UU Ciptaker Sah, Rakyat Gerah
Rapat Paripurna Pengesahan UU Ciptaker (Sumber: ngelmu.co) |
Menanggulangi pandemi Covid-19 ternyata bukan menjadi satu-satunya fokus pemerintah saat ini. Hal ini dibuktikan pada Senin (05/10), Undang-Undang Omnibus Law atau UU Cipta Kerja berhasil disahkan. Undang-Undang yang sering disebut aturan sapu jagat ini terdiri atas 1.028 halaman dengan 15 bab dan174 pasal.
Dalam
Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), ada beberapa tujuan pemerintah
terlebih pada pertumbuhan ekonomi negara. Progam cipta kerja ini adalah usaha
penciptaan kerja melalui usaha kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan
koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah. Selain itu peningkatan ekosistem
investasi dan kemudahan berusaha juga investasi pemerintah pusat dan percepatan
proyek strategis nasional. Banyak hal yang menjadi bahasan dari UU Ciptaker
ini, sebagai contoh pada kluster ketenagakerjaan terdapat 7 substansi pokok.
Ketujuh substansi tersebut adalah: pesangon, upah minimum, jaminan kehilangan pekerjaan,
pekerja kontrak, waktu kerja, tenaga kerja asing, dan outsourcing.
Isu
utama pada UU Ciptaker ini sendiri sebenarnya adalah mengenai perizinan.
Pemerintah tidak menginginkan lagi adanya tumpang tindih dan ketidakpastian
aturan. Sehingga diharapkan kondisi iklim investasi bisa lebih kondusif untuk
menaikkan produktivitas dan lapangan kerja baru.
Sebagai
proyek besar regulasi, peraturan ini dianggap sebagai solusi meningkatkan
perekonomian nasional di tengah krisis. Namun, masyarakat Indonesia justru
memberikan respon sebaliknya. Hal ini dapat dilihat melalui trending-nya
berbagai postingan dalam sosial media yang menyuarakan mosi tidak percaya
kepada DPR. Tagar #DPRRIKhianatiRakyat menempati posisi pertama cukup lama di media
sosial Twitter dengan 1,44 miliar tweets. Kalimat yang terkesan
menyindir pemerintah seperti “diam-diam nyusun omnibus, pandemi gak diurus”
atau “pandemi makin parah, omnibus malah sah” dan masih banyak lainnya mudah
ditemukan di berbagai media sosial lain. Bahkan beberapa unggahan tersebut
menandai akun resmi dari DPR sendiri.
Yosua
Melasurrey, seorang mahasiswa FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta yang ikut
menyuarakan penolakannnya secara daring berpendapat bahwa UU Ciptaker ini masih
perlu direvisi kembali sebelum disahkan.
“Sebenarnya
banyak pasal karet disini, tapi poin utamaku ada di jangka waktu kontrak yang
ada di tangan pengusaha, sehingga berpotensi membuat status kontrak pekerja
abadi,” ujar Yosua yang juga aktif pada bidang advokasi di himpunan mahasiswa. Ia
sebenarnya juga berharap pemerintah dapat lebih memerhatikan informasi dan
penjelasan terkait UU ini karena rawan perpecahan mengingat kondisi psikologis
masyarakat yang kurang baik akibat pandemi.
Agung
Prabowo, salah satu dosen pengampu mata kuliah ilmu politik FISIP UPN “Veteran”
Yogyakarta menjelaskan bahwa sebenarnya filosofi adanya peraturan Ombinus Law
itu baik. Ini dikarenakan memang dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terdapat
banyak pasal yang bertentangan. Untuk menghindari kontradiksi dan meningkatkan
efisiensi peraturan, Omnibus Law ini perlu dibentuk. Meskipun begitu, beliau
menyatakan ketidaksetujuannya mengenai UU Ciptaker ini.
“Tapi
filosofi ini belum tentu terjabarkan dalam isinya, karena ada ketidakadilan
antara pengusaha dengan buruh. Karena saya lihat pelaku usaha diuntungkan, sedangkan
di sisi lain ada banyak aspek yang merugikan buruh, dan menempatkan mereka
dalam posisi yang sangat lemah. Ketika Undang-Undang itu tidak memiliki
landasan berkeadilan, tentu saja saya tidak setuju,” tegas beliau.
Agung
juga menyoroti mengenai pembahasan UU Ciptaker yang tidak transparan. Pembahasan
ini juga dilakukan di tengah pandemi, mengingat perhatian masyarakat lebih
tertuju kepada keselamatan kehidupannya sendiri. DPR terkesan memanfaatkan
keadaan untuk memaksakan pengesahan UU ini
Hingga saat ini, telah banyak lapisan masyarakat yang menyatakan keberatannya terhadap UU Ciptaker. Namun pemerintah masih tetap kekeuh dengan sikapnya. Selain itu pemerintah juga belum memberikan info akan menarik keputusannya kembali. (Delima Purnamasari)
Editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori
Tulis Komentarmu