Persaingan Pasar Sulit, Pengrajin Gerabah Minta Pemerataan Harga
Ketika pertama kali melintasi sepanjang jalan Desa Wisata Kasongan, fokus perhatian Anda pasti akan tertuju kepada deretan hasil kerajinan gerabah yang tersusun rapi di tiap-tiap etalase kios. Kasongan memang terkenal sebagai sentra penghasil kerajinan gerabah yang menghasilkan beberapa barang guna dan hiasan seperti guci, vas bunga, kuali, kendi, celengan, miniatur, patung, dan lainnya. Tak heran, banyak wisatawan baik dari asing mau pun lokal yang mampir ke sentra ini.
Tentunya, kedatangan turis dan pembeli memengaruhi dinamika pergerakan ekonomi di Kasongan. Mayoritas masyarakat setempat bermata pencaharian kundi atau biasanya dikenal dengan pengrajin gerabah. Sebagian kecilnya adalah pengusaha yang menjual barang sudah jadi, dalam artian tidak diproduksi sendiri. Persaingan model dan harga menjadi kekhawatiran bagi para pengrajin yang juga membuka tokonya masing-masing, dikarenakan setiap toko menjual produk-produk dengan model yang variatif dan harga yang berbeda. Ada model yang mengikuti tren saat ini, ada juga yang masih tradisional. Begitu pun dengan harga, ada yang memasang harga paling tinggi, ada juga yang memasang harga paling miring. Hal ini muncul karena belum ada ketentuan mengenai penetapan dan pemerataan harga.
Pariyanto sedang memoles arca Buddha, pesanan dari Australia. (Foto: Melvindy Kuswanto) |
Salah satu pengrajin yang merasakan dampak dari permasalahan tersebut ialah Pariyanto (48), pria asli Kasongan itu memulai usahanya semenjak tahun 1998. Keahliannya dalam menyulap tanah liat menjadi gerabah merupakan turun temurun dari keluarga. Sebagian produknya dibuat berdasarkan pesanan pelanggan, sisanya dibuat untuk stok yang akan dipamerkan di toko miliknya. Tidak hanya laku di pasar lokal, produknya juga berhasil menembus pasar global, yaitu Malaysia, Australia, dan Belanda.
Beberapa hasil kerajinan gerabah Pariyanto. (Foto: Melvindy Kuswanto) |
Mengenai keuntungan, ia mengaku omzet dari penjualan hasil kerajinan gerabah kadang tidak menentu. Jika ramai, keuntungan bisa mencapai 2 juta rupiah per bulan. Namun apabila sepi, keuntungan hanya bisa untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga sehari-hari. Ia juga mengeluhkan terkait bahan baku tanah liat yang sudah jarang ditemukan sehingga mengharuskan dirinya dan pengrajin yang lain untuk membeli tanah liat yang sudah jadi. Satu bak kol berisi tanah liat dipatok seharga 450 ribu rupiah.
Biaya yang melambung ini memberatkan Pariyanto untuk memperoleh keuntungan maksimal. Terlebih lagi, harga jual produknya terbilang sangat murah dan tidak sebanding dengan proses pembuatannya yang membutuhkan waktu lama. Produk yang dijualnya berupa kendi, kuali, guci, celengan, dan mainan anak. Semua itu berkisar di angka Rp2.000 hingga Rp40.000.
Untuk menambah penghasilan, Pariyanto kerap kali diminta untuk memberikan pelatihan pembuatan gerabah kepada siswa-siswi setiap liburan sekolah. Ke depannya Pariyanto berharap Pemerintah Daerah Kabupaten Bantul dapat membuat kebijakan mengenai penetapan dan pemerataan harga agar para pengrajin dapat bersaing secara sehat serta terjamin kesejahteraannya. (Melvindy Kuswanto)
Editor : Lajeng Padmaratri
Tulis Komentarmu