Bergesernya Makna “Idul Fitri”
“Baju baru alhamdulillah, untuk dipakai di Hari Raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama,”. Begitulah bunyi lirik lagu anak-anak yang menggambarkan kesederhanaan Hari Raya Idul Fitri. Namun, seiring berkembangnya waktu, makna kembali ke fitri agaknya bergeser.
Sejatinya Idul Fitri bagi umat Islam merupakan hari kemenangan, karena umat Islam berhasil menjalankan ibadah puasa, mengendalikan hawa nafsu dalam menggapai kesucian selama Bulan Ramadhan. Pada Hari Raya Idul Fitri umat Islam kembali ke fitrah, yaitu suci seperti bayi yang baru lahir. Hal itu hanya dapat terwujud jika yang bersangkutan telah menunaikan ibadah puasa secara maksimal yang kemudian diiringi dengan ibadah lainnya berdasarkan keimanan yang tulus. Beberapa tahun belakangan, sudah menjadi tradisi mayarakat Indonesia bahwa setiap lebaran (Idul Fitri) semua orang beramai-ramai mendatangi toko-toko dan mall untuk membeli baju lebaran. Tradisi halal bihalal yang sekiranya menjadi ajang untuk bermaaf-maafan seakan berubah menjadi ajang untuk memamerkan baju lebaran dan riasan wajah yang mempesona layaknya pragawan dan pragawati dalam acara fashion show.
Sumber: http://www.sinyal.co.id/2015/06/ini-dia-daftar-diskon-belanja-online-di-40-e-commerce/#prettyPhoto/0/ |
Namun sayang, kini masyarakat Indonesia cenderung konsumerisme dan hedonisme. Konsumerisme yaitu lebih kepada gaya hidup, di mana barang mewah menjadi tolak ukur kebahagiaan dan kesuskesan dalam hidupnya. Sedangkan hedonisme, sebuah pandangan kenikmatan atas materi yang menjadi tujuan hidupnya. Keadaan seperti ini nampaknya dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup keuntungan. Kata diskon muncul bak sihir yang mampu memikat masyarakat untuk mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya demi mendapatkan baju lebaran yang mewah.
pengunjung masih memadati salah satu pusat perbelanjaan Ramayana Yogyakarta. Diiringi gema takbir, pengunjung terlihat rela mengantri demi mendapatkan baju raya idaman 24/06. (Mardella Savitri) |
Kondisi ini diperkuat oleh hasil penelitian terhadap konsumsi massa dalam hari-hari besar Islam yang dilakukan oleh seorang antropolog Amerika, Walter Ambrust. Ia mengindikasikan adanya kesenjangan antara perilaku umat Islam dan nilai yang menjadi tujuan ibadah lebaran. Terlihat umat Islam semakin tenggelam dalam arus hinggar-bingar penyambutan lebaran yang kini kehilangan substansinya. Pakaian baru nampaknya sudah menjadi prioritas utama dalam menyambut Hari kemenangan bagi umat Islam.
Menyoroti momentum ramadhan seperti ini umat Islam diharapkan dapat mengubah diri, tidak hanya bersih secara fisik melainkan juga bersih secara rohani. Lebaran tidak hanya menyangkut persoalan baju baru, tetapi lebih kepada memprioritaskan ikatan sosial sesama umat muslim dengan saling menghormati dan menghargai.
Mungkin sama dengan halnya berpuasa, dimana Allah SWT menyamaratakan umatnya untuk menjalankan kewajiban puasa selama 30 hari. Bukan hanya orang kaya yang wajib berpuasa selama sebulan penuh, tetapi juga bagi orang miskin. Bukan hanya anak muda, tetapi juga orang tua. Jika seseorang memiliki rejeki yang melimpah hendaknya ia tidak begitu saja menghamburkan uang untuk membeli banyak-banyak baju lebaran yang mahal, tetapi lebih baik apabila disisihkan uang itu untuk membayar zakat. Sehingga makna lebaran yang sesungguhnya, yaitu sebagai sarana silaturahmi antar sesama umat Islam dalam merayakan hari kemenangan dapat terlaksana dengan hikmat.
Editor : Kristi Dwi Utami
Tulis Komentarmu