Self-Publishing Buku Fotografi Bantu Warga Merapi
Yogyakarta, SIKAP ‒ Maraknya kemunculan buku fotografi dan
pemilihan metode penerbitan mandiri di masyarakat membuat salah satu kedai kopi
di Yogyakarta mengadakan diskusi mengenai penerbitan buku self publishing pada
Senin (28/3). Bertempat di Awor Gallery and Coffee, diskusi mengenai self-publishing dan
buku fotografi yang merupakan bentuk sumbangan terhadap masyarakat di lereng
Gunung Merapi ini berlangsung.
Dipandu Regina Safri,
pewarta foto ANTARA sebagai moderator, diskusi yang dimulai sekitar pukul 20.30
WIB ini menjadi pembukaan pameran buku fotografi. Acara yang digagas oleh Awor
Galery and Coffee dan LensaJogja.com ini menghadirkan penyusun buku fotografi
“Merapi Volcano”, Boy T. Harjanto yang juga memamerkan buku dan sebagian
fotografi jurnalistiknya di galeri. Pameran ini akan digelar hingga Minggu
(3/4) mendatang.
Boy T. Harjanto yang
diketahui sebagai pewarta foto baru saja menerbitkan buku kedelapannya yang
berjudul “Ruang Publik”. Seperti 7 karya sebelumnya, buku ini merupakan buku
foto yang digarap secara self publishing. Latar belakang penerbitan buku ini
yaitu dalam rangka membantu masyarakat terutama di lereng Merapi yang menjadi
korban letusan Gunung Merapi tahun 2010 lalu.
“Dahulu saat memotret
letusan Gunung Merapi untuk koran Jakarta Globe, saya menemukan orang-orang
berjualan souvenir-souvenir berkaitan dengan letusan Merapi, seperti foto,
kaos, VCD, dan sebagainya. Kemudian saya memiliki keinginan membuat buku foto
yang dapat dijadikan souvenir,” tutur Boy.
Ia menambahkan, pada
awalnya buku pertamanya yang berjudul “Merapi 120 FPS” hanya ingin dibagikan
kepada warga di pengungsian untuk kemudian dijual kepada wisatawan agar dapat
membantu perekonomian warga. Akan tetapi karena permintaan yang sangat tinggi,
buku tersebut dicetak ulang dalam edisi kedua dan ketiga yang berjudul “Merapi
Volcano” dan “Erupsi Merapi” hingga habis terjual sebanyak 10.000 eksemplar.
“Dua buku ini sebenarnya
menggunakan foto yang sama, tetapi angle-nya berbeda,” ungkapnya.
Kini, Boy tidak lagi
membagikan bukunya secara cuma-cuma, karena warga Merapi memaksa membeli
buku-buku tersebut meskipun dengan harga murah karena diyakini akan laku keras.
Diskusi kali ini memang
berbeda dibandingkan dengan diskusi yang pernah berlangsung di Awor Gallery and
Coffee. “Diskusi dengan tema self-publishing kali ini kami
angkat karena saat ini merupakan era buku fotografi. Sayangnya, buku fotografi
yang beredar di masyakarat saat ini masih dijual dengan harga mahal. Rupanya
ada buku fotografi yang dijual dengan harga tidak begitu tinggi, sehingga kami
membuat diskusi ini,” tutur panitia penyelenggara, Ryza Wijayanda Nugraha.
Laki-laki yang masih menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi UPN
“Veteran” Yogyakarta ini menuturkan acara diskusi sekaligus pameran ini bisa
berlangsung dengan baik karena lokasi yang digunakan merupakan kedai kopi
sekaligus mini galeri.
Metode self-publishing yang
digunakan Boy memang menjanjikan keuntungan yang besar. Tanpa bantuan pihak
lain kecuali percetakan, Boy cukup mengeluarkan modal awal sebesar 7,5 juta
rupiah pada awal 2011. Tidak disangka, buku-buku foto yang awalnya ditujukan
untuk charity ini terjual 28.000 eksemplar. “Buku fotografi ini juga sekaligus
sebagai arsip foto saya,” pungkasnya. (Lajeng
Padmaratri)
Tulis Komentarmu