Merekam Ulang Jejak Avikom sebagai Komunitas Perfilman
Suasana haru-biru muncul ketika film berjudul Kepaten selesai diputar. Beberapa penonton mulanya tersentuh, bahkan ada yang terisak akan film garapan Kelompok Studi Mahasiswa Avikom tersebut. Respon-respon itu muncul sebagai bentuk apresiasi penonton akan film yang ditayangkan dalam agenda 'Merekam Ulang'. Berikut ialah liputan reporter Sikap, Leo Bisma saat mengunjung gelaran tersebut beberapa waktu lalu.
Pada hari terakhir gelaran, Minggu (08/04), pengunjung yang datang begitu ramai untuk menyaksikan screening sekaligus peluncuran film baru komunitas yang telah berdiri 17 tahun silam tersebut. Banyaknya penonton yang menyeruak tak menjadi halangan, karena lokasi pameran yang cukup luas. Pendhapa Art Space menjadi saksi diluncurkannya tiga film baru Avikom, salah satunya ialah Kepaten. Lokasi yang kerap menjadi langganan bagi tempat pameran seni tersebut cukup luas untuk menampung ratusan pengunjung.
Saat awak Sikap berkunjung ke lokasi acara, senyum hangat panitia yang menyambut di pintu masuk menyeruak satu persatu. Tak seperti gelaran penayangan film pada umumnya, Merekam Ulang tak hanya menyajikan film untuk ditonton, namun pengunjung juga mendapat suguhan berkomposisi atas pemutaran film, pameran audio visual, serta pertunjukan Mapping Project.
Pengunjung yang baru datang dengan ramah dipandu menuju lantai atas menuju ruang pameran audio visual Avikom. Di ruang pameran, pengunjung akan disambut dengan konsep mapping yang terdiri atas objek patung yang ditembak dengan susunan-susunan cahaya proyektor yang memiliki kesan futuristik. Selain itu pengunjung juga dapat menyaksikan belasan video hasil karya Avikom. Pameran audio visual ini memiliki berbagai subtema, antara lain VROM yakni video series perbulan yang diproduksi oleh tim Litbang, ATV yaitu proyek video yang digarap oleh divisi Karya dalam memperingati hari-hari besar, dan Reboot yakni review kinerja dan kegiatan dari pengurus Avikom yang dikemas dalam bentuk video interaktif. Pihak panitia tanpa sungkan memandu pengunjung yang baru datang untuk melihat-lihat pameran.
Salah satu pengunjung bernama Danu mengaku sangat menikmati jalannya acara terutama saat film terbaru diluncurkan. Ia sengaja datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya di Sleman untuk menyaksikan karya termutakhir dari Avikom. Awalnya ia datang hanya untuk menonton film yang diputar, namun setelah mengetahui keberadaan pameran audio visual yang unik, ia bertambah antusias mengikuti acara 'Merekam Ulang'.
“Keren sih, menurutku. Ada galerinya, juga di situ kita bisa tanya-tanya soal kegiatan anggota Avikom. Photobooth yang dicat glow in the dark juga keren,” ungkapnya.
Agenda pemutaran film yang rutin diadakan oleh Avikom membuat gelaran tersebut kerap ditunggu bagi para penggemar film, maupun mahasiswa yang menggeluti komunitas serupa. Tengok saja, pengunjung yang datang sangat beragam, mulai dari tamu undangan, mahasiswa, hingga masyarakat umum baik komunitas film dan seniman.
Tiga Film Baru
Tepat pukul 18.30, penayangan film untuk slot pertama dimulai, yakni Fifty:50 yang disutradarai oleh Aditya Bima dan Hell Bus oleh Axel Eka Ardanda. Dilanjutkan dengan slot kedua, yang menampilkan film yang tayang perdana, yakni The Wolf and The Little Goat oleh Hendra Tri G., Down Up yang disutradarai Rizki Ilhamdi, dan Jana Bastiaan yang disutradarai Dedy Rukmana. Setiap akhir sesi slot film selesai ditayangkan, diadakan sesi tanya jawab yang memungkinkan penonton untuk berinteraksi baik itu bertanya maupun menanggapi proses kerja kreator film.
Semakin larut, slot yang ditunggu-tunggu para pengunjung dihadirkan di penghujung acara. Slot ketiga sekaligus yang terakhir yakni peluncuran tiga film baru Avikom sekaligus pemutaran perdana. Film yang diluncurkan adalah Law Siek Gie, Adnyana, serta film yang menjadi sorotan pada malam itu, Kepaten. Masing-masing film memiliki ciri khas masing-masing sesuai isu yang ingin diangkat oleh kreatornya ke dalam film tersebut.
Law Siek Gie mencoba menyelami makna toleransi dan realitas yang terjadi di masyarakat saat ini. Kisah ini bercerita mengenai seorang wanita tua bernama Law Siek Gie. Ia hidup sendiri semenjak kematian suaminya. Masalah penglihatan yang dialaminya membuatnya tak bisa beraktivitas pada malam gulita. Kisah berlanjut ketika ia terjebak konflik dengan masyarakat akibat keputusannya untuk berjualan di siang hari pada bulan puasa demi tambahan uang untuk membuat samseng (makanan khas) sebagai upacara untuk hari kematian suaminya.
Sementara Adnyana memunculkan visualisasi tentang kehidupan digital. Konflik yang diangkat berkaitan dengan realita di kehidupan sehari-sehari.
Film yang ditayangkan paling akhir ialah Kepaten. Film bertema keluarga ini bercerita mengenai keresahan seorang ayah yang tak lagi ditemani oleh satupun keluarganya. Apa yang diinginkan di usia senjanya hanyalah untuk mati. Bayang-bayang keluarga yang terlebih dulu meninggalkannya kerap membuatnya nestapa dan merindu untuk segera menyusul mereka. Tak diduga salah satu anaknya kembali untuk menemui ayahnya tersebut.
Film Kepaten mengantarkan alur yang lembut untuk dinikmati perlahan. Suasana yang didapat penonton begitu senyap dan film justru sedang berbicara ketika adegan dalam keadaan diam. Konflik yang dirasa semakin meninggi dari awal hingga penghujung film usai. Film tersebut kian membuat penonton seakan terhenyak akan cerita yang menyentuh mengenai pesan yang disampaikan.
Ayesha selaku sutradara menuturkan bahwa film garapannya tersebut terinspirasi dari kisah salah satu temannya yang memiliki kejadian serupa. Dari situlah ia tergerak untuk menyampaikan sebuah kisah tersebut ke dalam film Kepaten. Teriakan dan tepuk tangan meriah mengudara ketika film selesai. Pertanda baik bahwa penonton menikmati film dan mengapresiasi karya-karya Avikom.
Kilauan lampu-lampu proyeksi mengakhiri acara. Satu lagi mapping project dipersembahkan Avikom dalam visi merekam ulang segala jejak perjalanan mereka. Berawal dari sebuah komunitas film kecil pada tahun 2001, kini Avikom menjelma menjadi pemain di komunitas kreatif khususnya sinema dan menjadikan film sebagai media dalam berekspresi serta menyampaikan gagasan. (Leo Bisma)
Editor : Lajeng Padmaratri
Avikom mapping project di Pendhapa Art Space. (Foto: Lajeng P.) |
Pada hari terakhir gelaran, Minggu (08/04), pengunjung yang datang begitu ramai untuk menyaksikan screening sekaligus peluncuran film baru komunitas yang telah berdiri 17 tahun silam tersebut. Banyaknya penonton yang menyeruak tak menjadi halangan, karena lokasi pameran yang cukup luas. Pendhapa Art Space menjadi saksi diluncurkannya tiga film baru Avikom, salah satunya ialah Kepaten. Lokasi yang kerap menjadi langganan bagi tempat pameran seni tersebut cukup luas untuk menampung ratusan pengunjung.
Saat awak Sikap berkunjung ke lokasi acara, senyum hangat panitia yang menyambut di pintu masuk menyeruak satu persatu. Tak seperti gelaran penayangan film pada umumnya, Merekam Ulang tak hanya menyajikan film untuk ditonton, namun pengunjung juga mendapat suguhan berkomposisi atas pemutaran film, pameran audio visual, serta pertunjukan Mapping Project.
Pengunjung yang baru datang dengan ramah dipandu menuju lantai atas menuju ruang pameran audio visual Avikom. Di ruang pameran, pengunjung akan disambut dengan konsep mapping yang terdiri atas objek patung yang ditembak dengan susunan-susunan cahaya proyektor yang memiliki kesan futuristik. Selain itu pengunjung juga dapat menyaksikan belasan video hasil karya Avikom. Pameran audio visual ini memiliki berbagai subtema, antara lain VROM yakni video series perbulan yang diproduksi oleh tim Litbang, ATV yaitu proyek video yang digarap oleh divisi Karya dalam memperingati hari-hari besar, dan Reboot yakni review kinerja dan kegiatan dari pengurus Avikom yang dikemas dalam bentuk video interaktif. Pihak panitia tanpa sungkan memandu pengunjung yang baru datang untuk melihat-lihat pameran.
Salah satu pengunjung bernama Danu mengaku sangat menikmati jalannya acara terutama saat film terbaru diluncurkan. Ia sengaja datang jauh-jauh dari tempat tinggalnya di Sleman untuk menyaksikan karya termutakhir dari Avikom. Awalnya ia datang hanya untuk menonton film yang diputar, namun setelah mengetahui keberadaan pameran audio visual yang unik, ia bertambah antusias mengikuti acara 'Merekam Ulang'.
“Keren sih, menurutku. Ada galerinya, juga di situ kita bisa tanya-tanya soal kegiatan anggota Avikom. Photobooth yang dicat glow in the dark juga keren,” ungkapnya.
Agenda pemutaran film yang rutin diadakan oleh Avikom membuat gelaran tersebut kerap ditunggu bagi para penggemar film, maupun mahasiswa yang menggeluti komunitas serupa. Tengok saja, pengunjung yang datang sangat beragam, mulai dari tamu undangan, mahasiswa, hingga masyarakat umum baik komunitas film dan seniman.
Tiga Film Baru
Tepat pukul 18.30, penayangan film untuk slot pertama dimulai, yakni Fifty:50 yang disutradarai oleh Aditya Bima dan Hell Bus oleh Axel Eka Ardanda. Dilanjutkan dengan slot kedua, yang menampilkan film yang tayang perdana, yakni The Wolf and The Little Goat oleh Hendra Tri G., Down Up yang disutradarai Rizki Ilhamdi, dan Jana Bastiaan yang disutradarai Dedy Rukmana. Setiap akhir sesi slot film selesai ditayangkan, diadakan sesi tanya jawab yang memungkinkan penonton untuk berinteraksi baik itu bertanya maupun menanggapi proses kerja kreator film.
Semakin larut, slot yang ditunggu-tunggu para pengunjung dihadirkan di penghujung acara. Slot ketiga sekaligus yang terakhir yakni peluncuran tiga film baru Avikom sekaligus pemutaran perdana. Film yang diluncurkan adalah Law Siek Gie, Adnyana, serta film yang menjadi sorotan pada malam itu, Kepaten. Masing-masing film memiliki ciri khas masing-masing sesuai isu yang ingin diangkat oleh kreatornya ke dalam film tersebut.
Law Siek Gie mencoba menyelami makna toleransi dan realitas yang terjadi di masyarakat saat ini. Kisah ini bercerita mengenai seorang wanita tua bernama Law Siek Gie. Ia hidup sendiri semenjak kematian suaminya. Masalah penglihatan yang dialaminya membuatnya tak bisa beraktivitas pada malam gulita. Kisah berlanjut ketika ia terjebak konflik dengan masyarakat akibat keputusannya untuk berjualan di siang hari pada bulan puasa demi tambahan uang untuk membuat samseng (makanan khas) sebagai upacara untuk hari kematian suaminya.
Sementara Adnyana memunculkan visualisasi tentang kehidupan digital. Konflik yang diangkat berkaitan dengan realita di kehidupan sehari-sehari.
Film yang ditayangkan paling akhir ialah Kepaten. Film bertema keluarga ini bercerita mengenai keresahan seorang ayah yang tak lagi ditemani oleh satupun keluarganya. Apa yang diinginkan di usia senjanya hanyalah untuk mati. Bayang-bayang keluarga yang terlebih dulu meninggalkannya kerap membuatnya nestapa dan merindu untuk segera menyusul mereka. Tak diduga salah satu anaknya kembali untuk menemui ayahnya tersebut.
Film Kepaten mengantarkan alur yang lembut untuk dinikmati perlahan. Suasana yang didapat penonton begitu senyap dan film justru sedang berbicara ketika adegan dalam keadaan diam. Konflik yang dirasa semakin meninggi dari awal hingga penghujung film usai. Film tersebut kian membuat penonton seakan terhenyak akan cerita yang menyentuh mengenai pesan yang disampaikan.
Ayesha selaku sutradara menuturkan bahwa film garapannya tersebut terinspirasi dari kisah salah satu temannya yang memiliki kejadian serupa. Dari situlah ia tergerak untuk menyampaikan sebuah kisah tersebut ke dalam film Kepaten. Teriakan dan tepuk tangan meriah mengudara ketika film selesai. Pertanda baik bahwa penonton menikmati film dan mengapresiasi karya-karya Avikom.
Kilauan lampu-lampu proyeksi mengakhiri acara. Satu lagi mapping project dipersembahkan Avikom dalam visi merekam ulang segala jejak perjalanan mereka. Berawal dari sebuah komunitas film kecil pada tahun 2001, kini Avikom menjelma menjadi pemain di komunitas kreatif khususnya sinema dan menjadikan film sebagai media dalam berekspresi serta menyampaikan gagasan. (Leo Bisma)
Editor : Lajeng Padmaratri
Tulis Komentarmu