Eksistensi Tanpa Etika
Sumber: pinterest |
MENJADI viral di media sosial
sepertinya adalah candu bagi penggunanya. Konten yang dianggap menarik dengan
sadar disebarkan untuk dapatkan perhatian publik. Kadang tanpa pedulikan etika
dan harga diri, berbagai konten sengaja dibuat, dimuat dan disebarkan oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Seperti halnya sebuah video yang
merekam detik-detik kejadian bunuh diri beberapa hari ini ramai dibicarakan di
jagat maya.
Tak hanya tentang korban,
warganet ramai komentari oknum yang merekam dan dengan sengaja menyebarkan
video. Seorang wanita di Bandar Lampung dan beberapa temannya sedang berada di
dalam mobil yang kebetulan tengah melewati gedung swalayan tempat dimana
peristiwa bunuh diri itu terjadi. Dengan spontan, wanita tersebut merekam ke
arah atap gedung dimana pemuda malang itu siap menerjunkan dirinya. Ironisnya, dalam
video tersebut, sempat terekam ucapan “Loncat, loncat” sambil tertawa-tawa yang
berasal dari perekam.
Menurut kesaksian pihak-pihak, orang-orang yang berada tepat di bawah gedung tersebut juga lebih memilih mengabadikan
daripada aktif mencari bantuan dan menyelamatkan korban. Entah apa yang
terpikirkan oleh mereka, sampai mengesampingkan keselamatan nyawa
seseorang demi sepotong rekaman. Hal semacam ini memang bukan pertama kali
terjadi. Tahun 2017, seorang lelaki asal Jakarta Selatan merekam dirinya
sendiri yang hendak melakukan bunuh diri secara langsung melalui akun
Facebooknya. Video tersebut menjadi viral dan sempat eksis selama 10 jam di
dunia maya. Karena terus disebarluaskan secara berantai, akhirnya
Kementrian Komunikasi dan Informasi beserta Facebook menghapusnya.
Media sosial telah banyak
mengubah pola pikir hingga belakangan mampu mengikis rasa kemanusiaan. Rasa
empati dan kemanusiaan digadaikan demi eksistensi semu yang ditawarkan. Beberapa
orang mengabaikan efek yang terkandung pada konten yang dibagikan.
Rekaman atau gambar yang
menampakkan kesadisan atau proses bunuh diri seseorang mungkin saja menimbulkan
dampak sebagai berikut.
Emosi negatif, adegan bunuh diri
dengan metode yang dramatis dapat memunculkan rasa ngeri, jijik, dan sangat
bisa memicu trauma bagi yang melihat. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa penonton.
Kedua, bunuh diri tiruan
atau copycat suicide. Tentu
bertambahya angka orang yang melakukan bunuh diri adalah yang kita hindari,
namun bisa saja dengan penyebaran video malah akan memperparah. Hal ini disebut
efek Werther, yang mana seseorang mungkin saja meniru cara bunuh diri saat
mengalami kondisi depresi yang serupa.
Orang-orang terdekat korban bunuh diri juga mampu terpengaruh terutama oleh komentar negatif. Selain
kehilangan privasi, komentar negatif juga akan memberikan efek depresi kepada
kerabatnya.
Stigma juga mampu memengaruhi seseorang
dengan kecenderungan bunuh diri dan depresi. Mereka yang butuh bantuan, merasa takut untuk berbicara. Khawatir menerima stigma negatif
dan penghakiman orang-orang.
Di Indonesia sendiri,
pengendalian dan penanganan hukum atas kasus seperti ini terkesan longgar. Contoh,
Pasal 28 UU ITE yang hanya melarang penyebaran dengan intensi ujaran kebencian
dan profokasi, namun belum bisa melingkupi penyebaran video dengan dasar
pelanggaran etika. Selain itu, pasal 531 KUHP yang mengancam seseorang
atas tuduhan lalai dalam menyelamatkan nyawa saat keadaan genting, hanya
memberikan denda maksimal Rp4.500 dan kurungan penjara paling lama tiga bulan.
Namun, aturan hukum ini nyatanya
tumpul dalam eksekusi. Dengan jelas, telah lalai dalam menghiraukan keselamatan nyawa, bahkan diiringi pencideraan etika. Kejadian ini
sudah cukup untuk dimaklumi. Manusia harus dikembalikan pada akal sehat dan
empati. Kontrol media sosial harus kita yang kuasai. Jika melihat yang tak
seharusnya dikonsumsi publik, ditangan masing-masing kitalah penyebaran itu
harus berhenti. (Nabila Rosellini)
Editor: Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu