Teman Istimewa dalam Jogja Exabilities
Editor : Fariha
Masyarakat yang hadir dan memberi tanda berpartisipasi dalam acara Jogja Exabilieties. (Rahayu Sekar Jati) |
Yogyakarta, Sikap – Sering
kali masyarakat kita memandang sebelah mata kaum disabilitas. Tidak jarang juga
mereka mendapatkan diskriminasi atau bahan bully.
Saat ini, kaum muda, terutama mahasiswa berusaha merubah stigma tersebut. Seperti
pada acara Jogja Exabilieties yang diselanggarakan mahasiswa Jurusan Ilmu
Komunikasi, Universitas Pembangunan “Veteran” Yogyakarta, di Lippo Mall, Sabtu (06/05) lalu.
Banyak dari
anak-anak di sekolah ini yang notabennya adalah anak “buangan”, yang tidak
memiliki orang tua. Namun mereka tetap mengerti akan status mereka di dalam masyarakat. Fatonah sudah menjadi
guru dengan dasar Pendidikan Luar Biasa (PLB) sejak tahun 1993. Dia pernah
mengajar di sekolah luar biasa di daerah Prambanan dan akhirnya pindah tugas di
Kalasan.
Tanda berpartisipasi dalam acara Jogja Exabilieties. (Rahayu Sekar Jati) |
“Karena saya
sudah lama di sekolah dengan anak-anak, saya sudah menganggap mereka seperti
keluarga. Saya bisa memberikan sesuatu kepada mereka dengan kondisi mereka yang
seperti itu. Walaupun bagi orang lain kecil, tapi saya merasa bisa memberikan
sesuatu yang berarti bagi anak-anak dan. Dari pribadi juga merasa bersyukur
karena bagaimanapun itu juga ciptaan yang kuasa,” tuturnya.
Kesulitan dalam mengajar dirasakan
ketika anak-anak tersebut sedang memiliki suasana hati yang buruk. Proses
kegiatan belajar mengajar akan terhambat. Jika sudah seperti itu, maka mereka
akan berusaha mengembalikan perasaan semangat kembali dengan mengajak anak-anak
jalan-jalan sejenak atau hanya sekedar membeli makanan di warung. Setelah emosi
mereka stabil, barulah proses belajar dapat dilanjutkan.
Hal
ini juga disebabkan oleh kebutuhan materi yang tidak terpenuhi. Kalau anak sedang
buruk emosinya, akan sulit untuk
diajak berkomunikasi. Karena secara materi, anak-anak yang tinggal bersama
orang tua dapat dengan mudah tercukupi
kebutuhannya. Berbeda dengan anak-anak di sekolah ini yang mereka harus
mandiri.
“Secara
tahapan tumbuh kembang mereka sudah mulai paham. Seperti setelah lulus sekolah
mau kemana, kerja apa, dan hal lain apa yang akan dilakukannya. Di sini
anak-anak komunikasinya bagus dan etikanya bagus. Nggak nakal,” ungkap Fatonah.
Bimo,
salah satu penyandang disabilitas yang duduk di bangku kelas 3 SMA juga
mengatakan kebolehannya dibidang musik dan seni. Ia pernah bermain drum, pada
pentas musik di kota Pati. Tidak hanya itu, banyak juga lukisan-lukisannya
indah yang berhasil ia buat. Hal ini tentu sangat membanggakan pihak sekolah,
terutama guru-gurunya.
Salah
satu penonton Jogja Exabilities, Abdullah Faqih, mahasiswa Jurusan Sosiologi
Universitas Negeri Yogyakarta, mengatakan bahwa Sebenarnya mungkin tidak ada niat
untuk diskriminasi mereka. "Kita tidak mengerti tentang kebutuhan mereka.
Makanya dibutuhkan acara-acara yang bikin mereka lebih show up.”
Berbeda dengan pandangan Ganis
Aryandaru, sebagai panitia acara Jogja Exabilities, mengungkapkan bahwa Indonesia sudah mulai membuka mata. “Menurut saya sekarang di
Indonesia sudah mulai diperhatikan. Sudah
ada undang-undang untuk memfasilitasi kaum difabel. Kayak contohnya di Jakarta.
Ada tempat duduk khusus untuk difabel di Trans Jakarta dan ada juga halte
khususnya,” ungkapnya.
Pada acara tersebut juga ada kanvas
yang terbentang berukuran 2x3 meter yang berisikan cap tangan yang
berwarna-warni. “Itu menjadi salah satu lambang bahwa kalian ikut
berpartisipasi dalam acara ini. Tujuannya agar kita tahu mereka yang istimewa
itu nggak beda sama kita. Mereka punya
kesempatan yang sama buat berkarya,” Tutur Raka Zayyan Nugraha, Koor Crowd
Management. (Rahayu Sekar Jati)
Tulis Komentarmu