Mbah Karyo, Produktif di Usia Satu Abad
Di tengah teriknya sinar matahari siang itu, seorang kakek tua duduk berlindung di teras rumahnya yang penuh dengan aneka macam hasil kerajinan gerabah. Mbah Karyo, begitu kakek tua itu kerap disapa. Ia menunggu ada pengunjung yang akan mampir untuk membeli sekadar satu atau dua barang buatan tangannya. Tidak terlalu berharap hasil karyanya akan laku keras karena Mbah Karyo sadar betul, di bahu kanan kiri jalan Kasongan, sudah terlalu banyak toko yang menjajakan gerabah dan suvenir yang lebih modern lainnya.
Mbah Karyo, pengrajin gerabah berusia satu abad. (Foto: Anindyadevi A.) |
Dengan bahasa jawa, Mbah Karyo berusaha bercerita bahwa ia telah berjualan sejak lama. Ingatan yang sudah tidak begitu tajam membuatnya tidak lagi mengingat sejak tahun berapa persisnya ia mulai berjualan gerabah. Yang ia sadari, usahanya sudah dijalani sejak zaman penjajahan Belanda.
“Saya sudah berjualan sejak lama, sejak zaman orang-orang Belanda datang, kemudian Jepang. Yang saya ingat betul, dulu harga gerabah tertinggi hanyalah 1 sen,” cerita Mbah Karyo.
Ada hal yang membedakan Mbah Karyo dengan pedagang gerabah lainnya, yakni ia tidak pernah menutup dagangannya. Gerabah-gerabah tersebut selalu ada di teras rumahnya. Ketika hari sudah malam, ia akan tidur di dalam. Ketika hari sudah pagi, ia bangun untuk membuka pintu barangkali ada yang ingin membeli gerabahnya.
Dengan harga jual yang bisa dikatakan lebih murah dibandingkan pedagang gerabah lainnya, Mbah Karyo tetap merasa bahwa penghasilannya sehari-hari dirasa sudah mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dibantu oleh putranya, gerabah-gerabah tersebut tidak hanya dijual di rumahnya, tetapi juga ke Wonogiri, Klaten, dan beberapa lokasi lain. Biasanya, putra Mbah Karyo mengantarkan gerabah-gerabah tersebut siang hari menggunakan motor, kemudian kembali ke rumah malam hari sekitar pukul 19.00 WIB.
Pria tua kelahiran tahun 1918 ini mengenang zaman ketika ia berjualan gerabah di zaman penjajahan. Menurutnya, saat ini keuntungan yang diperoleh lebih banyak daripada zaman dahulu meskipun kini begitu banyak orang berjualan gerabah di Kasongan sementara pembelinya hanya sedikit. Hal tersebut dikarenakan sekarang semua serba mudah, jika ingin memasok hasil kerajinannya keluar daerah Kasongan, gerabah buatan Mbah Karyo yang dibantu oleh putranya, dapat diantar dengan motor.
Usaha gerabah Mbah Karyo. (Foto: Anindyadevi A.) |
“Zaman dulu mana bisa seperti itu? Dulu saya jalan kaki ke Turi, Pakem, Magelang untuk menjajakan dagangan saya, menitipkan dari satu tempat ke tempat lainnya,” tuturnya.
Sembari memegang poci gerabah buatannya, Mbah Karyo menuturkan hal yang sedikit menyulitkan usaha gerabahnya, yakni bahan baku. Tanah liat rupanya saat ini sudah mulai sulit didapat. “Terlalu banyak perumahan yang dibangun. Dahulu, mudah sekali memperoleh tanah liat di daerah yang dekat. Namun sekarang sudah mulai habis untuk membangun bangunan,” ujar kakek yang tahun ini berusia satu abad ini. Ia kini mengambil bahan baku dari Wonosari, itupun dirasa sudah cukup sulit untuk didapatkan.
Tidak ada kesulitan lain yang Mbah Karyo ceritakan dalam menjalani usaha gerabahnya. Namun, ada satu kejadian yang sempat menghambat usahanya. Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 silam rupanya menjadi kejadian yang membekas dalam ingatan kakek tua ini. Ia bercerita bahwa kala itu daerah Kasongan ikut hancur akibat gempa yang cukup kuat. Rumahnya tidak luput menjadi sasarannya. Usahanya sempat terhenti, hingga akhirnya pemerintah memberi bantuan berupa semen, dan bahan baku lainnya untuk warga setempat agar bisa kembali memiliki tempat bernaung.
Kini, Mbah Karyo bersama putranya tetap meneruskan berjualan gerabah di daerah Kasongan. “Yang penting ada yang dikerjakan. Meskipun mungkin pemasukan tidak seberapa dan sudah terlalu banyak orang berjualan gerabah.” (Anindyadevi Aurellia)
Editor : Lajeng Padmaratri
Tulis Komentarmu