Memaknai Bahasa Persatuan Indonesia dalam Sumpah Pemuda
Ilustrasi: Rahayu Sekar |
Oleh : Derry Nur Hidayat
“Hei, pemuda-pemudi Indonesia! Jika kutanya, 'Berapa jumlahmu'? Jawablah, 'Kami hanya satu!'” - Bung Karno
Terhitung 89 tahun sudah kita merayakan peristiwa bersejarah saat pemuda-pemudi Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda. Dengan semangat membara, kita bangga akan tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dan bahasa persatuan Indonesia.
Momen ini memasuki usia matang bila disandingkan oleh manusia. Namun, usia matang tak menjamin pula kematangan berpikir untuk bertingkah seperti orang dewasa. Janganlah, momen ini hanya sekedar selebrasi setahun sekali tanpa memaknai apa arti Sumpah Pemuda. Seakan peristiwa bersejarah ini hanyalah hiasan dalam kalender tahunan semata kini.
Saat ini Indonesia mengalami krisis karakter. Permasalahan degradasi moral bangsa indonesia akibat pengaruh narkoba, korupsi, dan nepotisme (mengutamakan kerabat dan keluarga). Seakan sudah terbiasa hal tersebut karena hampir setiap hari berita mengenai ini ditayangkan televisi dan surat kabar. Hal inilah yang menyebabkan Indonesia hanya jalan di tempat, sedangkan negara lain terus mengembangkan potensi dengan mengedukasikan pemuda dan generasi penerus yang siap bersaing dalam era globalisasi serta mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang berperan dalam kancah dunia.
Globalisasi dan modernisasi juga mempermudah budaya dan bahasa dari negara luar untuk masuk ke suatu negara tak terkecuali negara Indonesia. Semua orang berlomba-lomba mempelajari dan mendalaminya.
Lalu, bukankah dalam Sumpah Pemuda, bahasa pemersatu kita adalah bahasa Indonesia?
“Kami poetra dan poetri Indonesia menjoenjoeng bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”
Itulah kalimat terakhir Sumpah Pemuda yang diikrarkan dengan lantang oleh para pemuda Indonesia pada tanggal 12 Oktober 1928 silam. Bahasa Indonesia digunakan guna mempersatukan Indonesia yang beragam. Keadaan yang telah disadari para pemuda dahulu meredupkan sejenak perbedaan bahasa daerah masing-masing, bersatu demi tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, dengan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Hingga kini kita berhasil mencapai apa yang diidamkan, yaitu kemerdekaan.
Mirisnya, banyak hal yang menggelitik dapat kita jumpai di media sosial saat ini. Jika kita menggunakan tata bahasa Indonesia berdasar acuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD atau yang kini telah diperbaharui menjadi Ejaan Bahasa Indonesia) kerap kali mengundang tawa, karena terlihat kaku dan kuno dalam pergaulan di masa kini. Mirisnya, mereka melupakan bahasa persatuan demi diakui dalam pergaulan dengan sesama pemuda Indonesia.
Tak sedikit pemuda yang menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan sedikit bahasa Inggris, sedikit bahasa Korea, dan bahasa negara lainnya. Seakan kalimat-kalimat tersebut adalah bagian dari promosi kamus aneka ragam bahasa.
Kita lupa bahwa 89 tahun silam, para pendahulu kita telah bersepakat untuk bersatu menyingkirkan segala sekat yang menjadi penghadang dalam menyatukan anak bangsa, namun kini kita dengan mudah mengoyaknya.
Untuk itu, bersatulah dalam bahasa yang kita wujudkan dalam bahasa anti korupsi, bahasa anti keserakahan, dan bahasa anti kekerasan. Pada akhirnya kita nyatakan satu bangsa, bangsa yang berketuhanan, berkemanusiaan, bangsa yang bersatu, bangsa yang mengedepankan musyawarah, dan bangsa berkeadilan sosial, selayaknya Pancasila.
Tulis Komentarmu