Pembatasan Jam Tayang 17 Lagu Barat dan Hubungannya Dengan RUU Permusikan
Ilustrasi Pembatasan Pembuatan Musik (Foto: tirto.id) |
Baru-baru ini kita dihebohkan oleh
berita yang berisi adanya 17 lagu barat yang dibatasi jam tayangnya oleh KPID
Jawa Barat. Ke-17 lagu berbahasa Inggris yang dibatasi penayangannya itu
dilampirkan pada surat edaran 480/215/IS/KPID-JABAR/II/2019. Lagu-lagu tersebut
diketahui dibatasi jam tayangnya. Hal ini dikarenakan lagu-lagu tersebut berisi
adegan atau lirik yang vulgar sehingga masuk kategori “D” atau dewasa.
Jam tayang lagu tersebut mulai dari
pukul 22.00 – 03.00 WIB. Diakibatkan karena dalam jangka waktu tersebut, jarang
dijumpai anak-anak yang masih terbangun atau dikatakan hanya orang dewasa saja
yang dapat mengakses. Hal ini di karenakan adanya aduan masyarakat Jabar
terhadap lagu-lagu yang bermuatan seksual. Bahkan dalam laporan, ada 86 lagu
yang diadukan hingga akhirnya hanya 17 lagu yang dibatasi jam tayangnya.
Dengan cepat berita itu menjadi viral
di media sosial, banyak yang memberikan komentar bahkan kritikan terhadap apa
yang dilakukan oleh KPID Jawa Barat, mulai dari netizen, Glen Fredly, Arian
‘Seringai’, JRX ‘SID’, hingga Bruno Mars. Tak terkecuali musisi Jogja juga
memberikan tanggapannya mengenai hal itu, salah satunya adalah vokalis Band Sastromoeni,
Wisnu Prabowo.
“Justru ketika KPID membatasi radio
untuk memutar lagu-lagu (yang katanya kurang pantas) sedangkan tidak melakukan
hal yang sama pada platform media lain, justru menunjukkan pada publik bahwa, perusahaan
media yang besar (kalau spotify dan youtube boleh disebut perusahaan) kebal
terhadap sensorship. Dan kesannya KPID tidak ada harganya di hadapan Spotify
dan Youtube,” kata Wisnu ketika dihubungi Sikap Senin (11/03/2019).
Akan tetapi, sebenarnya pembatasan jam
tayang lagu-lagu tersebut sudah sesuai UU Penyiaran yang berlaku. Daftar lagu
yang ditinjau ini sesuai dengan Pasal 20 ayat 1 dalam Peraturan Komisi
Penyiaran Indonesia yang menjelaskan tentang program siaran dilarang berisi lagu
dan/atau video klip yang menampilkan judul dan/atau lirik bermuatan seks,
cabul, dan/atau mengesankan aktvitas seks. Namun, dalam hal ini KPID hanya
membatasi jam tayangnya saja.
Vokalis band asal UGM tersebut juga
memuji apa yang dilakukan KPID Jabar, karena hal ini bisa menjadi benteng
terakhir yang melindungi anak-anak dari konten yang bermuatan seksual. Namun, menurut
dia seharusnya KPI atau KPID juga tidak hanya fokus pada hal pembatasan atau
pelarangan konten saja. Mereka juga harus fokus mengadkan penyuluhan kepada masyarakat
tentang hiburan seperti apa yang bisa dikonsumsi oleh semua umur dan mana saja
yang hanya boleh dikonsumsi oleh orang dewasa.
Wisnu menambahkan, “kalau menurutku,
penyuluhan harus ke semua jenjang usia, anak-anak sampai dewasa. Kalau cuma ke
usia anak-anak saja, misalkan sudah dikasih tau nih, mana yang bagus mana yang
enggak, eh tapi ternyata orang tuanya memberikan celah buat si anak mengakses
‘hal-hal buruk’ hahahaha ya sama aja boong”
Namun, sebenarnya hal ini tidak dilakukan
kali ini saja oleh KPID Jabar. Sebelumya pada tahun 2016 KPID Jabar juga melakukan
hal yang sama terhadap lagu-lagu dangdut. Bahkan ada pelarangan tayang bagi
lagu-lagu dangdut yang dirasa sangat vulgar. Begitupun dengan KPID Jawa Tengah,
pernah melakukan pelarangan beberapa lagu pada tahun 2017.
Tetapi akhir akhir ini memang KPI dan
juga KPID sedang gencar-gencarnya melakukan pembatasan konten yang bermuatan
seksual, tidak sedikit juga yang menjadi polemik. Seperti sensor pada beberapa
acara tv yang dianggap sangat tidak perlu, karena dirasa tidak masuk akal,
pelarangan beberapa iklan yang tayang di tv, hingga yang baru viral akhir-akhir
ini, yaitu pembatasan jam tayang 17 lagu barat oleh KPID.
Hal ini juga berhubungan dengan RUU
Permusikan yang juga heboh sebulan terakhir, khusunya dengan RUU Permusikan
pasal 5 yang beirisi: mendorong khalayak umum melakukan kekerasan dan perjudian
serta penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; memuat
konten pornografi, kekerasan seksual, dan eksploitasi anak; memprovokasi
terjadinya pertentangan antarkelompok, antarsuku, antarras, dan/atau
antargolongan; menistakan, melecehkan, dan/atau menodai nilai agama; mendorong khalayak umum melakukan tindakan
melawan hukum; membawa pengaruh negatif budaya asing; merendahkan harkat dan martabat manusia.
Dalam artian ini, pemerintah membatasi
isi atau konten yang dibuat oleh seorang musisi. Sehingga musisi tidak bisa
mengembangkan kreativitasnya dalam berkarya, karena terpaku untuk tidak
melanggar aturan. Bahkan dalam pasal 50 disebutkan jika musisi melanggar pasal
5 akan dikenakan pidana. Padahal musisi hanya menuangkan apa yang ada di pikirannya
Dikutip dari TribunManado.co.id pada
artikel yang berjudul ‘Kritik Pasal 5 RUU Permusikan, Marcell mengatakan, "Tapi
kalau misalnya gue ditanya apa yang paling nyeleneh itu pasal 5. Itu gila. Ya
tentang itu tadi mengekang kebebasan kita berpendapat. Apakah kemudian lagu di
Indonesia harus lagu cinta semua? Lagu saya lagu cinta, (lagu) saya ada juga
yang sangat erotis, yang mengandung ‘mungkin pornografi’, bisa kena juga saya."
Hal ini membuktikan bahwa seorang
musisi tidak bisa dibatasi atau diatur dalam menghasilkan karya seni,yang dibutuhkan hanya kesadaran masyarakat dalam memilah konten yang dikonsumsi untuk
dirinya sendiri dan juga keluarganya. (Difa Arifin)
Editor: Ganisha Puspitasari
Tulis Komentarmu