Foto Sapardi Djoko Damono (sumber: liputan6.com) |
Sayup matamu jelas terlihat dari foto-foto lawas yang diunggah oleh muda-mudi sosialita. Kau terlihat rupawan dengan topi nyentrik dan wajah oval berkerut. Garis wajahmu menyilang satu sama lain. Persis hujan bulan Juni dan kesederhanaan cintamu pada dunia, yang bercampur indah dalam alunan syairmu.
Aneh juga. Mereka tiba-tiba sedih dan beramai-ramai jatuh cinta padamu. Ada yang tahu kau siapa. Ada yang tau apa yang sudah kau buat. Ada juga yang benar-benar jatuh cinta padamu. Ada juga yang benar tidak tahu kau siapa. Barang kali hanya karena kebetulan melihat wajahmu pada qoute-quote cinta pada gawai mereka.
Maka benarlah katamu.
'Aku mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu. 'Kau harus mati dahulu, agar kau hidup.
Begitukah? Beberapa bertanya, 'apakah kau mati dibunuh zaman? Apakah kau sudah
tidak tahan menjadi hujan bulan Juni, yang kau syairkan begitu indah? Atau
apakah cinta Tuhan sudah selesai padamu?
Begitukah?
Kau memang kadang sukar
dipahami. Namun jika manusia menjadi menang dan kalah dan menang lagi dan kalah
lagi di dunia, maka kaulah menang dalam perdebatanmu dengan takdir. Kau
akhirnya berdamai dengannya. Kaulah menang dalam berbagai cara dunia melihat
kekalahan dan ketidakabadian manusia. Kaulah menang atas mati dan hidup abadi
dalam jelmaanmu hujan bulan Juni.
Dan cinta Tuhan baru saja dimulai lagi padamu.
Terimakasih Sapardi.
(Risky Redemptus)
Tulis Komentarmu