Sentuhan Magis Dari Sukoharjo
Karni sedang menjelaskan proses pembuatan kain batik. (Foto: Aqmarina Laili) |
Mendengar kata Sukoharjo, mungkin tidak terlintas kata batik dalam benak orang awam. Memang, batik bukanlah komoditi utama yang dihasilkan dari kota yang dulunya disebut dengan Kawedanan Larangan di akhir abad ke-19 tersebut. Jamu, tekstil, dan gamelan lebih dikenal sebagai produk-produk unggulan dari kota ini. Batik Sukoharjo mungkin masih kalah pamornya dari batik-batik kota lain di Pulau Jawa. Sebut saja Jogja, Solo, dan juga Pekalongan yang bisa dikatakan menjadi trio dari sentra batik di Pulau Jawa. Namun siapa sangka, ditengah gemerlap pasar batik di ketiga kota tersebut, terdapat coretan-coretan magis dari mereka yang berasal dari Sukoharjo.
Karni salah satunya. ia telah bekerja puluhan tahun melukis batik di Kota Solo, tepatnya Kampung Batik Kauman. Setiap hari, ia mengayuh sepedanya dan
menempuh perjalanan selama 1 jam dari Sukoharjo ke tempat ia bekerja. Canting,
wajan, serta kompor kecil ia siapkan sesampainya di tempat ia bekerja.
Di atas kursi kecil, Karni mulai melukiskan pola-pola sesuai dengan pesanan pasar.
Melalui tangannya, selembar kain putih ia ubah menjadi karya seni dengan
beraneka ragam pola dan warna.
Dalam sebulan, Karni dapat memproduksi 4 lembar kain
yang nantinya akan diolah menjadi baju, seragam, ataupun kemeja sesuai dengan
keinginan konsumen. Kain-kain tersebut melewati proses yang panjang setelah
dilukis. Dalam pembuatan 1 baju saja, Karni membutuhkan waktu 4 bulan agar
produk yang dihasilkan layak untuk diperjualbelikan kepada konsumen. Terkait
dengan lamanya waktu pembuatan, Karni mengatakan bahwa selain dilukis,
kain-kain tersebut juga harus diberi malam atau lilin dan diwarnai. “Setelah dilukis, kain ini harus diberi malam agar tidak tercampur dengan warna
lain. Setelah itu, harus dicelup sebanyak 15 kali untuk mendapatkan warna yang
diinginkan. Makanya, prosesnya lama dan rumit,” jelas Karni.
Sebenarnya ada cara yang lebih cepat dan efisien dalam
memproduksi kain. Dengan menggunakan mesin dan metode printing, lama
proses produksi yang dibutuhkan dapat dipangkas menjadi 5 menit saja. Perbedaan yang bisa
dibilang sangat signifikan jika dibandingkan dengan waktu pembuatan batik tulis. Industrialisasi
perusahan batik pun sudah banyak diterapkan di beberapa perusahaan batik di Kota Solo. Namun, hal ini menimbulkan masalah baru bagi mereka yang menaruh
harapan hidupnya dengan melukis batik.
Berbeda dari kebanyakan pelukis batik yang
mengkhawatirkan keberlangsungan hidupnya karena proses industrialisasi, Karni
sama sekali tidak takut untuk “menghadapi” mesin-mesin tersebut. Ia percaya,
bahwa batik tulis, dengan segala kerumitannya, akan selalu memiliki tempat di
hati para konsumen. “InsyaAllah jika bekerja dengan bagus, hati-hati, dan
dengan sungguh-sungguh. Pasti pekerjaan yang akan dilakukan mendapatkan barokah
dari Allah SWT. Sampai sekarang Alhamdulillah, masih banyak perusahaan yang memanggil saya
untuk bekerja di sana,” sambung Karni.
Karni membuktikan, talenta dan bakat dapat datang
dari mana saja. Bahkan, dari kota kecil yang tidak menjadikan batik sebagai daya
tarik utamanya, dapat ditemukan seorang wanita yang memiliki keahlian luar
biasa dalam melukis batik. (M. Rizky Fabian)
Editor: Redemptus Risky, Ganisha Puspitasari
Tulis Komentarmu