Kuliah Kerja (tidak) Nyata Covid-19
Gedung Rektorat UPN "Veteran" Yogyakarta |
Adanya
pengumuman status tanggap darurat Covid-19 sejak Maret lalu, hampir semua
sektor memberlakukan kegiatan secara daring dari rumah, tak terkecuali kegiatan
perkuliahan. Hingga kini pun masih diberlakukan School From Home atau SFH, padahal banyak kegiatan perkuliahan yang
sangat membutuhkan pertemuan secara luring. Salah satunya adalah KKN atau
Kuliah Kerja Nyata, mata kuliah yang ada hampir di seluruh perguruan tinggi.
Mata kuliah ini adalah bentuk kegiatan pengabdian mahasiswa kepada masyarakat. Biasanya,
pelaksanaan kegiatan KKN berlangsung satu sampai tiga bulan di daerah setingkat
desa yang sudah ditentukan dan dilakukan secara luring.
Keadaan status
darurat Covid-19 mengubah berbagai hal. Dengan adanya hal tersebut, mau tidak
mau universitas harus menyesuaikan dengan keadaaan. Dengan begini, mengacu pada
juknis KKN, praktis LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat)
yang mengurusi pelaksanaan KKN, hanya mempunyai waktu kurang lebih 2 bulan
untuk membahas perubahan sistematika KKN. Maka dari itu, tak ayal banyak
beberapa permasalahan, baik itu teknis maupun nonteknis. Permasalahan yang ada
tersebut kemudian banyak menimbulkan keluhan dari mahasiswa.
Meskipun dengan
waktu persiapan yang singkat, beberapa perguruan tinggi tetap melakukan
kegiatan KKN secara daring, tak terkecuali UPN “Veteran” Yogyakarta. Hal ini
menjadi pertama kalinya bagi Kampus Kejuangan melakukan KKN secara daring.
Namun merupakan kedua kalinya pelaksanaan KKN di tengah bencana. Sebelumnya,
UPNVY pernah dilakukan kegiatan tersebut pada tahun 2006 yang bertepatan dengan
gempa di DIY. Kegiatan bertajuk KKN Tematik Covid-19 ini dilakukan pada 30
Juni-30 Juli 2020 kemarin. Banyak teknis pelaksanaan KKN yang berubah pada KKN
kali ini, hal ini jelas mengharuskan LPPM sebagai lembaga kampus yang mengurusi
tentang KKN harus memutar otak untuk membahas teknis pelaksanaannya.
Pelepasan KKN Tematik Juli 2019 |
Salah satu
peserta KKN, Fitroh Akhsani, mengatakan bahwa pelaksanaan KKN tematik Covid-19 kali
ini banyak sekali permasalahan. “Mulai dari pendaftaran KKN yang deadline pengumpulan berkasnya
berbarengan dengan UAS, apalagi harus minta transkrip nilai dulu juga. Padahal
ga semua mahasiswa sks nya udah nyampe 110, jadi harus nunggu nilai UAS keluar
dulu.” Ujar mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi tersebut. Tak sampai disitu, terlambatnya
beberapa peserta KKN dalam mengumpukan berkas juga menyebabkan beberapa
mahasiswa yang sudah mendaftarkan kelompok sebelumnya menjadi tercampur dengan
mahasiswa lain. Akhirnya dibutuhkan waktu tambahan untuk pembagian kelompok
KKN.
“Waktu buat nyusun
proposal itu dikit sekali, kurang lebih cuma 4-5 hari aja, soalnya kita kan
juga dalam buat program harus riset dulu ke daerah masing masing penempatan
biar programnya juga bermanfaat buat masyarakat,” imbuh Fitroh. Dengan waktu
yang mepet, Ia juga mengeluhkan tentang Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) yang
kurang responsif. Namun Ia merasa terbantu dengan adanya draf proposal milik
kakak tingkatnya.
Ia juga menambahkan
bahwa pembekalan KKN yang dilakukan kemarin sangat membosankan. Beberapa
pembicara yang juga merupakan pejabat daerah di beberapa wilayah di DIY hanya
bebrbicara tentang daerah masing masing secara umum. Sedangkan hal-hal teknis
penting terkait pelaksanaan KKN baru dibahas di akhir pembekalan dan itupun
sangat singkat. Mahasiswa merasa kurang informasi yang mereka butuhkan.
Senada dengan
mahasiswa, Perwitasari yang merupakan salah satu DPL KKN mengatakan bahwa pembagian
kelompok KKN yang ia bimbing sangat mepet dengan tenggat pengumpulan proposal
KKN. Hal ini membuat penyusunan proposal kegiatan tidak melakukan riset
terlebih dahulu, sehingga banyak kegiatan yang tidak sesuai dengan kebutuhan di
daerah pelaksanaan KKN. Pada akhirnya, banyak kegiatan yang ditambahkan pada
laporan akhir KKN. Padahal pembuatan kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat sangat penting, terlebih lagi disaat seperti saat ini. Kegiatan yang
mayoritas dilakukan melalui daring efektifitasnya jelas berbeda dengan kegiatan
bertatap muka langsung.
Hendri, salah
satu mahasiswa Jurusan Manajemen juga mengeluhkan bahwa dirinya sebagai ketua
sering dilempar-lempar oleh LPPM dan DPL ketika dirinya bertanya tentang
masalah teknis KKN. Menurutnya, DPL seharusnya paham dengan segala hal teknis
terkait pelaksanaan KKN dan menjadi jembatan antara mahasiswa dengan LPPM. Hal
ini juga karena hanya Pak Bambang Sugiarto saja yang terlihat bertugas
menangani pelaksanaan KKN dari LPPM. Ia mengurus baik terkait informasi maupun
koordinasi dari awal sampai akhir KKN. Namun menurut Hendri, permasalahan itu
menjadi sedikit lebih ringan karena dirinya terbantu dengan adanya grup chat
yang berisi para ketua kelompok KKN. Grup ini berfungsi untuk koordinasi
langsung dengan pihak LPPM maupun bertanya antar kelompok.
Selama
pelaksanaan KKN, Hendri dan teman-temannya mengaku tidak ada kesulitan yang
berarti dalam menjalankan programnya. Malah banyak terbantu dengan sistem yang
mengharuskan kegiatan yang dilakukan bersifat daring. Karena selain tidak harus
berpergian dan mempersiapkan izin, undangan, dll, pengeluaran mereka juga tidak
terlalu boros karena tidak harus menyiapkan konsumsi dan hal lain seperti pertemuan
tatap muka. Begitu juga dengan Fitroh, KKN yang bersifat daring ini malah
membuat dia tidak berfikir dua kali untuk mengikuti mata kuliah wajib ini.
“Kebetulan kan ini KKN-nya temanya tentang Covid-19 yang dimana kegiatannya bersifat
daring, jadi pengeluaran kita juga lebih minim. Ditambah lagi pada KKN tematik
kali ini tidak dikenakan biaya sama sekali, padahal kalo KKN tematik sebelum
adanya Covid ini bayar seperti semester pendek,”. Ia juga meyampaikan bahwa kegiatannya
tidak terlalu berat. Dengan pelaksanaan daring, jadi tidak banyak persiapan
yang harus dilakukan sebelumnya.
Irfan Hermawan
yang juga merupakan salah satu ketua kelompok KKN mengeluhkan tentang atribut
KKN. Ia mengatakan bahwa ketika pelaksanaan KKN hampir rampung, baju lapangan
yang biasanya menjadi atribut mahasiswa melaksanakan KKN, baru dibagikan.
Sedangkan masker, menyusul ketika pelaksanaan KKN telah usai. Hal ini membuatnya
kecewa, karena pembagian atribut yang telat tersebut menjadi tidak berguna.
“Kalau semisal dari awal belum siap (atributnya), ya yaudah, gausah diadain
sekalian. Toh akhirnya ga kepake juga kan, kalo kaya gini kan malah jadi
membuat jelek citra LPPM,” ucapnya.
Permasalahan
yang terakhir adalah tentang dana swadaya masyarakat yang dilaporan KKN harus
tertulis minimal senilai 600 ribu rupiah. Kalau dana swadaya masyarakatnya
tidak tertulis minimal 600 ribu, pihak LPPM tidak mau menandatangani laporan
akhir KKN tersebut. Yang dimana hal tersebut berarti laporan tersebut tidak
sah. “Nah sempet rame juga itu masalah dana swadaya, soalnya kalo dananya (yang
tertulis) kurang dari 600 ribu, Pak Bambang gamau nandatanganin. Jadi mau gamau
mahasiswa harus ngubah, dan ada mahasiswa yang protes karena seolah olah dia
memanipulasi dana itu, rame lah itu di grup,” ucap Irfan.
Pelepasan KKN Tematik 2018. |
“Namanya KKN kan
Kuliah Kerja Nyata, karena esensi (nyata) itu tidak ada sama sekali. Lewat
daring tuh esensinya apa sih? Kita kalo KKN terjun di lapangan belajar yang
namanya berinteraksi sama masyarakat secara langsung, etikanya dalam masyarakat
tu gimana, terus bercengkeramanya itu seperti apa kalo sama masyarakat. Di KKN
Covid ini kita gadapet sama sekali, karena emang serba daring, dan dengan
sistem seperti ini masyarakat juga cepet lupa sama kegiatan KKN kita.” pungkas
Fitroh.
Dengan sederet
permasalahan pada pelaksanaan KKN tersebut, reporter sudah berusaha untuk
menghubungi pihak LPPM namun belum ada jawaban hingga kini. Terlebih pelayanan
di kampus juga ditiadakan hingga tanggal 11 mendatang. Pelayanan luring ditiadakan
terkait adanya mahasiswa UPN yang terpapar Covid-19 dan sempat melakukan kontak
dengan beberapa pihak kampus. (Diva Arifin)
Editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori
Tulis Komentarmu