Pemerintah yang Gagap Tanggap dengan Krisis
Massa aksi #GejayanMemanggilLagi
mengangkat tangan kiri yang mengartikan perlawanan terhadap kebijakan negara
yang tidak berpihak pada rakyat (Foto: Difa Arifin)
Dalam dunia Public Relations, konsentrasi yang saya ambil
dalam perkuliahan, ada satu mata kuliah yang bernama Manajemen Isu dan Krisis. Dari mata kuliah tersebut saya belajar bahwa reputasi sebuah organisasi menjadi hancur
dikarenakan kegagalan organisasi dalam mengatasi krisis. Krisis
berawal dari sebuah isu
yang muncul ketika ada kesenjangan antara harapan atau ekspektasi sebuah
organisasi dengan pemangku kepentingan. Meninjau dari definisinya,
definisi dari krisis adalah
sebuah keadaan tidak stabil dari organisasi yang dapat
disebabkan oleh berbagai hal.
Dalam kasus ini, pemerintah berlaku sebagai organisasi.
Di lain pihak, para buruh, petani, dan mahasiswa sebagai pemangku kepentingan. Kita coba
mundur sedikit ke beberapa bulan
lalu, tepat pada bulan September, banyak gerakan mahasiswa
dari seluruh Indonesia yang turun
ke jalan untuk memprotes kebijakan pemerintah. Di antaranya tentang RUU KUHP, Pemasyarakatan, dan UU KPK yang baru saja disahkan pada 17 September 2019. UU KPK tersebut dirasa tidak berpihak pada rakyat hingga
menyebabkan beberapa korban luka dan bahkan korban jiwa. Namun, apa yang dilakukan pemerintah ketika pertama kali isu
itu muncul? Pemerintah baru bereaksi setelah terjadi demonstrasi besar-besaran
di Jakarta. Mereka baru membuka pintu diskusi tentang semua RUU yang
dipermasalahkan setelah diwawancarai oleh wartawan. Benar saja, setelah itu ajakan diskusi dari pemerintah mendapat
penolakan dari BEM seluruh Indonesia, ibarat kata “orang mana yang mau dicari
ketika dirinya dibutuhkan saja?”.
Penolakan ini pun berdasar. BEM seluruh Indonesia
mengatakan akan
menghadiri diskusi dengan pemerintah apabila diskusinya dilakukan terbuka dan dapat disaksikan langsung melalui Televisi Nasional. Pihak
Menhan menyebutkan diskusi itu jadi dilakukan dan
mengklaim menghadirkan 70 mahasiswa dari berbagai daerah.
Ternyata, diskusi malah
batal dilaksanakan. Pun tidak jelas siapa dan darimana 70 mahasiswa tersebut. Hasilnya, RUU tersebut ditunda dan tidak jadi disahkan karena
waktu pembahasan yang tidak mencukupi. Mahasiswa sempat mendesak Presiden
Jokowi untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tetapi sampai sekarang hal itu belum terjadi.
Akhirnya, RUU KPK tetap
berjalan dan berlaku hingga sekarang.
Empat bulan berselang setelah penolakan RUU “bermasalah”, kini muncul lagi penolakan RUU yang tak kalah bermasalah
yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja atau yang lebih
dikenal dengan Omnibus Law. Banyak yang menilai beberapa pasal di dalam RUU
yang mengatur tentang ketenagakerjaan ini
lebih pro kepada para pengusaha dan investor daripada
kepada buruh. Di sini, saya tidak akan membahas tentang isi dari RUU tersebut,
tetapi lebih mengarah tentang bagaimana pemerintah menyikapi isu atau saat ini bisa dikatakan krisis
yang
sedang dialami pemerintah.
Isu pembentukan Omnibus Law ini sebenarnya sudah
digaungkan pada Oktober tahun lalu, tepat setelah dilantiknya Presiden Jokowi
di periode
kedua. Saat itu belum ada perdebatan yang terjadi karena isu tersebut baru sebatas wacana presiden yang
hanya didukung
oleh beberapa menterinya. Namun pada bulan Januari, muncul draft RUU Omnibus Law di
sosial media. Beberapa hari berselang, muncul banyak
penolakan dimana mana karena dirasa RUU tersebut hanya menguntungkan pengusaha
dan makin menindas buruh. Akhirnya, pada 20 Januari 2020, para buruh melakukan aksi unjuk
rasa di depan gedung DPR. Berlanjut dua minggu berselang, buruh kembali melakukan unjuk rasa di depan gedung DPR. Sayangnya, setelah beberapa aksi unjuk rasa tersebut pemerintah
masih pasif dalam menanggapi. Pihak Menkopolhukam dan Menaker hanya berpendapat
saja tanpa ada aksi nyata. Mahfud MD mengatakan bahwa publik hanya salah paham
dalam mengartikan Omnibus Law, sedangkan Ida Fauziyah mengatakan membuka pintu diskusi
terkait RUU tersebut.
Puncaknya, Aliansi Buruh Indonesia mengadakan unjuk
rasa penolakan RUU Omnibus Law di depan Gedung DPR pada Senin, 8 Maret
lalu. Aksi
ini bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional
mengingat
ada pasal yang
berkaitan dengan buruh perempuan yang menyebutkan bahwa
cuti haid dan melahirkan akan dihapuskan. Akhirnya tepat Senin kemarin, 9 Maret 2020, Aliansi Rakyat Bergerak yang terdiri dari
mahasiswa dan buruh pun turut melakukan unjuk rasa penolakan RUU Omnibus Law di Jogja.
Ada yang menarik dari dua aksi unjuk rasa menolak RUU
diatas. Kedua aksi unjuk rasa itu juga menggunakan sosial media untuk penyebaran
informasi, menularkan gagasan, berkoordinasi, hingga penggalangan dana.
Salah satunya Twitter. Di Twitter, aksi pertama yaitu penolakan RUU KUHP dan KPK
menjadi trending topik
dengan berbagai tagar, di antaranya #KekuasaanDiTanganRakyat, #tolakruukuhp, #tolakrevisiuukpk,
dan #reformasidikorupsi. Tak lama berselang, muncul saingan tagar dari buzzer
pemerintah di antaranya adalah #sayabersamajokowi #dukungrevisiuukpk,
dan
#kpkcengeng. Namun, tagar yang dimunculkan oleh buzzer pemerintah tidak
semuanya dicuitkan oleh akun asli, hanya ada beberapa akun asli saja yang
mencuitkan tagar yang pro pemerintah, lebih banyak akun bot dan akun giveaway. Contoh seperti akun
@giveawaysantai yang memberikan pulsa/saldo ovo/gopay sebesar 50 ribu kepada 2 orang yang beruntung dengan syarat melakukan retwit dan membalas
postingan itu dengan tagar #KPKCengeng.
Salah satu akun pembagi giveaway
untuk menaikkan tagar #KPKCengeng agar menjadi trending topik di twitter (Foto: Difa Arifin)
Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh orang yang benar-benar
pro akan RUU tersebut. Begitu pula dengan aksi hari ini, tagar
#GejayanMemanggilLagi sempat menjadi trending topik di Twitter, tetapi beberapa saat kemudian
muncul tagar #GejayanGerakanProvokasi yang kebanyakan dicuitkan oleh akun
anonim. Penggunaan buzzer untuk mendukung gerakan pemerintah tidak hanya dilakukan
dua kali itu saja. Tagar #sawitbaik ketika terjadi kebakaran hutan di Indonesia
beberapa waktu silam, lalu #NetflixTidakAman ketika ada kasus pemblokiran
Netflix oleh pemerintah, dan belum lama ini ada tagar #KamiTidakTakutVirusCorona
yang digunakan untuk menenangkan masyarakat dari Virus Corona. Modelnya masih
sama, yaitu menggunakan aksi giveaway
di twitter untuk meningkatkan intensitas penggunakan tagar agar menjadi
trending dan tidak jarang juga aksi giveaway
itu hanya penipuan belaka.
Salah satu pengguna twitter menemukan foto ponsel untuk giveaway hanya mengambil gambar dari google (Foto: Difa Arifin)
Dari semua kejadian tersebut,
dapat disimpulkan bahwa aksi
pemerintah untuk mengatasi sebuah krisis di dalam organisasi
masih sangat minim. Padahal
pemerintah mempunyai banyak akses kemudahan untuk mengatasi banyak krisis yang
menimpa mereka. Misal saja, seperti dua kasus penolakan RUU yang sudah terjadi. Pemerintah
bisa mengadakan diskusi terbuka dengan pihak terkait pada prime time
tanpa membayar kepada pihak Televisi karena pasti banyak stasiun Televisi yang akan menyiarkan. Bahkan harusnya bisa lebih dari itu. Dari awal perancangan RUU apapun, sebaiknya pemerintah melibatkan pihak terkait dengan terbuka dan jelas identitasnya. Pastinya agar masyarakat bisa menilai, apakah yang
diajak berdiskusi itu benar-benar mewakili pihak yang terkait atau hanya orang
yang berada di lingkaran pemerintahan saja.
Memang benar diskusi seperti itu belum pernah dilakukan
sebelumnya, tapi bukankah kita harus kreatif dalam hal apapun?
Tentunya selagi hal itu tidak bertentangan dengan aturan yang ada. Padahal jika saja pemerintah berhasil mengatasi krisis, secara tidak
langsung pemerintah membangun reputasi baik di
mata masyarakat. Percuma saja pemerintah menggaungkan ekonomi kreatif tapi
dirinya sendiri masih konservatif. Maka
tak heran
lagi, jika saat ini kepercayaan
masyarakat terhadap wakil rakyat sudah sangat menipis atau bahkan sudah tidak ada. (Difa
Arifin)
Editor: Ayu Fitmanda Wandira
Tulis Komentarmu