Berdamai dengan Pemakaman Jenazah Meski Omset Tinggal Setengah
Potret Warung Pojok milik Prila Etiningsih yang menjajakan lotek, gado-gado, ketoprak, kelapa muda, dan aneka es (Foto: Arinda Qurnia) |
Sejak ditemukannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret lalu, kondisi di Yogyakarta masih tergolong normal. Namun, saat adanya kasus pertama positif di Yogyakarta, berbagai sektor di masyarakat mulai mengalami penurunan, bahkan terhenti. Pertengahan Maret, instansi pendidikan mulai dirumahkan untuk pembelajarannya. Sementara sektor perekonomian menjadi yang paling terasa dampaknya.
Aktivitas perjualbelian masih tampak normal di
Prambanan. Hal ini mengingat
Kecamatan Prambanan tergolong daerah dengan
kasus positif
Covid-19 terendah dibandingkan kecamatan lain di Kabupaten Sleman. Bahkan, sebelum 12 Juni lalu Prambanan merupakan satu dari
dua kecamatan di Sleman dengan nol kasus positif Covid-19. Sementara itu,
Cangkringan masih menjadi kecamatan di Sleman dengan tidak adanya kasus positif
corona.
Berdasarkan data yang
diperoleh dalam situs resmi Pemerintah Daerah DIY, hingga 12 Juli di Kecamatan Prambanan
terdapat tiga pasien positif yang dua diantaranya telah dinyatakan sembuh. Jumlah
tersebut kontras dengan kasus di Kecamatan Depok yang mencapai 31 kasus positif
Covid-19.
Penunjuk Arah TPU Madurejo, Prambanan, Sleman yang berada di seberang warung milik Prila Etiningsih (Foto: Arinda Qurnia) |
Prila Etiningsih adalah seorang
pedagang lotek dan gado-gado yang membuka warung di pojok dusun Kebondalem, Madurejo, Prambanan,
Sleman sejak tahun 2009. Lokasi ini hanya berjarak 500 meter dari Taman Pemakaman Umum (TPU) Madurejo. Semula,
semua masih baik-baik saja. Berjualan secara konvensional dengan ulekan
sebagai andalan. Harga yang dibanderol masih relatif terjangkau hanya Rp7.000
per porsinya.
Di awal penyebaran Covid-19 di Sleman tidak
menyurutkan niatnya untuk jualan meski tetap diselimuti rasa
resah. “Sebagai
manusia biasa, saya juga takut dengan adanya
persebaran virus ini,” ujarnya saat ditemui pada Kamis (2/7).
Pada bulan Maret, ia mengaku omset yang didapat tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan. “Seperti biasa, laku
kisaran 25 hingga 30 porsi dalam
sehari. Waktu
itu juga belanja ke pasar masih normal, belum ada pembatasan sosial atau wajib menggunakan
masker,” ujar wanita yang akrab disapa Prila tersebut.
Hingga di bulan April saat kasus Covid-19 meningkat
signifikan, Prila mulai merasakan
perubahan-perubahan. Dirinya mengaku mengalami penuruan penghasilan hingga 50%, “omset jadi berkurang,
hanya laku 15 hingga 20 porsi dalam
sehari.” Pencegahan
kerugian disiasatinya dengan mengurangi bahan yang disiapkan, sehingga tidak menyisakan sayuran yang tidak terjual
untuk kemudian dibuang.
Prila menyadari bahwa
kondisi demikian cukup wajar dialaminya. “Sebenarnya, saya merasa biasa saja karena semua orang juga merasakan
hal yang sama, para penjual juga mengeluh karena harus menambahkan uang untuk
kerugian yang dialami. Bahkan, seluruh pedagang di pasar juga mengeluhkan hal yang
sama,”
ujarnya dalam bahasa Jawa.
Potret liang yang disiapkan untuk jenazah Covid-19 di TPU Madurejo Prambanan (Foto: Arinda Qurnia) |
Selain pendapatan yang mulai berkurang, keresahan juga
hadir lantaran iring-iringan ambulans pembawa jenazah Covid-19 menuju ke pemakaman. Lokasi
warung yang dekat dengan TPU Madurejo sebagai pemakaman yang disiapkan untuk jenazah Covid-19 oleh
Pemerintah
Kabupaten Sleman, menjadi alasan ketakutannya.
Apalagi ketika dilakukan kremasi jenazah
yang menimbulkan asap hitam pekat dengan aroma kulit
terbakar yang menyengat. “Bau asap kremasi ini tercium sampai sini
(warungnya),” tutur warga Kecamatan Prambanan tersebut.
Iring-iringan pengantar ambulans
biasanya
turut didampingi oleh pihak kepolisian.
Tak jarang, Prila menyapa para polisi dengan basa-basi bertanya, “apakah ada tamu
(baca: jenazah)?”. Seringkali kedatangan jenazah menjadi perbincangan masyarakat sekitar, menebak apakah
jenazah yang hendak dikebumikan positif Covid-19 atau tidak. “Biasanya pembeli yang juga orang sekitar sering cerita di
sini (warung lotek dan gado-gadonya), tentang keresahan karena corona ini.”
Meski penghasilan yang mengalami penurunan, Prila menuturkan tidak
ingin mendaftarkan warungnya pada platform penyedia jasa ojek online. “Saya di warung sendiri dan sudah cukup kewalahan dalam
menghadapi antrian, apalagi saya buat bumbunya juga dengan ngulek sendiri, jadi memang
agak lama,” ujar Prila.
Selain enggan karena
waktu pembuatan yang cukup lama, ia mengaku juga lebih nyaman dengan berjualan secara
konvensional. “Apalagi sekarang saya sudah merasakan lagi semangat berjualan. Sekarang juga sudah mulai normal berbelanja di pasar,” imbuhnya. Ia juga
menambahkan, penerapkan protokol
kesehatan secara
tegas di pasar tersebut sudah diberlakukan semenjak
ditemukannya kasus positif Covid-19 pada 12 Juni lalu di Kecamatan Prambanan. (Arinda
Kurnia P.)
Editor: Rieka Yusuf
Tulis Komentarmu