K’Tut Tantri, Bule Pejuang Kemerdekaan Indonesia
(foto: kompas.com) |
Merdeka
atau Mati.
Sebuah
slogan penyemangat saat sekutu menginjakkan kaki di Tanah Ibu Pertiwi. Pita
merah putih terikat di lengan kanan para pejuang, menandakan mereka siap mati untuk
negeri Indonesia.
Buku
lawas keluaran tahun 1965 berjudul Revolusi di Nusa Damai, menceritakan
perjuangan K’Tut Tantri pada masa penjajahan Belanda hingga pasca kemerdekaan.
Wanita berkebangsaan Amerika ini menceritakan seluruh pengalamannya selama
berjuang di Indonesia.
Kisah
K’Tut Tantri berawal dari tekadnya untuk pindah ke Bali. Dia memutuskan akan
menjadi rakyat di Negeri Bali. Sesampainya di Bali, rasa kecewalah yang
dirasakan. Di luar ekspektasinya, kulit putih yang merupakan warga Belanda lah
yang mendominasi wilayah Denpasar, Bali. Keinginannya untuk hidup di pedesaan
bersama rakyat terus dihalangi oleh orang Belanda. Mereka takut jika ada orang
kulit putih yang ingin bergaul dengan
rakyat pribumi, maka di mata mereka, derajat orang kulit putih akan setara.
“Kami orang Belanda dalam memerintah rakyat ini
senantiasa menjaga agar mereka tetap pada kedudukannya. Apa jadinya, menurut
pendapatmu, kalau mereka sama tinggi? Seorang wanita Barat menerima uluran
tangan dari suatu keluarga inlander untuk tinggal dengan mereka” (Halaman 42)
Tantri hiraukan semua
ancaman yang datang dari Pemerintah Belanda. Wanita itu terus bergaul dengan
masyarakat pribumi. Bahkan Raja Bali, Anak Agung Gede, mengangkatnya sebagai
anak keempat. Itulah mengapa dia mengganti namanya menjadi K’Tut Tantri.
Kala Jepang menduduki Wilayah Nusantara, K’Tut Tantri bersama
dengan saudara angkatnya, Pangeran Bali Nura turut bergabung dalam gerakan
bawah tanah. K’Tut Tantri dengan segala cara
menyelundupkan senjata dari Surabaya ke Bali untuk digunakan melawan tentara
Jepang.
Karena keberaniannya, dia sempat memasuki penjara kapentai dan tempat pengasingan selama
lebih dari dua tahun. Nyawanya hampir melayang akibat siksa yang dialaminya
selama berada di dalam penjara. Dipukul hingga memar, dicambuk, ditelanjangi,
digantung, semua telah dirasakan saat berada di kapentai.
“Setiap pertanyaan sekarang diikuti oleh pukulan dengan
bilah bambu yang meninggalkan bekas di punggung. Badanku menggigil menahan
sakit dan mengerti pada setiap pukulan. Tapi dengan demikian meningkatnya rasa
sakit dan rasa malu, maka siksaan ini semakin tidak berguna. Semacam reaksi
yang membeku, lahir-batin, memberikan ketahanan terhadap kekurang-ajaran ini.”
(Halaman 179-180)
Berada di tawanan Jepang selama bertahun-tahun tidak
membuatnya berhenti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. K’Tut Tantri sebagai
tawanan Jepang dikeluarkan dan langsung dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan
koma.
Saat terbangun dari masa kritis, sekutu telah
menginjakkan kaki di Indonesia guna merebut kembali kemerdekaan Indonesia.
Setelah kembali sehat, Tantri langsung menjalankan tugasnya dalam memata-matai
strategi yang digunakan oleh sekutu. Sebagai wanita kulit putih, tentu menyamar
menjadi seorang yang pro sekutu bukanlah hal yang sulit. Setiap harinya dia
berbincang dengan opsir-opsir sekutu mengenai rencana penyerangan di Surabaya. Kemudian
rencana tersebut akan diteruskan kepada para pejuang Indonesia.
K’Tut Tantri pun bertugas membuat siaran radio setiap
harinya. Belanda seringkali memfitnah Indonesia di hadapan wartawan asing.
Sehingga, dalam siarannya, K’Tut Tantri yang lihai dalam berbahasa Inggris
melakukan siaran yang ditunjukkan kepada wartawan asing yang sedang
berkedudukan di Indonesia. Dengan strategi ini, para pejuang mengharapkan
simpati dari pihak luar, dan turut ikut andil mengusir Belanda dari Nusantara.
K’Tut Tantri bersama Sutomo menyebarkan
propaganda melalui radio. Dirinya menjadi sangat terkenal di seluruh
wilayah Nusantara. Bahkan namanya juga terdengar di tanah Singapura dan
Australia. Orang luar negeri menjulukinya sebagai Surabaja Soe.
Akibat dari siaraan propagandanya secara terus menerus
ini, Belanda menghargai kepala K’Tut Tantri berjuata-juta dolar. Pemerintah
Belanda sangatlah membenci Surabaja Soe. Ancaman
dari Belanda tidak membuat Tantri berhenti. Dia terus melakukan siaran secara
berpindah-pindah karena tempat siaran yang terus-menerus diledakkan oleh
pemerintah Belanda.
Bertahun-tahun sudah K’Tut Tantri menyampaikan siaran
propaganda. Hingga akhirnya, Amir Syarifudin, yang kala itu menjabat sebagai Menteri
Pertahanan, memerintahkan K’Tut Tantri untuk pergi ke
Australia. K’Tut Tantri diutus untuk menyampaikan
berita mengenai keadaan Indonesia. K’Tut bersama opsir Indonesia secara
diam-diam menaiki kapal untuk pergi ke Singapura terlebih dahulu. Sesampainya
di Singapura, wanita berkulit putih itu sangat terkejut. Poster mengenai
dirinya tertempel di dinding-dinding perkotaan. Mereka menamai dirinya Surabaja
Soe, seorang kulit putih yang aktif dalam membantu perjuangan Indonesia.
Berbulan-bulan lamanya Tantri tinggal di Singapura,
sampai akhirnya dia diberi kesempatan untuk terbang ke Australia. Tidak heran
jika mayoritas warga Australia sudah mengenalnya terlebih dahulu sebaga
Surabaja Soe. Disana K’Tut Tantri secara berpindah-pindah menyampaikan orasi
kepada warga Australia, terutama mahasiswa, mengenai tindakan Belanda yang
semena-mena di Indonesia.
Pidato demi pidato disampaikan K’Tut Tantri di berbagai
forum. Hal ini menimbulkan empati dari warga Australia. Mereka tidak hentinya
mengucurkan bantuan berupa uang maupun tenaga medis untuk Indonesia. Bahkan,
mereka turut membantu dalam penuntutan kekejaman Belanda terhadap Indonesia di
forum PBB.
Perjuangan K’Tut Tantri selama di Indonesia ditulis oleh dirinya sendiri. Rasa kecewa, senang, susah, marah, dia tuangkan di dalam Revolusi Nusa Damai. Melalui buku ini, para pembaca dapat mengetahu sejarah yang tidak pernah diajarkan di sekolah umum. Kisah seorang wanita asal Amerika yang berani dan tangguh untuk memperjuangkan Indonesia dari tangan penjajah. (Ganisha Puspitasari)
Editor:
Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu