Perempuan, Buruh, dan Kesetaraan dalam #GejayanMemanggilLagi
Mumun, Mahasiswi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” melakukan orasi di panggung #GejayanMemanggilLagi (Foto: Berlian Diva Wicaksana) |
Adanya rencana perubahan aturan dalam RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker) atau
Omnibus Law, membuat mahasiswa, buruh, dan berbagai lapisan masyarakat lainnya
merasa resah. Bagaimana tidak, beberapa perubahan yang diusulkan dianggap
merugikan kaum pekerja, salah satunya pekerja perempuan. Atas dasar ini, Aliansi Rakyat Bergerak melakukan aksi #GejayanMemanggilLagi pada Senin
(9/03) lalu.
Beberapa tuntutan
terkait hak pekerja perempuan yang
diajukan dalam aksi tersebut di antaranya mengenai cuti hamil, haid, dan keguguran. Dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 93
Tahun 2003 disebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari
pertama atau kedua masa menstruasi sehingga berakibat tidak dapat melakukan pekerjaannya, tetap terhitung cuti
dan dibayar. Sedangkan dalam RUU
Ciptaker, penyebutan dengan gamblang ini dihapuskan.
Penghapusan ini dianggap dapat merugikan pekerja perempuan, karena izin
sakit di hari pertama dan kedua masa haidnya bisa tidak dianggap sebagai cuti
kerja. Fafa, seniman yang datang dalam aksi ini khawatir dengan ketiadaan
payung hukum. “Jangankan sebelum ada Omnibus Law, sebelumnya saja, saat ada di
Undang-Undang saya kalau ngomong hal seperti itu (cuti
haid) dianggap aneh banget. Nanti kalau misalkan dia (Omnibus Law)
disahkan, akan lebih berat lagi, sih bagi perempuan untuk hidup
selayaknya wanita atau standarnya manusia, lah,” ujarnya.
Selain itu, dalam UU Ketenagakerjaan Pasal 82 Tahun 2003 pekerja
perempuan diberikan izin melahirkan dan istirahat setelah mengalami keguguran.
Sedangkan dalam draf RUU yang terdiri dari 1028 lembar tersebut, perizinan melahirkan dan keguguran
ditiadakan. Hal ini dapat meningkatkan kesenjangan pendapatan antara pekerja
perempuan dan laki-laki yang selama ini telah terjadi.
Kesenjangan diperparah dengan tidak adanya cuti-cuti khusus. Jika pekerja perempuan tidak masuk kerja, maka upah tidak perlu dibayar karena dianggap tidak melakukan pekerjaan. “Dalam Omnibus Law,
buruh akan digaji sesuai dengan jam dan hari dia masuk kerja. Ketika tidak
masuk kerja, dia tidak digaji meskipun tengah mengambil cuti haid dan
hamil,” tegas Mumun, salah satu peserta aksi.
Rata-Rata Upah Pekerja Berdasarkan Gender 2016-2018. (Sumber: databoks.katadata.co.id) |
Meskipun pemberdayaan perempuan dianggap krusial, ternyata masyarakat
Indonesia sendiri masih belum begitu paham dengan adanya RUU tersebut. “Saya beberapa kali ikut roadshow diskusi di kampus-kampus.
Masih banyak juga yang belum mengerti apa itu Omnibus Law dan bagaiman efeknya pada mereka, padahal adik-adik mahasiswa ini calon-calon pekerja,”
ujar Ali Prasetyo, Koordinator Lapangan Forum
Komunikasi Buruh Bersatu (FKBB) DIY - Jawa Tengah.
“Gerakan protes seperti ini patut
didukung. Tapi yang juga tidak kalah penting menurut saya adalah perjuangan
temen-temen di keseharian. Di tempat kerja misalnya, cobalah dikomunikasikan
hal seperti itu dengan tempat kerjanya. Jadi tidak hanya di tempat seperti ini
saja tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari,” tutup
Fafa yang tampil mewakili band-nya dalam aksi damai tersebut. (Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori)
Editor: Rieka Yusuf
Tulis Komentarmu