Sepiring Sejarah Akulturasi dalam Selat Solo
Mengunjungi Kota Solo kurang lengkap jika belum mencicipi sajiannya. Kota Batik ini menyuguhkan beragam destinasi kuliner. Pernah mendengar Selat Solo? Bila belum pernah, mungkin kota kelahiran musisi Gesang Martohartono ini sedang memanggil Anda untuk datang dan mencicipi hidangan khas Surakarta ini.
Bila melihat dari komposisi Selat Solo, kita akan langsung tertuju pada bistik yang terlihat sangat lembut jika dimakan. Bistik ini terbuat dari olahan daging sapi yang dicacah lalu dimasak bersama kecap. Rasa manis hasil dari karamelisasi kecap sangat memanjakan lidah. Seolah-olah kita harus menyisihkan bistik untuk suapan yang paling akhir.
Namun, Selat Solo bukan cuma berisi bistik. Dalam sepiring porsinya, ia ditemani sayur-sayuran seperti buncis, wortel, selada, timun, brokoli, dan tomat yang dipotong seukuran suapan. Kata ‘selat’ yang diambil dari istilah Inggris yaitu ‘salad’, bermaksud untuk menjelaskan komposisi sayur-sayuran ini. Kuah yang terbuat dari kecap asin, bawang putih, cuka, asam jawa, pala, merica, dan rempah menambah cita rasa asin dan manis. Sehingga ketika sayuran dimakan, rasanya tidak terlalu tawar. Satu lagi yang unik, yaitu saus yang terlihat seperti mustar. Warnanya kuning cerah, tenggelam dalam kuah. Setelah dicicipi, rasanya manis. Ternyata saus ini adalah saus mayonais yang berbahan baku kentang.
Paduan Eropa & Jawa
Jika dilihat sekilas, mungkin Anda akan bertanya- tanya, mengapa komposisinya mirip sekali dengan steak yang biasa kita temukan di restoran- restoran a la Eropa? Kemiripan itu hanya dipisah sedikit pembeda: bistiknya tidak terlalu besar dan berkuah. Ternyata, Selat Solo memang memiliki relasi akulturasi dengan makanan steak khas Eropa. Akulturasi ini terjadi pada masa kolonialisme Belanda di Indonesia‒atau dulu masih bernama Hindia-Belanda.
Dikisahkan, datangnya salah seorang jenderal Hindia-Belanda ke Kasunanan Surakarta membuat para koki keraton kebingungan. Pasalnya, sang jenderal menginginkan steak daging sapi, sedangkan raja mereka terbiasa dengan nasi dan sayuran. Untuk mengatasinya, para koki akhirnya menggabungkan kedua resep tersebut untuk disajikan pada Jenderal dan Sang Raja. Seiring berjalannya waktu, porsi bistik yang dirasa terlalu banyak akhirnya digantikan oleh telur rebus. Ditambahkannya telur ke dalam komposisi Selat Solo dimaksudkan karena sang raja tidak terbiasa memakan daging.
Sampai sekarang, Selat Solo masih menjadi hidangan andalan warga Kota Solo dalam acara- acara tertentu seperti pertemuan, pernikahan, acara keluarga dan lain-lain. Paduan cita rasa tradisional Jawa yang kebarat-baratan membuat semua orang tidak pernah berhenti mencintai bistik jawa ini karena keunikannya.
Tulisan merupakan kiriman dari Amallia Putri Budi Utami, mahasiswi Ilmu Komunikasi 2016.
Tulis Komentarmu