Kampanye: Ajang Buka Lapak Otoritas
Oleh: Rahayu Sekar Jati
“Tak ada yang datang ke balapan mobil untuk melihat siapa pemenangnya. Mereka datang ke balapan mobil karena ingin melihat siapa yang kecelakaan, who goes up in flames.” Itu sepenggal kalimat dari tokoh Jean Bodine yang diperankan oleh Sandra Bullock dalam film 'Our Brand Is Crisis' yang rilis pada 2015.
Benar adanya. Mungkin memang seperti ada zat kimia dalam tubuh manusia yang lebih melihat nilai negatif daripada positif pada manusia lain. Hal ini sangat kentara pada saat musim kampanye politik tiba. Jika sedikit saja calon pemimpin melakukan kesalahan, seakan-akan hal itu adalah goresan tinta hitam di atas kertas putih.
Kampanye merupakan salah satu jalan promosi para calon pemimpin. Sama halnya dengan skirpsi yang harus dilewati mahasiswa untuk mendapatkan gelar sajana S1, kampanye harus dilewati seseorang jika ingin menduduki singgasana presiden dan jajarannya. Mengapa demikian? Sebab kampanye merupakan jalan bagi para calon untuk membuka lapak masing-masing dan dilakoni guna menawarkan produk serta melakukan persuasi agar konsumen benar-benar tertarik dengan nilai guna produk tersebut. Produk di sini maksudnya janji, program kerja, dan otoritas. Sedangkan konsumennya adalah masyarakat.
Mempercantik Citra
Semua calon yang akan menduduki kursi pemerintah akan membuat citra diri yang terbaik. Tak jarang mereka membayar mahal marketer politik. Eep Syaifulloh Fatah, salah satu konsultan politik yang pamornya cukup tinggi, pernah memenangkan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat melawan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014. Eep berhasil pula mengemas kampanye Anies Baswedan-Sandiaga Uno di Pilkada DKI 2017 dengan cantik, sehingga mengantarkan pasangan tersebut untuk menang. Citra ini bisa dilihat dari diksi maupun slogan yang menghiasi orasi, seperti “Kerja, Kerja, Kerja” atau “Maju Kotanya Bahagia Warganya.”
Ambillah kasus kampanye Anies-Sandi sebagai patokan kita di sini. Branding merakyat mereka bentuk dengan konsep blusukan. Tak tanggung-tanggung, pertemuan tatap muka dengan masyarakat menghabiskan dana Rp 11,7 miliar atau 18 persen dari biaya keseluruhan kampanye. Lagi-lagi mereka berusaha mengambil hati rakyat dengan intensitas kedekatannya. Konsep blusukan mulai menjadi tradisi, karena rasanya kurang afdal jika seorang calon pemimpin belum bertemu rakyatnya secara langsung.
Konstruksi citra calon turut didukung dengan elemen-elemen tambahan. Termasuk banner yang dipaku menempel pada pohon, baliho-baliho besar biasa memenuhi ruas-ruas jalan, hingga stiker di angkutan-angkutan umum. Atribut ini masih saja terpasang bahkan setelah masa kampanye berakhir. Sayang, atribut kampanye politik kerap menjadi sampah visual. Padahal peraturan tersebut sudah tertera jelas pada Pasal 6 Perda No 2/2015 tentang Penyelenggaraan Reklame, yang melarang pemasangan atau penempatan reklame luar ruang di taman kota, trotoar, tiang telepon, tiang listrik, tiang rambu lalulintas dan dipakukan di batang pohon.
Jejali Janji, Giring Opini
Pastilah terucap serentetan janji sepanjang masa kampanye. Sebenarnya secara tidak sadar, janji-janji ini turut menggiring opini masyarakat terhadap seorang calon. Hampir semuanya terdengar merdu. Hampir semua janji tadi dikemas dengan penyusunan kalimat terbaik. Tidak heran ketika kita menemukan sebuah janji yang sangat manis, tetapi pahit ketika realisasi.
Sejumlah warga menyayangkan salah satu janji Anis-Sandi, yaitu tentang DP rumah nol persen. Yang mengecewakan, ini tidak berlaku bagi semua warga DKI. Ada beberapa persyaratan, contohnya penghasilan total rumah tangga perbulan maksimal sebesar 7 juta rupiah. Jelas persyaratan tersebut tidak sejalan dengan harapan warga yang ingin memiliki rumah dengan DP nol persen.
Fakta penggunaan slogan lainnya dapat dilihat dari masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Tagline kampanye yang berbunyi “Katakan Tidak Pada Korupsi” menjadi bumerang bagi kubunya sendiri. Seharusnya, slogan menjadi acuan dalam bertindak. Mirisnya, ada nama-nama yang muncul dalam kasus korupsi, seperti Andi Alfian Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Mohammad Nazaruddin, Jero Wacik, dan beberapa lagi.
Masyarakat dibuat tergiur dengan janji yang akhirnya menggiring opini mereka untuk memberikan suaranya pada seorang calon. Padahal masyarakat benar-benar mengharapkan kondisi hidup yang lebih layak, karena sebagian orang memandang janji calon sebagai penerang kehidupan mereka. Namun, masih banyak calon yang mematahkan hati rakyatnya sendiri.
Buka Lapak lalu Gulung Tikar
Untuk meraup suara terbanyak, calon harus rela menggelontorkan sejumlah biaya dalam masa kampanye. Dikutip dari Kompas.com (11/02/17) pasangan Anies-Sandi menghabiskan dana hingga Rp 64,4 miliar. Biaya itu bukan sepenuhnya dari kantong mereka. Ada sumbangan dari parpol pengusung (Gerindra dan PKS) serta perusahaan badan hukum. Karena kocek yang dirogoh jumlahnya tidak main-main, maka kampanye benar-benar harus dapat menyasar target sasaran calon.
Pantas saja ada calon yang sampai bunuh diri ketika gagal pemilihan. Gulung tikar mereka terpaksa lakukan karena tidak mendapatkan suara yang cukup untuk duduk di parlemen. Ada HM Zuhri Yuli Nursanto, calon Bupati Ponorogo yang gagal dalam pemilihan 2005. Yuli akhirnya dibawa ke RS Jiwa dr Radjiman Widiodiningrat, Lawang, Malang karena permintaan sang istri, atas kelakuanya yang mengamuk dan merusak mobil-mobil pribadinya.
Kampanye yang menjadi ajang buka lapak otoritas para calon sebaiknya dilakukan dengan sehat. Persaingan ketat seharusnya tidak membuat para calon nekat mencairkan dana lalu diberikan ke pihak yang lebih tinggi dengan maksud 'akses belakang'.
Kemudian, janji yang diucapkan sebaiknya adalah janji yang dirasa rasional dan nyata adanya. Tidak mempermanis janji, padahal semua itu hanya judul belaka. Masyarakat mengharapkan perubahan nyata dari program-program kerja dalam janji tersebut. Terakhir, para calon yang sudah terpilih lalu mendapatkan simpatisan terbanyak saat kampanye dan menang pemilihan, sebaiknya melakukan kewajibannya dengan maksimal. Serta memimpin dengan berani, cerdas, dan bijaksana.
Tulis Komentarmu