Revitalisasi Tidak Selamanya Positif
"Pengunjung sedang melihat karya fotografi yang berjudul 'Digital Prisoner'." (Dokumentasi Fotkom 401) |
Setidaknya hal itulah yang coba Ridho Suharto sampaikan ketika ditemui awak Sikap untuk memaknai karyanya yang ia beri nama Digital Prisoner pada Selasa (3/4). Karya fotografi ini ia pamerkan dalam pameran foto bertajuk Revitalisasi sebagai rangkaian Bulan Fotografi Fotkom 401 di Taman Budaya Yogyakarta.
Dalam revolusi industri 4.0, segala aktivitas yang dilakukan oleh manusia dibantu dan ditunjang oleh teknologi. Tidak terkecuali dalam hal komunikasi. Mulai dari radio, televisi, dan sekarang digital. Tentu, teknologi itu membawa dampak positif tetapi, teknologi itu juga bagai pisau bermata dua, ada dampak negatifnya. Ketika manusia tidak dapat memanfaatkan teknologi digital dengan baik, teknologi tersebut dapat ‘menjerumuskan’ manusia. Dampak negatif itulah yang sekarang ini banyak terjadi. Mulai dari kecanduan hingga berbuat kurang rasional karena teknologi. Contohnya, demi mendapatkan likes dan followers yang banyak, seseorang tega menyebarkan aib orang lain, menyebarkan berita hoaks, berbuat yang tidak sesuai etika, dan menjamurnya 'profesi' Youtuber di kalangan anak muda.
4 karya fotografi dalam satu kesatuan konsep 'Digital Prisoner'. (Foto: Marcelina Mia A.) |
Tema besar pameran Revitalisasi diangkat dalam upaya menghidupkan kembali sesuatu yang telah ada dan memperbaikinya menjadi lebih baik (seharusnya). “Revitalisasi kita anggap sebagai menghidupkan kembali. Dan revitalisasi ini tidak semuanya positif tetapi juga negatif, salah satunya karya berjudul Digital Prisoner,” kata Helmi Iqbal, Ketua Pelaksana Bulan Fotografi Fotkom 401.
Ridho Suharto sebagai pameris yang mengangkat judul karya Digital Prisoner menceritakan mengenai cerminan fenomena apa yang terjadi di masyarakat saat ini. Baginya fenomena itu sungguh ‘menggelitik’. Karenanya, ia menuangkan keresahan tersebut dalam karya fotografi. “Saya menggunakan kata penjara (prisoner). Teknologi mengurung waktu kita, membatasi ruang, dan jiwa. Tidak hanya otak dan jiwa kita yang dipermaikan oleh teknologi, ruang dan waktu kita juga ‘termakan’ oleh teknologi kalau kita sebagai manusia tidak bisa memanfaatkannya, memfilter diri kita dengan baik,” ujarnya.
Dalam pameran tersebut, Ridho mempersembahkan empat buah karya. Karyanya bagaikan sebuah cerita lewat gambar tetapi sangat tepat sasaran. Karya pertama menceritakan anak-anak yang sudah kecanduan media sosial salah satunya Youtube. Ia menceritakan bagaimana keponakannya sendiri menjadi kecanduan mengakses Youtube dan ingin menjadi seorang Youtuber di usia yang masih anak-anak.
Karya kedua tentang anak muda zaman sekarang yang doyan selfie. Selfie atau swafoto tersebut dilakukan demi likes di Instagram. Dalam berswafoto tersebut tidak jarang mereka menjadi bahan tontonan dan bahkan taruhan nyawa karena tidak memerdulikan keselamatan.
Karya ketiga bercerita tentang gaya hidup hedonisme yang dilakukan melalui media digital. Mereka berlomba-lomba untuk memamerkan barang-barang mewah meski itu berakibat menjadi hidup konsumtif dan menginginkan kekayaan instan.
Karya yang terakhir mengenai pengaruh media komunikasi di kalangan ibu-ibu khususnya disebabkan oleh televisi. Ibu-ibu menjadi kecanduan tontonan televisi hingga mengorbankan pekerjaan dan kewajibannya di rumah demi melihat suatu program acara.
Dari cerminan tersebut Ridho menyimpulkan bahwa teknologi tersebut sudah menjadi penjara bagi kehidupan manusia. Jadi bukan hanya kecanduan, fanatik, dan terikat lagi tapi lebih jauh. Sehingga bukan manfaat lagi yang dibawa tetapi justeru kerugian yang menghambat revitalisasi positif. Memang, Ridho mengakui bahwa teknologi juga membuat revitalisasi positif dan memajukan aktivitas manusia. Memudahkan berbagai kegiatan, mencari informasi yang dibutuhkan, dan berkomunikasi. Tetapi, Ia juga menegaskan bahwa ketika kita tidak bisa memfilter diri dari teknologi dan memanfaatkan dengan baik maka manusia akan sangat dirugikan. (Marcelina Mia Amelia)
Editor: Lajeng Padmaratri
Tulis Komentarmu