Tak Hanya Mahasiswa, Aksi #GejayanMemanggil juga Diikuti Dosen, Komunitas Suku, hingga Queer
Mahasiswa melakukan orasi di depan para demonstran (foto: Rieka) |
AKSI DAMAI bertagar #GejayanMemanggil yang diikuti oleh berbagai elemen di
Yogyakarta pada Senin (23/9) kemarin berjalan kondusif. Menurut
Koordinator Umum Aliansi Gerakan Rakyat Bergerak, Rico Tude, ada sekitar 20.000
orang terlibat dalam aksi yang diselenggarakan di Simpang Tiga Colombo. Meski
demonstran didominasi dari kalangan mahasiswa, pihak akademisi, komunitas suku,
hingga komunitas gender juga tak ketinggalan menyuarakan aspirasinya.
Justin Noverlin Zai, salah satu mahasiswa peserta aksi damai sekaligus Ketua BEM
Fakultas Pertanian UPN "Veteran" Yogyakarta berpendapat bahwa kebakaran yang terjadi di
Kalimantan dilatarbelakangi kepentingan pihak tertentu. "Selain menghapus
RUU KPK, pemerintah juga harus menghukum oknum yang sengaja membakar hutan,"
kata Justin. Desakkan
sejenis juga disampaikan oleh kalangan akademisi lain.
Pipin
Jamson, aktivis sekaligus akademisi di salah satu universitas negeri di
Yogyakarta juga mendesak pemerintah untuk mengesahkan RUU PKS. Meskipun
berprofesi sebagai dosen, Pipin mengaku menghadiri aksi sebagai seorang warga
negara Indonesia yang tidak mewakili instansi manapun.
Menurutnya, RUU PKS
memberikan definisi dan batasan jelas mengenai kekerasan seksual yang dapat
melindungi korban. "Teman-teman aktivis selalu memberikan pengertian bahwa
kehadiran RUU PKS adalah mengupayakan keadilan sosial bukan memberikan
kebebasan seperti yang selama ini dituduhkan," tegasnya.
Sementara
itu, komunitas suku dari Papua juga memanfaatkan kesempatan ini untuk
menyuarakan aspirasinya. "Saya berharap seluruh masyarakat Papua yg turun
ke jalan bisa memperjuangkan hak-haknya, dan menghapus penindasan terhadap
kelompok kecil," ujar Musel, perwakilan Aliansi Mahasiswa Papua saat
diwawancarai.
Dalam orasinya, Musel juga menyampaikan bahwa selama ini
pemanfaatan sumber daya alam di Papua yang dilakukan pemerintah tidak
melibatkan orang Papua. Untuk itu ia mendesak pemerintah agar memberikan
keadilan dan kebebasan Papua, serta mengakomodir aspirasi mereka dengan baik.
Jesica Ayudia Lesmana saat diwawancarai awak media pada aksi #GejayanMemanggil (foto: Karina) |
Selain dari mahasiswa, dosen, dan orang Papua, aksi #GejayanMemanggil juga menarik minat kelompok minoritas seperti Queer. Dengan mengenakan kaos berwarna merah muda, kacamata hitam, dan payung tradisional, Jesica Ayudia Lesmana mengikuti aksi tersebut dengan percaya diri. "Ada enam isu yang kami jadikan fokus dalam aksi ini, yaitu isu feminisme, sensualitas, body image, pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan, hijrah, serta LGBT," ucap salah satu anggota vokal grup Amoeba itu.
Meski merupakan kelompok minoritas yang memiliki stigma negatif di masyarakat, Jesica merasa memiliki rasa tanggungjawab untuk memperjuangkan hak-hak para wanita. Ia juga berharap pemerintah tidak mengkriminalisasikan korban yang terjerat pada kasus seksualitas, pengamen, hingga gelandangan. Mengingat hal-hal tersebut cukup menjadi sorotan pada RKUHP yang kontroversial. Tak hanya itu, waria berusia 27 tahun ini juga menuntut keadilan serta hak-haknya sebagai manusia tanpa dipandang sebelah mata. (Rieka Yusuf)
Editor:
Aqmarina Laili Asyrafi
Tulis Komentarmu