Golongan Putih: Pilihan yang Tidak Perlu Dipilih
Ilustrasi: Tiana Riski |
Pada April 2019 mendatang rakyat Indonesia akan melaksanakan Pemilu. Pesta Demokrasi yang diselenggarakan secara
serentak ini memilih wakil-wakil rakyat di kursi legislatif dan presiden
dengan wakil presiden untuk masa jabatan 5 tahun kedepan.
Semarak
pemilu sudah dirasakan di seluruh penjuru Indonesia sejak tahun lalu. Waktu
kampanye yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang cukup lama
menjadikan gema pemilu 2019 sudah terasa dari jauh-jauh hari. Para capres,
caleg, partai politik, elit politik maupun simpatisan semangat mengkampanyekan
diri untuk mencapai kemenangan. Berbagai macam strategi dilakukan oleh tim
sukses calon pemimpin untuk menaikan elektabilitas calon yang diusung.
Komisi
Pemilihan Umum menetapkan bahwa pemilih pada Pemilu 2019 ini mencapai 192 juta orang. Jumlah ini naik 3,7% dari pemilu 2014. Walaupun gaung pemilu sudah
berkumandang sejak awal 2018 dan kampanye sudah dimulai pada September 2018,
namun sampai saat ini masih banyak para pemilih muda yang belum berperan aktif
dalam Pemilu 2019 ini.
Sebagai
orang yang berpredikat akademisi, sudah seharusnya ikut mengambil peran
pada pemilu. Mahasiswa sebagai agen perubahan, kontrol sosial dan pemerintah,
dan calon pemimpin bangsa, dituntut untuk aktif dalam Pemilu 2019 sebagai bukti
eksitensi mahasiswa dalam dunia politik.
Peran
mahasiswa sebagai agen perubahan khususnya dalam berpolitik, sejatinya membuat
perubahan positif untuk perkembangan politik di Indonesia. Terjun langsung
dalam politik menjadi salah satu cara. Namun jika belum bisa untuk terjun
berpolitik, maka dengan tindakan seperti tidak menjadi “Golongan Putih” sudah
berperan aktif sebagai agen perubahan.
Walaupun
tidak memilih dalam pemilu bukan sebuah dosa, namun itu adalah hak rakyat
Indonesia yang sudah memenuhi syarat. Mahasiswa sebagai kaum intelektual tidak
seharusnya menjadi Golongan Putih. Sebagaimana kita tahu bahwa Golongan Putih
tidak mencerminkan sikap demokrasi berbangsa dan bernegara. Berapa juta rakyat
Indonesia berstatus mahasiswa, jika masih banyak mahasiswa memilih untuk tidak
memilih, maka Indonesia akan rugi suara dan material yang telah disiapkan.
Seperti
dalam buku Parpol Suatu Tinjauan Umum, Harris G Warren mengungkapkan bahwa, “Elections are the accusations when citizens
choose their officials and decide, what they want the government to do. These
decisions citizens determine what rights they want to have and keep.”
Pemilu dilakukan untuk memilih pejabat dan memutusan apa yang rakyat ingin
pemerintah lakukan. Pemilu pula menentukan hak yang ingin rakyat miliki.
Untuk
meminimalisir hal tersebut, mengubah pemikiran diri sendiri untuk lebih peduli dengan
politik di Indonesia, dengan sikap peduli terhadap politik Indonesia, kita
dapat mengerti dan memahami para calon pemimpin. Dengan beberapa cara seperti
mencari informasi tentang calon pemimpin dengan memilah informasi tersebut, dan
selalu mengikuti Debat Calon Pemimpin yang diadakan KPU juga salah satu
caranya.
Mengikuti
perkembangan Pemilu 2019 dengan cara mengadiri sosialiasi tentang pemilu untuk
mengerti bagaimana rules pemilihannya terutama bagi mahasiswa luar
daerah, yang mungkin tidak bisa pulang karena masa perkuliahan masih
berlangsung dan melakukan cek daftar pemilih tetap di KPU apa dirinya sudah
terdaftar menjadi pemilih atau belum.
Pesta
Demokrasi tahun ini jadikan ajang bagi mahasiswa untuk berperan aktif dalam
politik Indonesia, baik sebagai politikus, tim sukses calon pemimpin, ataupun
partisipan. Ilmu pengetahuan dan kekuatan menjadi ciri dari mahasiswa yang
dapat berpotensi menjadikan Indonesia lebih baik dalam dunia politik. Sejarah
Indonesia maupun dunia menempatkan pemuda sebagai garda terdepan suksesnya
bangsa dan dalam setiap perubahan kondisi bangsa. (Tiana Riski)
Editor: Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu