Sosok Perempuan, Kini dan Esok
Salah satu petisi di change.org yang menolak kekerasan terhadap perempuan "Stop Abuse" (Sumber: change.org) |
Peringatan Hari
Kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April menjadi pengingat kita bersama bahwa
perjuangan sosok pahlawan Indonesia itu hingga saat ini masih belum surut.
Kesetaraan gender, kekerasan,
dan pelecehan seksual, hingga stigma-stigma terhadap perempuan merupakan beberapa dari banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh
perempuan Indonesia saat ini. Mirisnya masih banyak masyarakat Indonesia yang
menganggap permasalahan ini sepele bahkan memandang sebelah mata.
Belakangan ini tagar #mugshotchallenge ramai dipergunakan di Instagram. Tagar tersebut mewakili
sebuah tantangan untuk menampilkan wajah dengan berbalut riasan babak belur seperti korban kekerasan. Unggahan tersebut
juga yang disertai keterangan beragam seperti “korban KDRT”, “digebukin mantan”,
dan “I am in love with criminal”.
Tercatat hingga
tangal 19 April 2020 terdapat 220.000 unggahan mengenai mugshot challenge di Instagram.
Tantangan tersebut seolah menjadi sebuah fenomena ‘merayakan’ korban kekerasan.
Ironisnya, sebagian besar penerima tantangan ini
berasal dari kaum perempuan, padahal perempuan di Indonesia bahkan di dunia, merupakan kaum yang paling rentan menerima kekerasan.
Menurut laporan Komnas Perempuan dan
Anak dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2020, sepanjang tahun 2019 tercatat 431.471
kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka tersebut
naik 6% dari tahun sebelumnya sebanyak 406.178 kasus. Terlebih saat pandemi Covid-19 saat ini
kebijakan pembatasan aktivitas sosial malah memicu peningkatan angka kekerasan
terhadap perempuan.
Yogyakarta menjadi
kota yang mengalami peningkatan kasus KDRT selama masa pandemi Covid-19. Peningkatan ini
seharusnya menjadi alarm bagi kota lainnya bahwa
selama masa ini bukan hanya kelonjakan kasus Covid-19 yang perlu diwaspadai, melainkan juga gelombang jumlah korban KDRT yang
mengerikan. Berdasarkan data dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pusat Pelayanan
Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Yogyakarta jenis
kekerasan yang dialami sebagian besar adalah psikis. Rincian KDRT yakni: di bulan Januari tercatat 13 kasus dengan korban 11 perempuan
dan 2 laki-laki; Februari 10 kasus, 9
perempuan dan 1 laki-laki; hingga Maret meningkat menjadi 18 kasus, 14 perempuan dan 4 laki-laki.
Sudah hampir 75
tahun Indonesia merdeka, namun pergerakan perjuangan bagi kaum perempuan masih
terus berlangsung. Mengapa kita masih harus melakukan perjuangan? Apakah kita
masih belum bisa memaknai arti kemerdekaan itu sendiri? Atau karena kita memang
benar-benar belum merdeka?
Fakta masih
tingginya angka kekerasan perempuan menjawab semua pertanyaan tersebut, bahwa
saat ini masih banyak perempuan yang berjuang untuk kemerdekaan atas dirinya.
Di Indonesia masih banyak perempuan yang tidak mendapatkan perlindungan secara
hukum saat mereka mengalami kekerasan dan masih kuatnya stigma di masyarakat terhadap
perempuan yang memilih berkarier di ranah publik alih-alih mengurus kehidupan
rumah tangga.
Banyaknya
kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan menjadi peringatan agar kita terus melakukan
refleksi diri. Refleksi dengan terus memikirkan langkah-langkah strategis agar
perjuangan kaum perempuan berujung pada sebuah hasil. Kartini memperjuangkan agar
seluruh perempuan Indonesia memiliki hak kesetaraan termasuk hak pendidikan,
menghapus segala diskriminasi tanpa memandang ras, kedudukan ataupun agama,
serta hak untuk memutuskan apa yang menjadi cita-cita dan keinginan setiap
perempuan. Cita-cita Kartini tersebut masih harus terus dilanjutkan dengan
perjuangan dan upaya kita sebagai generasi penerus bangsa.
Perjuangan bukan
lagi tentang senjata apalagi darah. Perjuangan saat ini ialah melawan
ketidakadilan dengan terus menyuarakan apa saja yang menjadi hak seorang
perempuan dalam hidup. Indonesia masih memerlukan Kartini-Kartini hebat lainnya
dalam memperjuangkan keadilan. Mungkinkah kamu Kartini selanjutnya? (Hasna
Fadhilah)
Editor: Rieka Yusuf
Tulis Komentarmu