Avikom Layar Tancap Jadi Alternatif Bagi Peminat Film Layar Tancap
Suasana pengunjung sedang menonton film yang sedang diputar pada ALT Vol.2, Sabtu (7/10). (Foto: Leo Bisma) |
Film jenis alternatif mulai digandrungi oleh sineas-sineas muda dari kalangan kampus untuk memamerkan hasil karya mereka. Konsep dari ruang pemutaran film-film alternatif ini pun cukup memiliki prinsip yang berbeda dari pada media pemutaran film konvensional seperti bioskop komersil.
Sabtu (7/10) lalu, Audio Visual Komunikasi (Avikom) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta kembali menggelar screening film di area lobi belakang kampus UPN Babarsari. Film-film yang ditayangkan merupakan hasil karya dari anggota Avikom sendiri berupa film pendek. Acara ini dinamai Avikom Layar Tancap (ALT) Vol.2 sebagai kelanjutan dari ALT sebelumnya. Agenda ini merupakan agenda rutin yang dilakukan oleh Avikom selama 2 bulan sekali.
Pemutaran film oleh Avikom pada ALT Vol. 2 di Kampus Babarsari. (Foto: Leo Bisma) |
ALT Vol.2 kemarin malam menayangkan film pendek karya mahasiswa Ilmu Komunikas UPN 'Veteran' Yogyakarta. Di antaranya adalah film 'Tan Hana Wighna Tan Sirna' karya Ayesha Alma Almera dan 'S.O.S' karya sutradara muda berbakat Amallia Putri Buda Utami.
'Tan Hana Wighna Tan Sirna' menceritakan kisah tentang seorang tentara yang hendak melaksanakan upacara bendera, namun mengalami banyak kesulitan dan hambatan. Tetapi, rasa nasionalisme yang kuat tidak membuatnya menyerah untuk melaksanakan upacara bendera. Film ini keluar sebagai pemenang dalam Indonesian Week Short Film di Jepang.
Semestara 'S.O.S' adalah sebuah film komedi bertemakan pencarian, yakni kisah dua orang lelaki tua bernama Sugeng dan Slamet. Slamet mengaku sudah melakukan perjalanan yang jauh demi menemukan adiknya yang telah lama tidak kembali pulang bernama Budi. Pertemuan antara Sugeng dan Slamet menjadi awal sebuah pencarian mereka. Film ini dikemas dengan kocak ditambah penampilan aktor yang mumpuni. Karakter Sugeng yang memiliki masalah pendengaran menambah nilai komedi dalam film ini sehingga jauh dari kesan membosankan.
Film ini menjadi debut bagi Amallia Utami, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2016. Ia memilih film sebagai medianya dalam berkarya. "Apapun yang menjadi perspektif kita bisa disalurkan. Bebas kita mengeluarkan pendapat serta bisa menggunakan nilai estetika pula. Jadi, penonton bisa memahami apa yang menjadi keresahan kita dalam suatu bentuk karya yang mengandung estetika,” ujarnya.
Karya yang disajikan dalam layar tancap tak hanya dari industri perfilman. Namun, ruang pemutaran film alternatif ini dapat menjadi momen komunikasi dua arah antara pembuat film dengan penontonnya. Mereka dapat bertukar pikiran melalui bedah film setelah film tersebut selesai diputar, dengan mengkritik ataupun memberikan apresiasi kepada pembuat film tersebut. Layar alternatif juga dinilai lebih mudah diakses bagi seluruh golongan masyarakat.
“Orang nggak terlalu lama menontonnya serta nggak perlu mengeluarkan biaya untuk melihatnya. Tinggal datang ke tempatnya, lalu menonton,” ungkap Amalia sambil tersenyum.
Layar-layar alternatif semakin menjamur lantaran berkembang pula media online. Sebut saja Kineria dan Viddsee, serta platform yang sifatnya lebih umum macam YouTube, Vimeo, bahkan Vine dan Instagram.
ALT Vol. 2 kemarin malam cukup meriah karena merupakan screening terbuka bagi mahasiswa. Salah satu pengunjung bernama Berlian Faluthia mengaku senang bisa menghadiri ALT. Ia tertarik untuk datang karena mendapat ajakan dari teman-teman yang tergabung dalam Avikom. Ia juga merasa terhibur dengan film yang diputar. “Kebanyakan ending-nya nanggung, ya. Jadi kita sebagai penonton hanya bisa berfantasi sendiri,’’ tuturnya.
Selain kedua film tersebut, ALT. Vol.2 juga memutar dua film lainnya yaitu 'Let See The Sun Down There' (L.S.T.S.D.T) karya Aryo Yudantoko dan 'Pail' karya Inovani Caradhigama.
Layar-layar alternatif menjadi ruang bagi penikmat film untuk melihat beragam film. Seperti yang telah diketahui, tidak semua film dapat menembus standar untuk bisa tayang di bioskop. Film bioskop mempunyai standarnya sendiri yakni berfokus pada pemenuhan indikator sisi teknis, estetis, dan ekonomi. Otomatis, bioskop komersial lebih menginginkan film-film yang memiliki nilai "jual". Sebenarnya hal seperti ini sah saja, namun berimbas pada film-film alternatif, seperti film dokumenter, film pendek, akan sulit menembus bioskop. Banyaknya minat yang ditunjukkan dan kebutuhan untuk mengakses film-film non-bioskop tersebut yang akhirnya membuat keberadaan layar alternatif bisa menjamur seperti sekarang ini. (Leo Bisma)
Editor : Derry Nur Hidayat
Tulis Komentarmu