Kendala Upaya Rehabilitasi Pantai: Regulasi, Edukasi, dan Kesadaran Diri
foto: Greenpeace.org/indonesia |
Estetika dan keunikan biota laut merupakan beberapa alasan seseorang memilih pantai sebagai destinasi
wisata. Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki kurang lebih 95 ribu kilometer garis pantai mempunyai potensi yang besar di sektor pariwisata. Pantai Kuta dan
Parangtritis merupakan dua dari ratusan bahkan ribuan pantai yang tersebar di Indonesia. Namun, apa jadinya jika tempat yang sejatinya dijadikan sebagai
tempat berekreasi beralih fungsi menjadi Tempat Pembuangan Akhir?
Masalah sampah merupakan masalah klasik yang dihadapi
oleh pengelola tempat wisata khususnya pantai. Tidak hanya berasal dari para
wisatawan, sampah juga datang dari hulu sungai yang mengalir sampai ke bibir
pantai. Tumpukan yang didominasi oleh plastik ini mengancam ekosistem di bawah
laut.
Menurut data yang diperoleh dari Asosiasi
Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), sampah
plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton/ tahun dan hanya 10 juta ton yang
terbuang didarat dan sisanya
terbuang di laut. Hal ini juga terjadi di pantai Parangtritis di Daerah
Istimewa Yogyakarta. Suranto, koordinator UPK Dinas Pariwisata Parangtritis
mengatakan bahwa dalam sebulan ia dan koleganya dapat mengumpulkan kurang lebih
50 ton sampah.
Selain sampah dari wisatawan, sampah-sampah juga
datang dari aliran Sungai Winongo. Jenisnya pun beragam mulai dari sampah
plastik, botol, kaleng, bahkan popok. Menurut Suratno, sampah yang datang dari
aliran sungai jauh lebih berat dan masif dibandingkan yang dihasilkan oleh
pengunjung. Oleh karena itu, ia dan para petugas Dinas Pariwisata Kabupaten Bantul
telah melakukan penyuluhan kepada warga yang tinggal di bantaran Sungai Winongo,
Opak dan Progo untuk tidak membuang sampah ke sungai.
“Kami telah melakukan koordinasi dengan warga, bahkan
di beberapa tempat sudah kami beri papan pengumuman untuk tidak membuang sampah
ke sungai masih terjadi. Oleh karena itu saya mengapresiasi gerakan yang
dilakukan oleh teman-teman dari UPN yang mengadakan kegiatan bersih-bersih
pantai sehingga masyarakat dan pengunjung melihat. Semoga ada
kesadaran dari para masyarakat terhadap dampak yang terjadi ketika membuang
sampah sembarangan,” kata Suratno.
Pemerintah serta lembaga kemasyarakatan sebenarnya telah
bekerja sama dalam menanggulagi masalah yang “menggunung” ini. Dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, target sampah berkurang
sebesar 20% dan tertangani sebesar 75% pada tahun ini. Namun tidak adanya regulasi dalam penggunaan plastik
merupakan indikasi bahwa pemerintah masih setengah hati dalam menangani kasus
penggunaan plastik yang berlebihan.
Furqonul Akbar memberikan materi penyuluhan di acara Mayung Jagad (foto: Eliza Puspita) |
Greenpeace Youth Indonesia sebagai
LSM yang bergerak di bidang lingkungan, mendesak pemerintah untuk membuat regulasi
serta menindak para pengusaha yang masih menggunakan single use plastic dalam mengemas produknya. Greenpeace menilai
bahwa edukasi yang diberikan kepada masyarakat akan sia-sia jika tidak diikuti
oleh regulasi. Pun sebaliknya, regulasi tidak akan berdampak apa-apa jika tidak
adda edukasi serta penyuluhan terhadap masyarakat. Hal ini disampaikan oleh Furqonul
Akbar, anggota dari Greenpeace Youth Indonesia ketika mengisi materi di acara
Mayung Jagad 2019.
“Masyarakat mengerti akan adanya konsep 3R yaitu Reduce, Reuse, and Recycle. Namun
masyarakat masih terpaku di poin recycle.
Padahal konsep 3R merupakan konsep yang berkelanjutan dan tidak bisa hanya
terpaku ke satu poin. Jika hanya me-recycle
tanpa me-reduce tentunya tidak akan
berdampak signifikan terhadap masalah ini,” terang Furqonul.
Semua masalah penanganan sampah tidak bisa
diselesaikan oleh satu pihak. Harus ada sinergi antara pemerintah, Lembaga
Swadaya Masyarakat, dan masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang kekusaan
tertinggi di suatu negara harus mengeluarkan regulasi serta penindakan yang
jelas terhadap kondisi lingkungan. Pun dengan LSM yang bertugas untuk
mengedukasi masyarakat akan bahaya sampah untuk generasi mendatang. Namun
tentunya regulasi serta edukasi yang diberikan akan percuma jika tidak diikuti
dengan kesadaran diri di dalam masyarakat. (Rizky
Fabian)
Editor:
Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu