingga dalam hal ini, sebaiknya sengketa informasi
diselesaikan secara maksimal di komisi informasi, melalui mediasi.
Mungkin yang menjadi salah
satu kekurangan UU ini adalah proses sengketa yang berlarut-larut, karena
dengan proses mediasi pun perlu waktu kurang lebih 200 hari. Padahal nilai dan
daya guna suatu informasi sangat ditentukan oleh konteks waktu. Seorang
wartawan, misalnya, terikat pada deadline saat ia meminta informasi yang
berkaitan dengan berita yang sedang dia tulis. Dalam kasus lain seorang pegiat
hak asasi manusia membutuhkan informasi yang cepat, murah, dan sederhana dalam
aktivitasnya. Informasi bisa tidak berguna jika diperoleh dalam jangka waktu
yang lama, karena bisa tertutup oleh informasi yang lebih baru.
Bacaan
:
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat. 2010. Buku Saku Mengenal UU keterbukaan
Informasi Publik. Jakarta: Pelitaraya Selaras.
Tulis Komentarmu