Kondisi Mental di Kalangan Mahasiswa Semester Atas
Ilustrasi catatan tentang hal-hal yang dihadapi mahasiswa (Sumber: Arinda Qurnia) |
Kesehatan mahasiswa tidak hanya perlu dilihat dari aspek
fisik saja, tetapi juga pada kondisi mentalnya. Bersumber dari Journal of
Adolescent Health 63 yang melakukan survei terhadap lebih dari 15.000 mahasiswa
tingkat sarjana. Menyebutkan bahwa sebanyak 18% dari responden pernah secara
serius mempertimbangkan untuk mencoba bunuh diri, sementara sebanyak 8% mengaku
pernah mencoba bunuh diri setidaknya satu kali.
Pada Senin (8/3) lalu, penulis mencoba melakukan survei
dengan jumlah responden sebanyak 55 orang. Responden ini terdiri dari mahasiswa
semester empat ke atas. Mereka berasal dari kurang lebih 13 perguruan tinggi. Hasil
survei ini menunjukkan bahwa terdapat 83,6% mahasiswa yang merasakan depresi.
Selain itu, 80% mahasiswa juga merasakan kecemasan atau insecurity. Di sisi lain, situasi tersebut ternyata juga memengaruhi
kondisi mereka. Baik itu berupa gangguan pola tidur atau insomnia, gangguan
pola makan, hingga perilaku self-harm. Survei ini menunjukkan terdapat
47,3% mahasiswa mengalami insomnia dan gangguan pola makan. Selanjutnya, sebanyak
20% mahasiswa mengaku melakukan self-harm,
yaitu perilaku menyakiti
diri sendiri sebagai pelampiasan emosi.
Adapun mahasiswa yang memasuki semester atas juga mengalami depresi karena beberapa faktor. Misalnya, tuntutan akademik, tanggung jawab non-akademik, hingga urusan atau masalah pribadinya. Hal ini dibuktikan dari sebagian besar responden, yaitu sebanyak 54,5% mahasiswa yang merasa depresi akibat ketiga faktor tersebut.
Infografis hasil survei mengenai depresi dan kecemasan mahasiswa (Sumber: Arinda Qurnia) |
Pandangan
Mahasiswa Tingkat Akhir
Galuh Ade Novi menuturkan bahwa dirinya pernah
menghadapi suatu kompleksitas. Di mana ia terlibat pada kegiatan besar UKM
(Unit Kegiatan Mahasiswa), sementara ia harus mengerjakan tiga laporan tulis
tangan dengan asistensi dari pagi hingga malam. “Ya akhirnya harus berat
sebelah. Untuk urusan pribadi yaitu kegiatan pemuda di dusun jadi tidak bisa
ikut,” ungkap Mahasiswa Program Studi S1 Agroteknologi tersebut.
Memasuki semester akhir ketika pandemi, membuatnya merasakan
beberapa kesulitan. Di mana pada awal semester enam, dirinya mulai overthinking (memikiran sesuatu secara berlebihan)
lantaran teman-temannya telah mulai lulus. Sementara itu, ketika dirinya hendak
melakukan bimbingan, dosen yang mengampu sudah sepuh dan kurang memahami sistem daring. Akibatnya, ia harus melakukan
bimbingan secara luring. Tidak hanya itu, hal ini diperparah pula dengan adanya
perbedaan pendapat antara kedua pembimbingnya.
“Ada dua dosen pembimbing dan dua penguji. Antara dua
dosen pembimbing bisa terjadi cekcok.
Saat konsultasi dengan dosen pertama sudah diterima, tetapi saat konsultasi ke
dosen kedua tidak diterima,” jelas Galuh saat ditemui di kediamannya.
Pandangan
Mahasiswa Tingkat Akhir Pengambil Cuti Akademik
Tiya, seorang mahasiswi yang mengambil cuti akademik
selama satu semester lantaran permasalahan keluarga. Mengaku juga merasakan
kecemasan atau insecurity apabila
mendapatkan nilai yang tidak maksimal. Mahasiswi dari perguruan tinggi di
Yogyakarta ini, menjelaskan bahwa selama mengambil cuti di semester enam, ia
berpikir untuk lulus tidak jauh lama dibandingkan teman-temannya. Memasuki
semester tujuh, dirinya melanjutkan kuliah dengan perasaan khawatir. “Namun,
saya justru mendapatkan hal-hal baru, berkenalan dengan adik tingkat yang
hingga saat ini masih saling membantu,” jelasnya.
“Semua mengalir, awalnya memang cemas. Walaupun
begitu, banyak teman satu angkatan yang membantu memberikan materi, dan menceritakan
pengalaman kerja lapangan serta KKN. Jadi, saya bisa tahu dan mempersiapkan
diri untuk nanti ketika semester sembilan,” paparnya. Ia menambahkan bahwa
setelah mengambil cuti, sifat kemandiriannya justru semakin terbentuk.
Mengingat karena kondisi menuntutnya untuk bisa beradaptasi dengan angkatan
yang berbeda.
Infografis hasil survei tentang kondisi yang dialami oleh mahasiswa (Sumber: Arinda Qurnia) |
Pandangan
Dosen Penasihat Akademik
Setiap mahasiswa memiliki Dosen Penasihat Akademik
(DPA) atau dosen wali selama masa kuliah. Muhammad Edy Susilo, salah satu DPA
Ilmu Komunikasi UPN “Veteran” Yogyakarta, menuturkan bahwa DPA memiliki beragam
tugas. Misalnya, memberikan pengarahan dan bimbingan kepada mahasiswa di bidang
akademik, seperti ketika pemilihan mata kuliah. Selain itu, dirinya menyebutkan
bahwa seorang DPA idealnya juga memberikan dukungan moral serta semangat kepada
mahasiswanya.
“Beruntung sekarang ada teknologi komunikasi yang bisa
digunakan untuk menghimpun mahasiswa dalam satu grup. Lewat grup bisa disampaikan
berbagai informasi lain, bukan hanya masalah akademik,” ungkapnya.
Menanggapi fenomena depresi dan stres di kalangan
mahasiswa, dirinya turut bersimpati. Menurutnya, hal tersebut lantaran kondisi pandemi
yang membatasi keleluasaan dalam melakukan aktivitas. Ia menjelaskan bahwa
sebenarnya kondisi ini juga dapat menimpa siswa, ibu rumah tangga, keluarga
yang pendapatannya terimbas pandemi, bahkan mungkin dosen pun demikian.
Jika terdapat mahasiswa bimbingannya yang mengalami
depresi maka selaku DPA ia akan menggali lebih dalam masalah tersebut. Walaupun
demikian, dirinya mengaku belum ada mahasiswa yang curhat untuk menceritakan masalahnya
meskipun ia sudah terbuka.
“Mahasiswa yang bermasalah umumnya malah diam dan
tidak berkomunikasi dengan siapa pun termasuk pada dosen wali. Mahasiswa yang
datang atau berkonsultasi justru cenderung yang baik-baik saja,”
jawabnya melalui aplikasi pesan.
Selanjutnya, menanggapi adanya keresahan mahasiswa
pada semester atas. Menurutnya, para mahasiswa tersebut justru lebih dekat
dengan dosen pembimbing skripsi yang biasa bertemu satu atau dua kali dalam
seminggu. Di samping itu, ia menambahkan informasi sekaligus menyikapi mahasiswa
yang mengambil cuti akademik. Dirinya menyayangkan mereka yang tidak tahu tentang
prosedur cuti meski sudah terdapat di buku panduan dan laman universitas.
“Saat cuti tidak perlu membayar UKT. Namun, mahasiswa
menganggap jika tidak membayar UKT maka akan menjadi cuti. Sesungguhnya, jika
sejak awal tidak mengajukan permohonan cuti maka semester depan akan tetap ditagih
UKT,” jelasnya.
Kiat
Menghadapi Kondisi Mental
Tidak hanya mengalami permasalahan mental, sebesar
56,4% responden ternyata memiliki solusi untuk kondisi ini. Contohnya, dengan berusaha
menerima kekurangan, meningkatkan hubungan dengan Tuhan dan berdoa, introspeksi
diri, bercerita ke orang-orang terpercaya, mengubah pola pikir, melakukan hal
yang disukai, serta berkonsultasi ke psikolog.
Salah satunya adalah Laili Widyastuti, ia memiliki
cara tersendiri untuk mengatasi masalah ini. Ia biasa mewarnai atau melukis
abstrak sembari mendengarkan lagu hingga menangis. Hal tersebut menjadi
kegiatan yang melegakan baginya. “Aku justru menghindari nonton film atau drama karena konflik di sana akan memburukkan
keadaan,” ungkap mahasiswa yang biasa dipanggil Lili tersebut.
Sementara itu, Galuh menambahkan cara agar tidak
mengalami depresi. Menurutnya, seseorang perlu melakukan hal-hal yang disukai
dan memberikan waktu untuk menyenangkan diri sendiri. “Bagiku, hal itu aku
lakukan dengan mengikuti UKM. Dengan demikian, bisa menjadi tempat beristirahat
(dari kegiatan akademik), bisa lebih nyaman, dan bisa mengerjakan tugas bersama
teman meskipun beda jurusan,” jelasnya.
Harapan
Hadirnya Layanan Psikolog di Kampus
Berkaitan dengan adanya peluang krisis kesehatan
mental tersebut, terdapat beragam harapan yang disampaikan oleh berbagai pihak.
Salah satunya mengenai kinerja dosen wali dan layanan psikologi di kampus. “Dosen
wali yang baik yakni yang memperhatikan, mengarahkan, dan memotivasi mahasiswa
untuk menyelesaikan kuliah, serta mendampingi mereka secara berkala,” ucap
Galuh.
Perihal layanan psikologi, dirinya mengaku akan baik jika
kampus menyediakan fasilitas tersebut, tetapi jika tidak ada pun tidak masalah.
“Lebih baik jika ada (layanan psikologi) meskipun di UPN Jogja tidak ada
Fakultas Psikologi. Di sini (UPN Jogja) banyak kasus mahasiswa kurang motivasi
hingga harus kuliah sampai belasan semester,” pungkasnya.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Galuh, Laili juga mengemukakan
bahwa layanan psikologi sangat diperlukan. Bagi dirinya, kesehatan mental seorang
mahasiswa adalah hal yang sangat penting. Menurutnya, jika mental mahasiswa terganggu
maka akan memengaruhi aspek akademiknya pula.
“Mental mahasiswa, terutama angkatan akhir itu tidak
semuanya fine. Pasti ada masa di mana
mereka stres, bingung, takut dengan keadaan, dan lain-lain,” papar mahasiswa
Ilmu Komunikasi tersebut. Ia menjelaskan bahwa dengan hadirnya layanan psikologi,
akan menjadikan mahasiswa lebih tenang. Ia mengibaratkan layanan ini serupa
dengan BK (Bimbingan Konseling) di tingkat sekolah.
Tidak hanya dari pihak mahasiswa, Edy Susilo selaku
DPA juga berharap demikian. Dirinya menuturkan bahwa meski di kondisi normal
(tidak terjadi pandemi), layanan psikologi penting adanya. Alasan di balik
pendapatnya itu karena ada banyak mahasiswa yang memiliki permasalahan.
Misalnya, homesick karena jauh dari orang
tua, belum memahami pembelajaran, masalah hubungan dengan teman-temannya, dan lain-lain.
Di mana hal ini menyebabkan proses belajar
menjadi tidak optimal.
“Di institusi sebesar ini harusnya ada inovasi layanan.
Hal tersebut sebenarnya tinggal menunggu good
will saja sih. Dulu di FISIP ada layanan psikologi sekitar tahun 2002-2007.
Akan tetapi, kebijakan yang sekarang sudah tidak ada lagi,” tutupnya saat
dihubungi pada Rabu (10/03). (Arinda Qurnia Yulfidayanti)
Editor: Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu