Slacktivism, Kony 2012, dan Keberhasilan Semu Pejuang Dunia Maya
Kematian Ahmaud Arbery
dan George Floyd di tangan kulit putih tak luput dari perhatian para influencer
dunia maya. Isu diskriminasi rasial yang kerap terjadi di Amerika serikat memunculkan
gerakan serta tagar #Blacklivesmatter di media sosial dalam beberapa hari
terakhir. Di tengah perjuangan para aktivis yang turun ke jalan, muncul
golongan slacktivist dengan effort minimal dalam menanggapi
ketidakadilan di tengah masyarakat.
Mengutip definisi
dari Oxford Dictionary, slacktivist merujuk kepada pelaku slacktivism
yang mendukung suatu gerakan sosial-politik hanya di dunia maya. Dengan usaha minimal
dan resiko yang kecil, para slacktivist melakukan protes dengan cara
membuat ataupun membagikan konten yang berisi dukungan terhadap suatu isu.
Istilah slacktivism
muncul pertama kali pada tahun 1995 oleh Fred Clark di sebuah seminar yang
diadakan oleh Dwight Ozard. Awalnya, istilah tersebut memiliki konotasi positif
yang menjelaskan gerakan perubahan oleh kaum muda dalam skala yang kecil.
Namun, kini pengertian itu berubah seiring dengan perkembangan media sosial.
Poster Kony 2012 sebagai bentuk tuntutan atas eksploitasi anak oleh Joseph Kony. sumber: Wikipedia
Penggunaan istilah
slacktivism meroket pada tahun 2012. Sebuah video yang viral di Youtube
berjudul Kony 2012 memunculkan golongan slacktivist yang mengubah definisi gagasan Fred
Clark mengenai slacktivism sesungguhnya.
Dalam video
berdurasi 30 menit yang diunggah oleh akun Invisible Children, Jason Russel, sutradara
sekaligus co-founder dari Invisible Children, menceritakan pengalamannya
selama berkunjung ke Uganda. Di sana, Jason menemukan puluhan ribu anak kecil
yang berlindung dari kekejaman Joseph Kony, Ketua Tentara Perlawanan Tuhan. Kony
kerap menculik serta menjadikan anak di bawah umur sebagai pasukan bersenjata
dari Tentara Perlawanan Tuhan.
Pengalaman inilah
yang membuat Jason berinisiatif untuk membentuk suatu gerakan agar Kony
ditahan. Lalu, apa hubungan antara slacktivism dan Kony 2012?
Video Kony 2012
yang viral, menyadarkan semua orang akan eksploitasi anak di bawah umur oleh Joseph
Kony. Gerakan Kony 2012 pun memenuhi media sosial pada kala itu. Jumlah penonton yang hampir menyentuh
angka 100 juta hanya dalam waktu 5 hari diikuti jumlah donasi mencapai 30 juta dolar memberikan
secercah harapan agar Kony segera diadili.
Melihat tingginya
kepedulian masyarakat terhadap isu tersebut, pihak Invisible Children pun
berencana untuk mengumpulkan massa dan turun ke jalan. Beberapa wilayah pun
dipilih sebagai tempat protes dengan tujuan untuk mendesak pemerintah Uganda
untuk segera menangkap Kony.
Namun sayang, aksi
Kony 2012 tidak lebih dari slacktivism semata. Antusiasme para pencari
keadilan di dunia maya tidak diikuti oleh semangat yang sama untuk berkontribusi
di dunia nyata. Dari 50 ribu yang mendaftar untuk memenuhi jalan-jalan kota
Toronto, hanya 50 yang hadir dan menyampaikan tuntutannya.
Aksi dari para slacktivist
tersebut pun terbukti sia-sia. Hingga kini Kony masih menghirup udara segar dan
jauh dari jeruji penjara. Begitu pula dengan eksploitasi anak yang terjadi di
Uganda. Walaupun angkanya lebih rendah dari sebelumnya, eksploitasi kerap
terjadi dan tak bisa hilang sepenuhnya.
Tulisan ini sejatinya
dibuat sebagai pengingat agar tidak terjadi Kony 2012 jilid dua. Tanpa bermaksud
untuk meremehkan dampak yang ditimbulkan dari postingan para influencer
di dunia maya, unggahan di sosial media tentunya tidak berarti apa-apa tanpa
adanya aksi yang nyata. Slacktivist tak ubahnya pejuang semu yang menghasilkan
keberhasilan yang semu pula.
Tentunya boleh saja
melayangkan berbagai protes maupun petisi di dunia maya. Tak ada salahnya
meningkatkan kesadaran masyarakat yang mungkin masih asing dengan isu diskriminasi
rasial maupun penindasan terhadap warga kulit hitam.
Akan tetapi, jika perjuangan berhenti sampai di ketukan layar ponsel pintar anda, jangan harap perubahan sistem dan struktural akan terjadi begitu saja. Jangan sampai mendiang George Floyd, Ahmaud Arbery, Breonna Taylor, dan ribuan warga kulit hitam lainnya mati sia-sia. #Blacklivesmatter! (Rizky Fabian)
Editor: Rieka Yusuf
Tulis Komentarmu