Humba Dreams: Kecintaan dan Gairah Ekspresi
Media gathering Humba Dreams (foto: Ida) |
“Sumba adalah satu pengalaman yang sangat kompleks, karya yang luar
biasa, (kayanya) mediumnya itu lucu, film itu saja tidak cukup,” tutur Riri
Riza, sutradara film Humba Dreams dalam Media Gathering di Greenhost Boutique
Hotel, Prawirotaman, Sabtu (27/7).
Sumba masih menjadi pilihan Riri
Riza dan Mira Lesmana untuk menggarap film layar lebar. Mira mengungkapkan
bahwa mereka terpukau dengan Sumba akan berbagai kompleksitas, keindahan, dan
cerita yang ada di dalamnya. Ia merasa bahwa kecintaanya pada Sumba perlu
diekspresikan lebih jauh.
Berawal dari sebuah pertemuan
Riri, Mira, dan Ifa Isfansyah dengan sebuah toko cuci cetak film di Kota
Waingapu. Menurut Riri, toko tersebut memiliki cerita yang unik. Dimiliki oleh
keluarga keturunan Tionghoa dan semua anak-anaknya bekerja di toko tersebut.
Kemudian ia berpikir untuk menjadikan Sumba yang kuat dengan kebudayaan dan
juga pertemuan-pertemuan.
“Saya berpikir pengalaman
kontemporer yang saya temui di Sumba itu ingin saya ceritakan,” ujar Riri.
Melalui Humba Dreams, Riri sang
sutradara dan Mira sebagai produser mengajak penonton untuk menjelajahi Sumba
lewat perspektif Riri, yang mengambil sudut pandang kepercayaan Marapu. Humba
merupakan sebutan untuk Sumba yang lebih akrab.
Marapu merupakan kepercayaan lokal
yang dianut oleh sebagian penduduk Sumba. Upacara kematiannya dilengkapi dengan
penyembelihan hewan seperti kerbau atau kuda. Sama halnya dengan upacara lain,
daging hewan akan disantap oleh yang hidup dan roh hewan dipersembahkan untuk
nenek moyang. Roh orang mati dianggap sebuah komponen tertinggi dan utama.
Walau berada di tengah
perkembangan zaman, tradisi Marapu masih dilaksanakan. Masyarakat Sumba tidak
pernah meninggalkan adat.
Cuplikan adegan Humba Dreams (foto: press kit Humba Dreams) |
Film yang memenangkan CJ
Entertainment Award di Asian Project Market (APM) Busan International Film
Festival 2017 ini hanya akan ditayangkan secara terbatas, yakni pada World
Premiere pada ajang Shanghai International Film Festival 2019, JAFF Movie Night
3.2 tanggal 27 Juli 2019 (khusus undangan), serta 3-4 Agustus 2019 (umum).
Selanjutnya akan diputar bergilir ke kota lain agar mendapatkan pengalaman yang
lebih menyeluruh dengan diskusi setelah pemutaran film.
Apresiasi untuk Sumba
Dua orang pembuat film Pendekar
Tongkat Emas ini tidak ingin membatasi Humba Dreams pada satu medium seni. “Membayangkan bagaimana caranya
membawa apa yang ada di Sumba, tidak hanya dari film saja,” ungkap Mira,
pendiri Miles Productions ini.
Berkunjung ke ARTJOG, membuat
Riri tertarik untuk membuat karya seni rupa lain dari Humba Dreams. Ia ingin
memperkenalkan bagaimana Humba Dreams tidak hanya bisa dinikmati melalui film
saja, tetapi juga medium lainnya.
“Karena kebetulan medium saya audio visual, saya jadi
tertarik, saya ingin membuat bagaimana kita bisa melihat sesuatu dari
perspektif yang unik, misalnya mengintip, atau bermain dengan ruang suara,”
terang Riri Riza.
Instalasi seni berjudul Humba
Dreams (un)Exposed menjadi pilihan Riri. Karya ini dapat dinikmati pada
perhelatan ARTJOG 2019 (selanjutnya ditulis ARTJOG MMXIX), yang digelar pada 25
Juli hingga 25 Agustus 2019 di Jogja National Museum.
Bentuk instalasi ini berupa tiga
patung jasad duduk dari tradisi Marapu yang hadir dengan semacam lubang kecil.
Di dalamnya terputar B-Roll dan rol-rol film dari pembuatan Humba Dreams.
Pengunjung yang ingin menikmati karyanya harus mengintip ke dalam patung
tersebut. Dalam pembuatannya, Riri Riza berkolaborasi dengan Studio Batu serta
didukung oleh Wulang Sunu, Taba Sanchabakhtiar, dan Satrio Budiono.
Tak hanya sampai pada film dan
instalasi seni, Humba Dreams juga akan hadir dalam buku dari jurnal perjalanan
Riri tentang keindahan Sumba.
“Ketika kami membicarakan apa
yang ingin dilakukan, buku atau jurnal catatan proses adalah sesuatu yang ingin
diterbitkan tentang keseluruhan proyek ini,” pungkas Riri. (Ida Nur Apriani)
Editor: Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu