Musik Sebagai Media Bersuara Masyarakat
Ilustrasi oleh: Azura Aulia Azahra |
Musik sangat lekat dengan kehidupan manusia,
sebagian orang bahkan tidak bisa melepaskan musik dalam kehidupan sehari-hari. Selain sebagai media untuk berekspresi, hiburan, dan pertunjukan, musik juga bisa menjadi
media komunikasi untuk menyampaikan pesan. Musik dapat menjadi bahasa pemersatu
dalam konteks komunikasi sosial. Meski terdapat banyak genre, setiap komunitas penikmat musik akan
memiliki rasa kebersamaan dalam menggalang solidaritas sosial. Oleh sebab itu, musik pun bisa menjadi media pergaulan, simbol pergerakan, juga menembus strata sosial di masyarakat.
Dilihat melalui akarnya, beberapa aliran musik
mengandung makna tentang upaya untuk perubahan. Misalnya musik blues dan reggae. Musik blues
berasal dari para budak kulit hitam di Amerika yang menyanyikan lagu-lagu
tentang penderitaan dan ketimpangan hidup yang mereka alami. Lagu-lagu blues lebih mengarah ke emosional dibanding naratif. Penyanyi blues biasanya lebih banyak mengekspresikan perasaan dan
emosionalnya dengan mengungkapkan kesedihan yang melankolis, ketimbang bercerita atau
menarasikan sesuatu. Dalam perkembangannya, blues menghasilkan irama
yang kini disebut rock n roll. Salah satu musisi tanah air yang
konsisten mengabdikan musik mereka ke dalam rock n roll dan blues
adalah Slank.
Memiliki kesamaan, musik reggae juga terlahir di tengah kerja berat dan ancaman penindasan. Mereka
mengisahkan kehidupan di Afrika pada masa itu dengan nyanyian (chant) dan bebunyian (drumming) sederhana. Bob Marley
dalam grup Bob Marley & The Wailers berhasil memperkenalkan folk asal Jamaika ini menjadi lebih universal
di mata dunia, salah satunya melalui lagu Redemption
Song yang membawa pesan semangat dalam kebebasan.
Indonesia sebagai negara dinamis, dalam
perkembangannya masih memiliki masalah-masalah sosial seperti korupsi,
kerusakan lingkungan, pelanggaran hak asasi manusia, konflik SARA, dan sebagainya. Kerusuhan pada Mei 1998, menumbangkan rezim Orde Baru sekaligus
membuka pintu demokrasi selebar-lebarnya atas nama reformasi. Ruang-ruang
kebebasan untuk berekspresi, berpolitik, dan menyuarakan pendapat semakin
terbuka.
Iwan Fals adalah salah satu musisi yang berani
mempopulerkan lagu-lagu bernuansa sarkasme. Ada beberapa tema kritik yang disampaikan olehnya, di antaranya kritik atas penyimpangan sosial; pemerintah yang otoriter dan korup; pembangunan dan perubahan sosial; ketidakadilan dan kemiskinan; serta kritik terhadap bencana alam dan
kemanusiaan. Iwan Fals bahkan harus rela membayar ‘keberaniannya’ dengan
pelarangan tampil, intrograsi, penangkapan, sampai pembredelan lagu-lagunya.
Sampai saat ini, lagu-lagu Iwan Fals masih memiliki tempat
di hati masyarakat, terutama generasi muda. Mulai dari gang-gang sempit hingga kafetaria, bukanlah hal yang mengherankan jika lagu Iwan Fals masih diperdengarkan. Beberapa lagunya yang terkenal dan cukup
‘menggelitik’ di antaranya, Tikus-Tikus Kantor, Sore Tugu
Pancoran, dan Ujung Aspal Pondok Gede.
Lagu-lagu dengan ide utama
perjuangan masih tetap memiliki penggemar setia meski situasi kini sudah
berubah era. Setelah beberapa lama Indonesia kehabisan musisi yang berani hadir untuk mengkritisi, beberapa dekade kemudian munculah grup musik yang cukup vokal dalam menyuguhkan isu sosial. Salah satunya
adalah Feast. Grup musik Feast berani menyuarakan kegelisahan terhadap
kebebasan beragama di negeri Indonesia melalui “Camkan”, yang merupakan debut
mereka pada tahun 2014. Ada beberapa tema kritik sosial yang disampaikan oleh
Feast, di antaranya kriminalisasi yang marak terjadi di
Indonesia dan apatisnya generasi muda terkait masalah-masalah sosial. Di antara
lagunya yang banyak menyampaikan kritik sosial, Berita Kehilangan dan Peradaban
merupakan lagu yang cukup digandrungi generasi muda. (Azura Aulia Azahra)
Editor: Rieka Yusuf
Tulis Komentarmu