Dari Berjualan Angkringan hingga Menginjakkan Kaki di Negeri Sakura
Sebuah Perjuangan, Harapan, dan Rasa Syukur
Dita, gadis yang berhasil meraih impian kecilnya. Pedagang tahu bakso dan angkringan bersuara merdu. Pemilik senyum manis yang sangat menyukai warna kuning (Foto: Hafiyyana Nurlitasari) |
Yogyakarta,
petrichor, dan angkringan melengkapi
suasana saat itu. Tepat pukul tujuh malam sapaan hangat gadis muda berusia 20
tahun memenuhi gendang telinga ketika saya
turun
dari motor. Dengan mengenakan rok putih sedengkul dan baju motif daun, Paulina
Dita Prameswari, mempersilahkan saya
untuk duduk di salah satu bangku angkringan. Ya, angkringan Bu Atiek adalah tempatku bertemu Dita.
Sekaligus merupakan warung makan kecil yang dikelola oleh keluarganya.
Sembari melayani para pelanggan
yang datang membeli, Dita melontarkan senyumnya seolah tak ada rasa lelah yang terlihat. “Udah mbak, ini aja? totalnya dua belas ribu lima ratus ya,” ucapnya pada salah
seorang pembeli. Gadis yang menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta ini, sehari - hari membantu
ibunya berjualan angkringan. Sebagai salah satu penopang hidup keluarga,
katanya.
Malam itu, pembeli datang silih berganti. Memaksa saya dan Dita untuk
berpindah tempat. Setelah makan, kami berjalan ke samping warung menuju Gereja
Kristen Jawa (GKJ) Jatimulyo. Di halaman depan gereja itulah Dita mulai
menceritakan perjuangan dan pencapaiannya hingga sampai ke Negeri Sakura.
Semua
berawal ketika ia bermimpi untuk bisa fasih berbahasa Inggris. Dita mengambil
kesempatan untuk bekerja paruh waktu di Tamansari Cafe. Kedai kopi yang berada
dekat dengan Tamansari Watercastle. “Aku bekerja itu bener-bener
dapat pengalaman yang nggak aku dapat
selama kuliah. Dari mulai aku mendapat fitnah sampai lupa naruh kunci,” ungkapnya.
Layaknya
pekerja pada umumnya, Dita juga pernah mengalami musibah. Salah seorang rekan
kerjanya melakukan perbuatan curang dengan mengambil uang dari kasir. Mengaku
sering melakukan shift bersama membuat Dita ikut turut terseret
dicurigai oleh atasannya. “Sebenarnya, atasanku tahu bahwa bukan aku yang mencuri, tapi aku
cuma sebagai umpan biar dia ngaku aja,” tambahnya.
Tak
hanya pengalaman buruk yang ia ceritakan pada saya. Pengalaman baik selama bekerja membuat
percakapan kami semakin seru. Bertemu dengan turis wanita asal Jerman,
misalnya. Rentang usia yang terpaut cukup jauh antara Dita dan turis itu tidak
membuatnya minder. Sebaliknya, ia mendapatkan banyak pengetahuan tentang solo
traveller dari percakapan mereka.
Pengalaman
berkutat dengan turis tidak membuatnya tinggi hati. Ia banyak mencoba hal-hal
baru di setiap langkahnya. Menjadi volunteer adalah satu dari banyak
harapan yang ia usahakan. “Kemarin, aku
juga
sempat daftar jadi volunteer di Politeknik Singapura.
Sempat wawancara juga, tinggal nunggu pengumuman. Ya, semoga aja keterima ya,” ucapnya
sambil sesekali asyik tertawa dan merapikan rambutnya.
Di
sela-sela kesibukannya, Dita masih harus berjualan tahu bakso. Hasil yang
didapatkan dari berkeliling menjajakan tahu bakso di kelas-kelas itu ia gunakan
sebagai tambahan uang saku. Jika berlebih, akan ditabung untuk biaya iuran
organisasi atau kepanitiaan.
Perbincanganku
dengan Dita terus berlanjut. Ia masih duduk berselonjor di sampingku. Makaroni
super pedas dan es teh buatannya melengkapi percakapan kami hari itu (12/2). Vocalista
Paradiso menjadi pembahasan kami berikutnya.
“Aku
dulu sekolah swasta waktu SD. Suka lihat teman-teman lain latihan paduan suara di tangga gitu. Suka tampil waktu acara-acara. Pokoknya, suka banget lihatnya.
Sampai punya mimpi jadi seperti
mereka,” tambah Dita.
Memulai
langkah dengan menguatkan tekad untuk mendaftar, Dita hadir sebagai orang
pertama yang mengikuti audisi. Meski sempat merasa pesimis,
ia memasrahkan semua hasilnya pada Tuhan. Sampai akhirnya, ia diterima dan
berproses di dalam UKM paduan suara kampus Bela Negara itu.
Melalui
Vocalista Paradiso, ia juga dapat meraih keinginannya sejak kecil. Naik
pesawat, katanya. Sepele bagi beberapa orang memang, tapi tidak baginya.
Keluarganya bukan keluarga yang berada. Ironisnya, ia juga direndahkan oleh
kerabatnya. Pada akhirnya, lomba paduan suara internasional yang kemudian
menghantarkan keinginannya untuk naik pesawat. Tidak tanggung-tanggung lagi,
bahkan sampai ke Jepang.
“Awalnya
nggak dibolehin untuk ikut ke Jepang
sama ibuku karena keterbatasan biaya. Tapi, aku ngeyakinin ibu kalau aku bisa karena kan aku kerja juga,”
ceritanya.
Selama
di Jepang, ia tidak membawa banyak uang. Rp150.000,00
menjadi bekal uang saku Perjalanan
Jogja-Jakarta.
Uang tersebut masih tetap utuh hingga ia kembali ke rumah. Total uang jajan
yang juga ia bawa ke Jepang sekitar
9000 yen,
untuk lima hari. Jika dikonversi ke dalam mata uang
rupiah, setara dengan satu juta rupiah. Cukup
membuatku terhenyak mengingat harga sekali makan disana rata-rata 800 yen ke atas atau sekitar Rp100.000,00.
Pada
suatu waktu, ia sempat membandingkan dirinya dengan teman-teman lain. Perasaan
minder itu sesekali muncul. Bukan menuntut keadilan dari Tuhan, Dita justru
memupuk rasa syukur sebanyak-banyaknya.
"Temenku ada yang bawa uang saku sekitar 10 jutaan. Beli sepatu seharga sama dengan
uang sakuku. Tapi nggak masalah, menginjakkan kaki di
Jepang aja udah bersyukur,"
katanya.
Sepulang dari perlombaan internasional, ia juga diamanahi
sebagai ketua penitia event open recruitment. Sempat dibuat stres dan
kadang ingin berhenti. Merasa sendiri juga sudah dirasakannya. Tapi ia tetap tidak menyerah. Banyaknya
dukungan dari kakak tingkat, keluarga, dan
teman yang berhasil membuatnya
kembali bangkit.
Jerih
payah yang telah dilakukan tidak sia-sia. Acara yang Dita pimpin berjalan lebih
baik dari tahun sebelumnya. Apa yang ia usahakan lagi-lagi membuahkan hasil.
Deru
motor lewat cukup ramai terdengar. Sepertinya
klimaks
dari percakapan kami mungkin akan segera berakhir. Saya teringat cerita tatkala
keluarganya memarahi dia perihal prioritas hidup. Sekitar satu minggu setelah
kembali dari Negeri Matahari Terbit.
Menyadari
bahwa dirinya sudah terlalu lama menjaga jarak, meski tidak sengaja. Mau tidak
mau memaksanya untuk kembali. Ditambah lagi ibunya sebagai tulang punggung
keluarga satu-satunya sedang jatuh sakit. Ayahnya tidak lagi mampu membantu
perekonomian keluarga sejak tahun 1998 karena alasan yang sama.
“Ibuku
baru sakit. Warung udah tutup sekitar dua minggu waktu itu. Aku sebenarnya juga
males disuruh
buka sendirian. Tapi ya gimana, warung ini juga bisa bantu perekonomian
keluarga yang lain,”
Bangun
pukul empat atau lima pagi lalu berbelanja di pasar. Kuliah hingga sore.
Membuka warung di waktu petang. Melayani pelanggan. Bahkan, tutup warung hingga
pukul satu pagi sudah bukan hal yang asing. Berlandaskan pada tidak ingin
menutup rejeki orang lain, ia bergerak menghidupkan warung kembali. Tempat
dimana tetangga bisa menitipkan makanan untuk diperdagangkan.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 20.05 ketika kami kembali ke warung. Masih ada satu
orang pembeli yang sibuk melahap makan malamnya.
Dita
telah mengajarkan banyak hal kepada saya. Berdamai dengan diri sendiri, mau
berproses, dan berdoa pada Tuhan adalah pesan yang malam itu Dita katakan. “Satu hal yang aku
syukuri setiap hari. Aku bersyukur masih bisa bernafas sampai saat ini. Karena
tanpa bernafas, aku nggak akan bisa mencapai mimpi-mimpiku,” ungkap gadis pecinta warna
kuning yang selalu ceria itu. (Hafiyyana Nurlitasari)
Editor: Ayu Fitmanda Wandira
Tulis Komentarmu