Membaca Fakta dengan Gaya Cerita
Sumber gambar: Goodreads |
Judul : #Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme
Penulis : Andina Dwifatma, dkk
Penerbit : Pindai
Cetakan : I, Februari 2016
Tebal : xviii+466 hlm
Genre : Nonfiksi/Jurnalisme
Semester
lalu dalam mata kuliah Jurnalistik Online, dosen pengampu saya menugaskan kami
para mahasiswanya untuk ‘mendirikan’ sebuah media online. Bukan, jangan
dibayangkan kami akan membuat media sekaliber Detik.com yang dianggap sebagai
pionir media online. Sederhananya, kami secara berkelompok diminta membuat
sebuah portal blog kemudian mengisinya dengan tulisan-tulisan reportase yang
ditulis, diedit, dan dipublikasi secara mandiri. Selama satu semester, mata
kuliah tersebut cukup membuat repot kami mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik yang
punya tugas seabrek, namun masih punya tanggung jawab untuk menjadi wartawan
mingguan pada media milik sendiri.
Beruntungnya,
dosen kami sejak awal sudah memberi pesan kepada kami untuk menulis hasil
reportase, baik itu hardnews maupun softnews, yang akan kami rilis di media
kami secara singkat. Sekarang media-media online itu kalau nulis berita cukup
singkat saja, karena pembaca kurang suka tulisan panjang, begitu kurang lebih
pesan beliau. Kami menurut saja, dasarnya juga memang mampu nulisnya cuma
segitu. Apalagi dengan adanya tuntutan dari era digital untuk cepat dan lekas
merilis tulisan setelah meliput suatu peristiwa.
Lantas
saya berpikir, bagaimana jadinya Tirto.id, media online kekinian yang justru
menelurkan tulisan-tulisan panjang nan mendalam tiap harinya itu? Tidakkah
artikel indepth mereka itu dikerjakan
dengan slot waktu yang agak longgar?
Jurnalisme
Panjang
Kemudian
saya menemukan sebuah video hasil dokumentasi CfDS (Centre for Digital Society)
Universitas Gadjah Mada di mana Zen RS, editor at large Tirto.id sharing tentang keredaksian Tirto.id di
hadapan mahasiswa Yogyakarta pada bulan Agustus tahun lalu. Ia menyebutkan,
tulisan Tirto.id yang berkisar 600 kata memang selalu mencirikan gaya mereka
yaitu tulisan indepth. Zen
menambahkan, pengerjaan satu topik tulisan di Tirto.id minimal 4 hari hingga
maksimal 1 bulan. Waktu yang lumayan lama jika dibandingkan dengan media
harian, namun Tirto.id cukup aktif dengan tulisan yang di-publish setiap harinya.
Zen
RS merupakan salah satu penulis di buku jurnalisme terakhir yang saya baca.
Buku itu berjudul #Narasi: Antologi Prosa
Jurnalisme, berisi delapan belasan tulisan panjang khas jurnalisme dengan
tema berbagai rupa: dari bahasan berat seputar konflik agraria hingga tema
populer tentang riwayat skena musik indepenen di Jakarta. Yang terakhir juga
merupakan favorit saya, juga menjadi prosa jurnalisme terpanjang dan ditulis
oleh penulis termuda di buku ini.
Antologi
ini diterbitkan oleh Pindai pada
Februari 2018. Seperti disebutkan Fahri Salam, editor Pindai sekaligus penyelia bahasa buku ini dalam kata pengantar,
judul #Narasi diambil dari artikulasi
manasuka tentang jurnalisme naratif dari setidaknya ada tiga sebutan lain atas
genre sama, yang berkembang sejak awal 1970-an lewat gagasan “New Journalism”.
Sebagaimana
tertulis pada judulnya, konten buku setebal 466 halaman ini mengumpulkan
delapan belas prosa jurnalisme: yaitu tulisan-tulisan hasil reportase yang
disampaikan kepada pembaca dengan cara bertutur atau storytelling. Konsep ini bukan hal baru di Indonesia, meski
sejatinya masih belum begitu tersebar luas. Majalah
Pantau yang terbit pada 1999 – 2003 sudah memulai kiprah jurnalisme narasi.
Itu sudah berlalu sekitar 14 tahun yang lalu, ketika internet belum merajai
kehidupan manusia. Sekarang, di era digital ini, beberapa penggerak jurnalisme
sastrawi kembali muncul. Sebut saja pindai.org,
panajournal.com, indoprogress.com, bahkan vice.com. Meski begitu, Pindai
sejak artikel terakhirnya yang rilis pada 8 November 2016 belum kembali menyapa
pembaca setianya.
Singkong
dan Skena Musik Independen
Seperti
saya sebutkan di awal, Zen RS ialah salah satu penulis #Narasi: Antologi Prosa Jurnalisme yang tulisannya menjadi favorit
saya. Judulnya ‘(Bukan) Negeri Singkong’. Kemunculannya di antologi ini bukan
yang pertama, naskah tersebut justru dimuat perdana di National Geographic Indonesia edisi Oktober 2008. Bagi saya yang
tidak mengalami masa orde baru secara langsung, topik ketahanan pangan dan
swasembada beras sangat menarik untuk dikulik.
Meski
jurnalisme kerap diidentikan dengan topik politik, hukum, dan ekonomi, namun
hal itu tidak menutup kemungkinan bagi tema-tema populer lain untuk turut serta
dalam pusaran jurnalistik. Tulisan terpanjang di antologi ini justru berkisah
tentang hikayat skena musik independen di Jakarta tahun ‘90-an. Raka Ibrahim,
penulisnya, memberi judul ‘Terekam, Tak Pernah Mati’ untuk naskah yang awalnya
hendak ia terbitkan menjadi buku saat Pindai
membuka program hibah buku nonfiksi pada 2015. Meski pada akhirnya naskah
tersebut tidak menjadi buku, alih-alih salah satu narasi panjang di antologi
ini, kontennya cukup menarik untuk menilik sejarah industri musik independen di
Indonesia sejak zaman Soekarno, masuk ke generasi MTV, hingga era media sosial.
Memang
tidak semuanya merupakan tulisan yang terbit perdana di buku ini, ada beberapa
yang telah diterbitkan lebih dulu di ruang maya. Bahkan tulisan karya Andreas
Harsono pertama kali terbit dalam sebuah buku undangan perkawinan setebal 100
halaman. Tulisan berjudul ‘Hoakiao dari Jember’ ini juga belakangan terbit di Majalah Gatra. Andreas Harsono yang
merupakan Ketua Yayasan Pantau menceritakan kehidupan etnik Tionghoa pada masa
Orde Baru. Dengan karakter Ong Tjie Liang yang diusungnya, Andreas Harsono
berhasil mengejutkan saya pada paragraf terakhir prosanya.
Narasi
di Era Digital
Keseluruhan
tulisan di antologi ini ditulis dengan konsep bertutur, sehingga pasti memakan
banyak halaman. Tak hanya menarik karena pembaca diajak masuk ke dalam
‘cerita’, kontennya juga relevan dengan isu-isu di sekitar kita. Meski lebih
panjang dari tulisan feature, setiap
tulisan sangat menarik untuk dibaca penikmat karya jurnalistik.
Berangkat
dari antologi ini, agaknya kita menjadi semakin sadar akan kebutuhan konten
jurnalisme narasi. Terlebih di era internet, yang mana tidak membutuhkan
batasan halaman. Penulis bebas menuliskan ide dan gagasannya sepanjang apapun,
lain halnya dengan karya cetak yang terbatas ruang halaman.
Bukan
tidak mungkin mengembangkan tulisan-tulisan panjang di tengah perkembangan
teknologi digital seperti sekarang ini. Buktinya saja, Tirto.id dengan khas
tulisan mendalamnya bisa menjadi salah satu media online yang diperhitungkan,
dan juga tidak ditinggalkan pembaca-pembaca setianya. Bahkan, tulisan Tirto.id
yang indepth dan serius itu jarang yang
disampaikan dengan gaya storytelling.
Hal ini tentu membuat media-media online lain yang terlebih dahulu fokus pada
jurnalisme sastrawi untuk semakin sadar dengan perilaku pembaca saat ini, dan
juga dapat mempertahankan eksistensi prosa jurnalisme sebagai alternatif bacaan
di tengah gempuran tsunami informasi. (Lajeng
Padmaratri)
Editor: Maya Arina
Tulis Komentarmu