Mengapa Rape Culture Tumbuh Subur di Indonesia?
Aksi penolakan kekerasan dan pemerkosaan (Sumber: google) |
Mungkin, masih banyak yang belum tahu atau salah paham tentang rape culture. Apa sih rape
culture? Rape culture bukan berarti budaya
memperkosa. Rape culture adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
suatu masyarakat ataupun lingkungan yang terkesan menyepelekan tindak pelecehan
seksual. (Sumber: Oxford Dictionaries)
Pada
tahun 2018 sering sekali kita mendengar atau melihat berita mengenai pelecehan
seksual. Kebanyakan korbannya adalah perempuan, hal ini di
sebabkan beberapa hal. Pertama, banyak yang mengatakan bahwa nafsu laki-laki
lebih besar dibanding perempuan. Kedua, perempuan kerap kali dianggap sosok
yang lemah. Ketiga, banyak pelecehan seksual yang terjadi ketika pelaku di bawah
pengaruh alkohol dan obat-obatan.
Apapun
alasannya, pelecehan seksual sangat tidak dibenarkan. Di indonesia, khususnya
pada tahun 2018, banyak sekali kasus pelecehan seksual yang sempat dan masih
viral hingga saat ini. Dimulai dari cerita WA, seorang remaja putri asal Jambi
yang diperkosa hingga hamil oleh kakak kandungnya, AA. Tetapi AD, ibu dari kedua anak itu,
malah mengaborsi bayi WA dengan cara memberi ramuan tradisional dan memijat
perut anak perempuannya itu. Pada bulan Mei 2018, mirisnya, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Muara Bulian, Batanghari, Jambi, menjatuhkan vonis enam bulan
penjara kepada WA dengan tuduhan melakukan aborsi. Sementara kakaknya divonis dua
tahun penjara atas pemerkosaan yang dia lakukan.
Selanjutnya,
ada kisah Baiq Nuril, mantan guru honorer SMAN 7 Mataram. Dia
dikriminalisasikan oleh Muslim, kepala sekolah SMAN 7 Mataram, karena telah
merekam percakapan telepon antara Muslim dengan dirinya yang diduga bermuatan
pelecehan secara verbal. Rekaman itu dijadikan bukti oleh rekan Nuril, Imam
Mudawin, untuk pelaporan ke Dinas Pendidikan dan DPRD setempat. Walhasil,
Muslim dimutasi.
Namun
nahas bagi Nuril, Imam justru menyebar rekaman ke banyak pihak, sehingga Nuril
digugat Muslim dengan laporan melanggar pasal 27 ayat (1) UU ITE. Putusan
majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Mataram sebenarnya membebaskan Nuril dari
sangkaan tersebut, tapi jaksa penuntut umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung,
sehingga Nuril diganjar enam bulan kurungan serta denda Rp500 juta.
Kasus
terakhir yang sangat menyita perhatian kita hingga sekarang adalah kasus Agni,
mahasiswa UGM yang menjadi korban kekerasan seksual dari rekannya saat
melakukan Kuliah Kerja Nyata atau KKN pada Juli-Agustus di Pulau Seram, Maluku.
Agni baru berani melakukan pelaporan ke kepolisian pada pertengahan Desember lalu. Dalam kasus ini pelaku tidak di keluarkan dari UGM, melainkan hanya
penundaan kelulusan dan pengulangan KKN.
Sebenarnya
tidak hanya perempuan yang menjadi korban. Masih ingat dengan Jonathan
Christie? Peraih medali emas Asian Games itu, mendapat banyak komentar setelah
dia berselebrasi merayakan kemenangan dengan membuka kaus yang dikenakannya
saat final Asian Games, tak terkecuali yang menjurus ke arah seksual seperti :
“#jojobukabaju
kenapa sih cuma kaosnya doang yang dibuka .. Gemes deh pengen merosotin
celananya HAHAHA ..”
“Aaak
gantengnya! Rahim gue anget”
Masih
banyak komentar yang menjadi populer juga seperti: “ovarium meledak”, “hamil
online” dll. Memang masih menjadi perdebatan apakah itu masuk pelecehan seksual
atau tidak, tetapi yang pasti, komentar seperti itu berlebihan dan sangat
tidak etis, walaupun mungkin niatnya hanya bercanda. Kalau seperti demikian dianggap
wajar, lalu bagaimana jika posisinya dibalik? Terdapat komentar dari beberapa
warganet, mereka mengeluh mengenai komentar vulgar wanita mengenai Jonathan
Cristie yang tidak dianggap sebagai sexual
harassment. Sedangkan, jika pria berkomentar mengenai tubuh wanita, akan
dihujat dan dianggap sebagai pelecehan
Menurut
laporan Komnas perlindungan anak dan perempuan menyebutkan pada 2014 terdapat
4.475 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan, 2015
sebanyak 6.499 kasus, 2016 sebanyak 5.785 kasus, 2017 tercatat ada 5.649 kasus,
dan pada tahun 2018. Angka di atas hanyalah kasus yang baru dilaporkan saja.
Bukan tidak mungkin ini hanya seperti efek gunung es, hanya sedikit yang
melapor dan masih banyak kasus yang belum dilaporkan. Banyak alasan mengapa
korban cenderung tidak melaporkan kasus pelecehan seksual yang dialaminya, antara
lain, malu, takut kehilangan pekerjaan, takut jadi banyak yang melakukan
pelecehan terhadap dirinya, dan takut menjadi korban victim blamming, dimana masyarakat justru menyalahkan pihak korban.
Bak
ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah menjadi korban, malah banyak
yang menyalahkan dirinya, bahkan oleh sesama perempuan. Kata-kata seperti, “mungkin elu nya sih yang pakaiannya kekurangan bahan”, “pantes aja orang bajunya
terbuka gitu”, “elu kali make bajunya yang ketat ketat”, dan masih banyak
lagi. Kadang kita tidak sadar, hal
seperti itu bisa membuat psikis korban menjadi down. Cibiran tersebut juga menyebabkan banyak yang berpikir ulang untuk
melaporkan kasusnya, sehingga tidak ada tindak lanjutan atau bahkan terus diulangi
oleh pelaku.
Banyak
komentar lain yang membuat seolah olah hal kecil yang biasa dilakukan laki-laki
sudah menajdi lumrah, “Kan Cuma di pegang doang, lebay amat dah”, ”Santai aja
kali, sok suci banget deh”, ”Laki laki emang kaya gitu kali”, dll. Bahkan, ketika
kasus ini dibawa ke ranah hukum, petugas justru malah menanyakan hal-hal yang
dapat mematikan laporan dari pelapor. Contohnya seperti: “Apa
kejadian ini bukan karena suka sama suka?”,”Coba di bicarakan kekeluargaan
dulu” dsb.
Selain
itu, kurangnya pendidikan seks juga sangat berpengaruh, apalagi di zaman modern
seperti ini. Pendidikan seks yang dimaksud adalah bukan pendidikan tentang
berhubungan seksual, namun lebih mengarah kepada pemberian pemahaman mengenai alat
kelamin masing-masing. Bagian mana saja yang tidak boleh disentuh orang lain dan
memberi pemahaman mengenai risiko berhubungan seksual sebelum menikah, yang
tentunya disesuaikan dengan usia audience.
Di
Indonesia, pendidikan seks masih dinilai tabu, baik itu di lingkungan keluarga
maupun sekolah. Sehingga banyak anak yang penasaran, kemudian mencari tahu
sendiri di internet. Tentu, hal tersebut mengakibatkan anak menjadi tidak bisa
terkontrol. Bahkan bisa saja, mereka terjerumus di situs pornografi dan
menimbulkan efek ketagihan. Lebih parahnya lagi, rasa penasaran yang dimiliki
anak-anak, dapat meghantarkan mereka untuk mencobanya secara langsung. Oleh
sebab itu, pendidikan seks sangat penting karena dapat mencegah perilaku seks
bebas, kehamilan tidak diinginkan, aborsi, pemerkosaan, hingga penularan
penyakit seksual. Sudah saatnya rape
culture hilang dari Indonesia.
Jika
secara tidak sadar semua orang membuat rape
culture berkembang di indonesia, maka dengan sadar kita semua dapat
menghapus rape culture yang ada di
negeri ini. Dimulai dari memberi pemahaman dan mengontrol komentar diri kita
dan orang-orang di sekitar kita. (Difa
Arifin)
Editor:
Ganisha Puspitasari
Tulis Komentarmu