Pro Kontra PILKADA 2020 dan Sikap Pemerintah
Belum usai masalah penanggulagan pandemi Covid-19, muncul pro kontra
perihal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Indonesia. Keputusan Presiden
Joko Widodo yang menyatakan bahwa Pilkada akan tetap diselanggarakan menuai beragam
respon dari berbagai pihak. Pasangan calon di Pilkada yang melanggar protokol corona hanya akan diberi teguran tertulis di peraturan yang baru. (Sumber: Antara Foto/Mohammad Ayudha)
Tetap digelarnya Pilkada 2020 di tengah pandemi Covid-19 yang semakin
memburuk menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan di masyarakat. Pasalnya,
sejumlah aktivitas dalam proses Pilkada perlu melibatkan banyak orang. Misalnya
seperti kegiatan penyampaian berkas atau perlengkapan secara
fisik, koordinasi bimbingan teknologi, sosialisasi, kampanye, serta kegiatan
lainnya. Kegiatan-kegiatan
tersebut jelas perlu melibatkan banyak orang dan ditakutkan akan menambah risiko penularan Covid-19.
Selain itu, mengutip data dari Satuan Tugas Covid-19, angka penyebaran kasus positif Covid-19 belum
menunjukkan tanda-tanda penurunan signifikan. Data menyebutkan, kecenderungan kasus
harian pada September empat kali lebih tinggi dibandingkan rata-rata kasus
periode Juli-Agustus. Terkait data penyebaran Covid-19 di atas, membuktikan bahwa kebijakan yang sudah ada atau kesadaran masyarakat dalam
menjaga protokol kesehatan masih belum maksimal dan dilangsungkannya Pilkada bisa memunculkan peluang-peluang yang melanggar protokol kesehatan.
Selain dari data tersebut, fakta di lapangan membuktikan pelanggaran
terkait pelaksanaan tahapan-tahapan Pilkada 2020 banyak terjadi. Mengutip data
dari Tribunnews.com, ada setidaknya 48 kegiatan kampanye yang melanggar protokol
kesehatan pencegahan Covid-19 dan telah dibubarkan oleh pihak Bawaslu dan
kepolisian. Adapun beberapa daerah yang dilakukan pembubaran kampanye
diantaranya: Bangli, Klaten, Pemalang, Mojokerto, dan Lamongan. Nama-nama
daerah tersebut masih beberapa dari sekian kasus pelanggaran. Dari sini sudah
jelas terlihat bahwa meskipun ada kebijakan yang telah dibuat sedemikian rupa,
tapi tetap saja masih ada sekelompok orang yang tidak mengindahkan kebijakan
tersebut.
Ilustrasi - Pelaksanaaan pemungutan suara di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. (Sumber: Kompas.com/Firman Taufiqurrahman)
Terabaikannya protokol kesehatan inilah yang menyebabkan pemerintah
banyak menuai kritik dari sejumlah koalisi
masyarakat sipil. Pemerintah dianggap belum mampu menjamin kesehatan dalam
penyelenggaraan Pilkada. Kendati demikian, pemerintah masih bersikeras melangsungkan Pilkada 2020 pada 9
Desember 2020. DPR pun
menyetujui keinginan pemerintah dengan alasan bahwa Gugus Tugas Percepatan
Penanganan Covid-19 tak mempersoalkan rencana tersebut.
Dalam
kasus ini, pemerintah terlihat kurang
bijak dalam mengambil sikap dari sebuah pemerintahan yang demokratis. Seolah kita tidak punya pilihan untuk
melaksanakan Pilkada selain Desember 2020.
Padahal di awal pembahasan Pilkada lanjutan,
Ketua KPU Arief Budiman, mengatakan pihaknya menawarkan tiga opsi waktu pada
pemerintah dan DPR, yaitu pada Desember 2020, Maret 2021 atau September 2021.
Dari pilihan ini seharusnya pemerintah masih bisa memundurkan jadwal Pilkada di
tahun depan, yakni pada September 2021. Dengan penundaan tersebut, pemerintah masih
punya cukup waktu untuk menyelesaikan pembentukan regulasi, menyelesaikan
anggaran, atau bahkan menyelesaikan penanggulangan pandemi.
Meski menuai banyak kritik, pemerintah mengklaim bahwa
tahapan Pilkada 2020 sampai saat ini relatif bisa dikendalikan berkat kerjasama yang terjalin dari seluruh
pihak. Mulai dari Pemerintah di tingkat
pusat hingga jajaran Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Kerjasama
tingkat nasional, TNI-Polri, Satpol PP, Pemda, juga Satgas Covid-19 seperti
yang diungkapkan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian dalam webinar
bertajuk Pilkada Berintegritas 2020, Selasa (20/10/2020).Warga yang tergabung dalam Masyarakat Pendukung Demokrasi melakukan aksi mendukung Pilkada damai di Gladak, Solo, Jawa Tengah, 5 Agustus lalu. (Sumber: ANTARA FOTO)
Klaim terkendalinya Pilkada 2020 ini
termasuk lemah melihat fakta yang ada justru malah semakin meningkatnya
pelanggaran yang terjadi saat tahapan Pilkada berlangsung. Seharusnya,
pemerintah bisa lebih ketat lagi agar pelanggaran tidak semakin meningkat dan
tidak menimbulkan penambahan kasus poitif baru. Optimistis boleh jalan, tapi protokol kesehatan
jangan sampai dilupakan. Masyarakat diharapkan tidak mengendorkan kesadaran dalam
menaati protokol kesehatan yang sudah ditetapkan saat Pilkada sedang
berlangsung. Masyarakat perlu melindungi diri dengan baik, bukan hanya memakai
masker dan jaga jarak, tetapi juga menghindari kerumunan.
Tak luput pihak penyelenggara Pilkada juga harus benar-benar
tegas terhadap pelanggaran yang terjadi selama tahapan Pilkada 2020 berlangsung.
Setiap prosesnya harus menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Jangan sampai
karena Pemilu, masyarakat menjadi korban karena hak atas kesehatan tidak
dilindungi. (Novella Candra Wastika)
Editor: Muhammad Hasan Syaifurrizal Al-Anshori
Tulis Komentarmu