Pentingnya Etika Jurnalis dalam Pemberitaan Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air SJ-182
Pesawat Sriwijaya Air (Sumber: dream.co.id) |
Jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 di sekitar perairan Kepulauan Seribu pada awal
tahun ini, menghebohkan warga di Indonesia dan di beberapa negara lainnya. Pesawat
dengan rute Jakarta-Pontianak tersebut membawa 56 penumpang dan 6 awak. Sementara
itu, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tercatat peristiwa jatuhnya pesawat
di Indonesia telah terjadi sebanyak empat kali.
Jurnalis
dan media merupakan faktor krusial tersendiri sehingga insiden ini menjadi topik
utama bagi masyarakat, serta mampu mengalihkan perhatian mereka dari isu
lainnya. Dalam hal ini, banyak jurnalis media berburu perkembangan informasi
terkini mengenai peristiwa tersebut kepada berbagai pihak, termasuk keluarga korban.
Praktik media dalam menyebarkan berita pun cukup berpengaruh sekalipun sarat
dengan berbagai kepentingan.
Pada
dasarnya, memang hal yang mengundang air mata selalu mendapat tempat spesial di
hati masyarakat. Oleh sebab itu, memproduksi tayangan yang mengundang haru pilu
cukup sering dilakukan berbagai media lokal. Misalnya, dalam insiden ini media menayangkan
wawancara dengan keluarga korban, tetapi di sisi lain rasa peduli ataupun
empatinya kurang diunggulkan. Dengan demikian, tak salah rasanya berpikir bahwa
media-media ini hanya mengutamakan kecepatan tayang berita, dibanding perihal
etika dan profesionalitas. Lagi pula, tampilan seperti itu sebenarnya cenderung
membuat penonton maupun pembaca yang kritis justru merasa geli dan jijik.
Dalam
sehari saja, media mampu menayangkan berbagai berita yang mengundang air mata penonton.
Mengajukan pertanyaan yang dirasa tidak perlu, bahkan terkesan bodoh. Misalnya,
“Beliau tipe orang yang bagaimana?” atau, “Apa kesan terakhir bersama beliau
sebelum akhirnya pergi?” Akibatnya, hanya menghasilkan berita sensasional demi menjaga
momentum. Contohnya, “Pesan & Firasat Terakhir Korban Sriwijaya Air Sebelum
Pesawat Jatuh,” atau yang lebih parah, “Pesta Durian Terakhir Satu Keluarga
Korban Sriwijaya SJ 182.”
Perlu diketahui bahwa berita yang mengeksploitasi privasi seseorang ataupun keluarga korban, berpeluang memberikan efek traumatis dan berakibat buruk pada mental. Jika demikian, maka perlu dipertanyakan kembali tujuan media menayangkan hal ini. Jika sekadar menaikan rating, tentu media tersebut lebih layak disebut sebagai pedagang yang menjual informasi. Karena itu, media perlu menjunjung tinggi profesionalitas dan etika jurnalistik kepada para jurnalisnya. Jadi, berita yang ditayangkan bukan hanya menjual rasa iba, melainkan berita yang kritis, proporsional, dan informatif.
Salah satu keluarga korban jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 ketika diwawancarai awak media (sumber: tribunnews.com) |
Banyak
tanggapan bermunculan mengenai bagaimana seharusnya etika media dalam
memberitakan insiden ini, salah satunya dari Basuki Agus Suparno, M.Si.
“Jangan
melukai perasaan publik,” ungkapnya.
Dosen Ilmu
Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta tersebut, menyampaikan bahwa media
seharusnya tidak hanya terfokus pada fakta saja, melainkan mempertimbangkan
pula emosional keluarga korban. Dalam hal ini, menurutnya penting untuk tidak mendramatisisasi
apalagi menempatkan korban atau puing pesawat sebagai komoditas berita. Selain
itu, alangkah lebih baik jika media fokus pada upaya meredakan ketidakpastian
dan kesimpangsiuran informasi.
Tanggapan lain
juga muncul dari Atina Husnaqilati, salah satu mahasiswi Indonesia yang saat
ini menempuh kuliah S3 Mathematics di Universitas Tohoku Jepang. Ia bercerita
bagaimana media Jepang mengambil peran ketika memberitakan suatu insiden, yakni
sebagai sumber informasi dan sarana menyokong batin yang dibutuhkan oleh warga.
Contohnya, ketika tahun 2011 musibah tsunami menyerang negeri matahari terbit
tersebut, menurutnya tidak ada media yang mengabarkan berita yang mengundang
tangisan air mata ataupun mengunggah privasi korban bencana.
“Alih-alih
memberitakan hal-hal yang menyinggung privasi, media di Jepang justru
mengabarkan kemajuan pencarian korban, mengabarkan jumlah bantuan yang berdatangan,
dan lokasi evakuasi yang disediakan, serta dukungan untuk tetap semangat,”
ungkapnya ketika membandingkan media Indonesia dan Jepang ketika memberitakan
sebuah insiden.
Tanggapan kekecewaaan
pada media yang masih menyinggung privasi keluarga korban, juga muncul dari
pihak masyarakat umum. Salah satunya adalah Nurul Agustin yang menyatakan bahwa
tak seharusnya media seperti ini, bahkan ia melihat tayangan di mana wartawan
mewawancarai pihak keluarga korban, padahal saat itu yang diwawancarai sedang menangis.
Namun, terus diajukan pertanyaan yang lebih tertuju pada privasi keluarga
korban. Hal ini mungkin menguntungkan jurnalis dan media yang bersangkutan, tetapi
tidak untuk keluarga yang ditinggalkan.
Sudah
semestinya para jurnalis media menggunakan etika dalam tiap liputan
yang dilakukan, khususnya pada insiden tertentu seperti ini. Untuk itu, penting memahami
bagaimana kondisi emosional narasumbernya dan tidak hanya mengutamakan kejar
tayang dari media saja. Dengan kata lain, hanya menayangkan berita firasat,
pesan terakhir para korban, dan sejenisnya yang justru tidak penting sama
sekali. Media harusnya menjadi sarana menyebarkan informasi yang bermanfaat
bagi publik dan korban, serta menjadi yang terdepan dalam meredakan
kesimpangsiuran informasi dari suatu insiden. (Shinta Tri Pangestu)
Editor: Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu