RKUHP Aborsi, Solusi atau Sekadar Ambisi?
Ilustrasi janin dalam kandungan. |
'Telat menstruasi? Jangan kawatir, hubungi nomor di bawah ini' kalimat itu tidak asing karena cukup sering terlihat pada stiker berukuran 1×6 cm, terutama di kamar mandi umum perempuan. Terpercaya atau tidak, layanan yang ditawarkan mungkin akan berguna bagi mereka yang dilanda rasa frustrasi akibat kehamilan tak terduga.
Dengan strategi marketing
gerilya sederhana berupa stiker kecil di sudut-sudut WC, nomor telepon
yang tertera seakan menjadi solusi. Ya, solusi untuk memilih aborsi, secara
diam-diam tanpa tahu bagaimana keamanan praktik tersebut, apakah dilakukan oleh
tenaga profesional atau tidak, dan apa efek sampingnya. Oknum aborsi
ilegal seolah memanfaatkan pikiran pendek perempuan yang sedang
kebingungan.
Lalu, mengapa masih ada yang mempercayai
dan menginginkan layanan aborsi secara diam-diam hingga rela menggadaikan
keselamatannya pada layanan tanpa jaminan ini?
Kenyataannya, entah keberadaan janin karena
perbuatan yang dikehendaki atau akibat dari pemerkosaan, hamil dari
hubungan tak resmi adalah momok terbesar bagi perempuan. Mereka dianggap
pembawa aib buruk bagi keluarga; pendosa besar di mata agama; dan pelaku
kejahatan bagi hukum yang berlaku di negara ini. Setidaknya sebutan tersebut
cukup diakui oleh masyarakat Indonesia, yang notabene adalah negara hukum
dengan adat ‘agak’ ketimur-timuran. Apalagi, kegiatan aborsi dinilai
tidak manusiawi sehingga menambah tekanan bagi mereka untuk memilih aborsi
secara ilegal daripada konsultasi ke tenaga profesional.
Sebutan pelaku kejahatan hukum menjadi
sorotan tatkala membicarakan Pasal 251, Pasal 415, dan Pasal
470 pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang
diusulkan oleh DPR. Masalahnya, pasal-pasal tersebut mengancam hukuman penjara atas
tindakan aborsi.
Menurut Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR) pasal RKUHP tersebut mengandung diskriminasi
dan ancaman terhadap pelaku aborsi walaupun atas dasar alasan kesehatan atau
korban perkosaan. Mereka diancam dengan hukuman 4 tahun penjara. Pasal itu memberi
kategori kriminalitas bagi permintaan aborsi; pemberian obat dan alat
untuk aborsi; serta pihak yang membantu pelaksanaan aborsi.
Pengecualian aborsi memang diperbolehkan bagi
korban perkosaan, dengan syarat dilakukan paling lama 40 hari sejak menstruasi
pertama. Pasalnya, seseorang yang menjadi korban perkosaan akan kesulitan
mengetahui usia kehamilan, dan belum tentu mengetahui batas usia aborsi
tersebut.
Aborsi seakan menjadi sesuatu yang sangat
fatal dilakukan menurut RKUHP ini. Hal itu bertolak belakang dengan ketentuan Pasal
75 UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Dalam pasal itu tertulis bahwa
tindakan aborsi dapat dilakukan apabila:
- indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin; yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan; maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau
- kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Salah satu contoh kasusnya adalah pemerkosaan
kakak kepada adik kandung di Jambi tahun 2018 yang memiliki banyak resiko kesehatan
karena hubungan sedarah atau inses bagi kesehatan janin maupun kesehatan mental
korban. Selain itu jika pelaku perkosaan mengidap penyakit berbahaya seperti
HIV yang berbahaya bagi janin maupun korban. Untuk beberapa alasan kesehatan
tersebut, aborsi legal dilakukan. Hal ini juga didukung dengan Pasal 76 yang
mengatakan bahwa praktik aborsi untuk korban perkosaan dapat dilakukan
saat usia kehamilan maksimal enam minggu.
RKUHP memuat pengecualian dengan tidak
memidana dokter yang melakukan penguguran kandungan dengan indikasi medis untuk
korban perkosaan. Sedangkan kompensasi tidak diberikan bagi perempuan yang
melakukan aborsi demi alasan kesehatan. Ini menjadi alasan mengapa ICJR
mengatakan bahwa RKUHP tersebut mendiskriminasi korban perkosaan. Sebab, pengecualian
aborsi dengan syarat maksimal 40 hari kehamilan sulit untuk diidentifikasi oleh
korban.
Dalam Pasal 77 UU Kesehatan juga telah
dinyatakan bahwa pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi
yang tidak bermutu, tidak aman, dan tidak bertanggung jawab. Tidakkah
pemerintah mengetahui bahwa pasal pada RKUHP yang tidak melindungi korban
perkosaan malah mendorong mereka untuk melakukan aborsi ilegal?
Pasalnya, aborsi yang dilakukan oleh
profesional malah terkesan dipersulit dengan adanya RKUHP ini. Aborsi yang
tidak menjamin keamanan akan meningkatkan Angka Kematian Ibu (AKI). Padahal,
tujuan pembahasan RUU Kesehatan 2008-2009 untuk mengatur praktik aborsi aman,
guna meminimalisir AKI. Berdasarkan data yang diunggah oleh ASEAN Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015 kematian ibu di Indonesia
masih mencapai 305 per 100 ribu. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai
negara dengan angka kematian tertinggi kedua di Asia Tenggara.
Pasal-pasal pada UU Kesehatan menjadi dasar
perlawanan bagi RKUHP tentang aborsi. Bukan tidak mungkin, apabila Pasal 251,
415, dan 470 dalam RKUHP disahkan akan menjadi pasal karet yang menjerat mereka
yang melakukan aborsi karena faktor kesehatan atau korban perkosaan.
Selain bertentangan dengan landasan hukum
lainnya, pasal-pasal ini juga bisa mengubah status seorang korban perkosaan
menjadi pelaku aborsi yang dapat dijerat pidana. Ini merupakan ketidakadilan
bagi korban. Dibanding mengesahkan pasal karet tersebut, pemerintah seharusnya
membuat strategi yang berfokus pada kesehatan jiwa dan keselamatan korban,
melindungi hak asasi korban, serta menggandeng mereka untuk mengahadapi
masalahnya dengan bijak.
Berkaca pada
Singapura yang memberikan kebebasan bersyarat dalam hal aborsi. Tidak
harus dengan aturan yang sama, tapi strategi yang patut dicontoh yaitu pemberian
konseling bagi calon pelaku aborsi dibawah 17 tahun. Pemerintah baiknya belajar
dari program ini, tak hanya untuk anak dibawah umur, tetapi untuk semua.
Program konseling untuk mendampingi calon
pelaku aborsi atau korban perkosaan bisa saja membuka pikiran mereka untuk
mempertahankan janin (apabila tidak membahayakan). Pendampingan
tersebut ditujukan bagi mereka yang sebenarnya masih mampu untuk
mempertahankan, namun karena alasan malu atau sanksi sosial yang akan diterima,
mereka memutuskan untuk aborsi. Pendampingan dengan mekanisme yang
baik; menjaga hak privasi; dan berdampak pada kepercayaan diri
akan sangat dibutuhkan untuk mengubah cara pandang mereka. Terlepas dari
mereka yang melakukan dosa atau mereka sebagai korban.
Selain itu, penekanan pada aspek pengecualian
tindakan aborsi juga harus diedukasi pada masyarakat. Tentunya edukasi tersebut
sesuai dengan UU Kesehatan yang berlaku dan melibatkan para ahli. Hal ini perlu
dilakukan untuk mengurangi Angka Kematian Ibu akibat praktek-praktek aborsi
yang ilegal. (Rieka Yusuf)
Editor: Marcelina Mia Amelia
Tulis Komentarmu