Hadiah Hijab dari Nasrani
Keberagaman agama di Indonesia (Foto: Pinterest) |
Akhir-akhir
ini berita rasisme memenuhi jagad maya.
Masalahnya memang tidak sesederhana wacana kontestasi identitas. Algoritma
dunia maya yang membolehkan orang-orang bodoh, minim perspektif, dan mudah
terprovokasi ikut hidup didalamnya, menjadikan fenomena rasisme makin rumit.
Solusi-solusi ‘kacang’ semacam sosialisasi toleransi, radikalisasi
ke-indonesia-an, dan program wacanis lainnya, bahkan undang-undang ITE ternyata
kurang mampu mengakomodasi perbedaan yang ada di Indonesia.
Rasisme terus beranak-pinak.
Dari detik ke detik, hari ke hari, postingan ke postingan, khotbah ke khotbah. Pancasila pun menjadi semacam cerita lama
negara yang pengaplikasiannya penuh intrik dan rahasia birokratis. Bagi
masyarakat? Saya yakin beberapa sudah berpikir bahwa sampai sekarang pancasila hanyalah
mitos sejarah yang diagung-agungkan secara simbolis namun minim praktik.
Adik
saya yang cukup pedis mulutnya pernah
berkata khas dengan mimik muka yang mirip Fadli
Zon, “Kak, makin hari manusia
makin pintar ya?”.
“Iya
dek, benar banget. Itu konsekuensi
evolusi.” demikian
jawabku.
“Tapi
kenapa tindakannya makin bodoh ya kak?” ia lanjut bertanya.
Sampai
sekarang, saya masih mencari jawaban pasti dari pertanyaan adik saya itu. Di
satu sisi, saya tidak mau mengutuk Indonesia di depan adik saya. Damn!
I love Indonesia.
Demikian alasan kerennya. Di
sisi
lain, saya telah kalah telak dari pertanyaan adik saya itu.
Adik
saya memang tidak merasakan kemenangan atas pertanyaannya pada saya. Dia hanya 100
persen bingung dan gundah melihat situasi Indonesia. Pertanyaan yang sama ia
tanyakan pada dirinya sendiri dan mungkin juga menemukan jawabannya. Ternyata, ia juga kalah dengan pertanyaannya. Mungkin ada
yang bilang dia terlalu muda untuk memikirkan hal-hal bawah air seperti itu. Men! Dia sudah baca hampir setengah
dari buku-buku Sukarno dan hampir semua buku-buku Yudi Latief. Secara teknis,
dia sudah bisa dicap sebagai pemikir masa depan bangsa. Tentunya dengan
landasan historis dan logis yang cukup kuat untuk seorang anak kelas 3 SMA.
Pertanyaan
tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan begitu mudah. Manusia (termasuk pemerintah
dan masyarakat) itu mahkluk yang tak pernah puas. Ia membuat sistem yang hampir
sempurna untuk kemudian ia jalani sendiri. Yang kemudian ia khianati sendiri juga.
Sifat buruk mengendalikan perbuatannya, bukan masa depan bangsa. Tak peduli ada
manusia lain yang berbeda dengannya. Tidak peduli bahwa perbedaan itu anak
kandung ibu pertiwi. Konsekuensi logis dari penggunaan akal-budi, perasaan, dan
kebebasannya sebagai manusia. Manusiawi. Kira-kira kata inilah yang dapat
menjadi alasan pamungkas akan kebodohan itu. Dan kita sebagai sebuah bangsa
besar nampaknya terus berkompromi dan membiarkan kebodohan, rasisme, dan
lainnya beranak-pinak di Indonesia.
Sebagai
manusia yang manusiawi
juga, saya punya kisah
sendiri tentang rasisme. Beberapa waktu lalu, saya sempat berkunjung ke salah
satu basecamp anak yatim-piatu. Ada
begitu banyak anak disana. Mereka
terlantar, tak punya siapa-siapa, kecuali Tuhan dan teman-teman senasib. Cukup
miris memang. Ketika ditanya apa yang mereka lakukan untuk bertahan hidup, jawaban-jawaban klasik muncul
lagi. Mengemis, ngamen, dan lainnya. Saya langsung teringat pasal legendaris, ‘fakir
miskin dipelihara negara’. Entah kapan pasal ini keluar. Mungkin presiden juga
perlu googling untuk mengetahui
tanggal pastinya.
Saya
sempat tertegun melihat anak-anak itu. Kenapa masih ada orang-orang seperti mereka di negara yang kaya ini? Seorang gadis Muslim dengan hijab lusuh duduk di sudut ruangan. Tidak banyak
komentar. Pandangannya kosong. Dia sudah pasrah dengan hidupnya. Tapi entah
mengapa, Tuhan tidak ia tinggalkan. Sangat kelihatan. Saya yakin harapan dalam
hati kecilnya masih ada. Ia masih percaya keajaiban.
Saya
mendekatinya perlahan. Anak itu begitu manis. Lesung ada pada kedua pipinya.
Garis wajahnya hampir sempurna. Cantik sekali.
“Dek” saya menyapanya.
“Iya, Kak” ia menjawab tersenyum.
“Kamu
udah makan?” tanya saya.
“Udah, Kak” katanya.
Tanpa
panjang lebar ia langsung beranjak dari sudut ruangan.
“Assalamualaikum,” ia bergumam.
“Wa’alaikumsalam,” saya menjawab heran.
Balakangan
saya tahu dari anak-anak disana, namanya
Ratna. Ia sudah lama ditinggal ibunya. Kata mereka, ibunya
meninggal karena sakit jantung. Tidak punya biaya buat berobat, demikian terang
mereka. Ratna memang benar-benar hidup sendiri. Kalau tidak mengamen, ia akan
memulung. Pekerjaan yang berat untuk anak seumurannya.
Suatu
hari, saya memutuskan untuk berkunjung ke tempat tinggalnya. Saya diberitahu oleh
seorang anak disana. Hari
itu, hari raya lebaran. Lebaran bagi sebagian orang muslim. Masih ada yang
hari-hari lebarannya tidak beda jauh dengan hari biasanya. Teman saya seorang Nasrani yang baru saja tiba dari Jakarta
ikut bersama saya mengunjungi anak itu. Kami berniat untuk membawakan hadiah
lebaran baginya dan bagi beberapa anak disana. Beberapa potong pakaian, sepatu,
dan beberapa barang bekas lainnya kami bungkus untuk mereka.
Nina, teman saya dari Jakarta itu sebelumnya
tersentuh mendengar cerita saya tentang Ratna dan hijab lusuhnya. Ia pernah
dalam situasi yang sama,
katanya. Tempat anak-anak yatim itu cukup ramai seperti hari-hari biasa. Anak-anak disana
ternyata sedari tadi menunggu kedatangan kami. Mereka banyak sekali,
sampai-sampai saya menghubungi teman saya di kota untuk membawa stok pakaian
bekas yang lebih banyak lagi. Mereka bahagia sekali hari itu. Persis seperti
rakyat miskin yang belum pernah
mendapat sembako selama satu dekade. Saya bahagia juga, sekaligus miris.
Sekejam itu negara ini.
Ratna
tidak memunculkan batang hidungnya. Dia tidak hadir ternyata. Kami pun memutuskan untuk
langsung ke rumahnya.
Rumah itu lengang. Sepi sekali. Kami
menunggu
beberapa waktu. Sekitar jam 3an, Ratna tiba di rumahnya. Wajahnya
begitu lesu. Tidak ada pernak-pernik lebaran pada dirinya. Mungkin di hatinya. Kami tidak
tahu.
Toleransi antar umat beragama (Foto: Pinterest) |
“Halo, Ratna” kami menyapa.
“Halo, Kak” Ratna menjawab malu
dan bingung.
“Ada perlu apa ya, Kak?” ia lanjut bertanya.
“Kami membawa hadiah
lebaran nih. Hehe...” kata Nina.
Saya
menyerahkan hadiah saya. Nina juga.
Ratna
memandang kami berdua. Air mata menetes pada pipi manisnya. Kami memeluknya erat.
“Terimakasih, Kak” katanya.
“Sama-sama Ratna. Dibuka
gih hadiahnya," jawab saya.
Hadiah saya dibuka lebih dulu. Isinya
beberapa potong pakaian, sepatu, dan beberapa barang-barang lainnya. Ratna melihat saya dengan mata
berkaca-kaca. Ia lanjut membuka hadiah dari Nina.
Sebuah kotak yang dibungkus kertas hijau,
dibalut pita emas cantik. Perlahan,
Ratna membuka hadiah itu. Sebuah kertas tersimpan di bagian atas hadiah. ‘Jangan lupa berdoa’. Demikian tertulis
pada kertas tersebut. Lalu
Ratna membuka bagian bawahnya. Ia cukup kaget. Beberapa potong hijab dengan
warna yang beragam terlipat rapih. Melihat hal itu, Ratna tak kuat menahan
tangisnya. Sekali lagi ia memeluk
kami berdua.
“Terimakasih, Kak” ucapnya tulus.
Cerpen oleh : Redemptus Risky Syukur
Editor: Ayu Fitmanda Wandira
Tulis Komentarmu