Dilema Mengikuti Kegitan Buka Bersama
Persiapan kegiatan buka bersama. (Sumber: Dedy Wichaksono) |
Setahun lebih pandemi melanda Indonesia. Masyarakat Indonesia pun berusaha menahan diri untuk tidak berkumpul dengan kerabat maupun teman dekat. Pada bulan Ramadan, masyarakat Indonesia mempunyai beberapa kebiasaan yang melibatkan orang banyak, yaitu ngabuburit dan buka bersama. Masyarakat pun mengalami dilema antara bertemu dengan teman sebaya, atau diam di rumah dan mencegah upaya penyebaran Covid-19.
Ngabuburit, diartikan sebagai berjalan-jalan pada waktu Maghrib,
sebelum berbuka puasa. Biasanya, ngabuburit dihabiskan dengan tujuan
mencari menu yang akan digunakan untuk berbuka puasa atau jalan-jalan santai
menghabiskan waktu puasa yang tersisa. Selain ngabuburit, masyarakat kerap
melakukan kegiatan buka bersama. Biasanya, buka bersama dilakukan oleh
segerombolan orang di rumah makan atau tempat tertentu. Namun selama pandemi, banyak
yang memilih untuk menghindari kegiatan buka bersama dengan alasan kesehatan.
Setelah
pandemi berjalan satu tahun lebih, banyak orang yang merasa rindu akan dua
kegiatan tersebut. Acara buka bersama ditiadakan karena dianggap mengumpulkan
orang dalam jumlah banyak dan menciptakan kerumunan. Namun pada tahun ini,
tahun 2021, banyak orang yang memutuskan untuk mengadakan acara buka bersama.
Dedy
Wichaksono, seorang pegawai marketing dari PT. Patraland salah satunya. Bersama
teman-teman sekantornya, ia mengaku sudah dua kali merayakan acara buka bersama.
“Jumlahnya sekitar 10 orang, teman-teman kantor semua. Sejauh ini sudah dua
kali buka bersama. Pertama di kantor, yang kedua di Hotel Daffam daerah Seturan,”
ujar Dedy
Dirinya
mengatakan, hotel yang menyediakan fasilitas buka bersama tetap memenuhi
protokol kesehatan dengan tetap memberi jarak antara satu kursi dengan kursi
yang lainnya. Namun karena masih dalam kondisi pandemi, belum banyak orang yang
berani mengadakan acara buka bersama, terutama di hotel, dengan kemungkinan
adanya orang banyak.
“Dari
segi harga ya tetap sama, baik pada masa pandemi maupun tidak.” tambah pria
yang kerap dipanggil Dedy saat ditanya mengenai harga. Meski pandemi belum reda,
ia merasa aman-aman saja merayakan buka bersama dengan temannya. Hal ini
dikarenakan mereka rutin bertemu setiap harinya untuk bekerja.
Selain
Dedy, Yosi Wahyu Putri, salah satu mahasiswa Hubungan Masyarakat juga mengikuti
kegiatan buka bersama dengan temannya. Ia mengatakan, bahwa kegiatan buka
bersama sebenarnya tidak apa-apa diselenggerakan. Namun untuk keamanan,
hendaknya ada kesadaran diri dari masing-masing pribadi. Dia juga menuturkan
untuk tetap mematuhi protokol kesehatan.
"Yang
penting tetap mematuhi protokol kesehatan. Pakai masker, jaga jarak, dan
cuci tangan. Lalu, kita juga harus sadar diri jika merasa kurang sehat. Karena
kalau buka bersama kan kita bertemu dengan orang lain. tentunya kalau
ada sesuatu yang kurang baik dari kita akan berdampak juga ke mereka,"
tuturnya.
Lain
halnya dengan Yosia yang menyetujui acara buka bersama pada masa pandemi,
Salsabila Hana Umamah, mahasiswi jurusan Teknik Kimia memiliki pendapat berbeda.
Ia berpendapat, sebaiknya untuk saat ini jangan melakukan buka bersama terlebih
dahulu. Dirinya juga menambahkan, meski menjalankan protocol kesehatan, para anggota yang
mengikuti kegiatan buka bersama nantinya akan melpaskan masker ketika makan
atau berbicara,
"Karena
sewaktu makan dan mengobrol pasti harus melepas masker. Selain itu, buka
bersama yang dilakukan di luar kan juga belum menjamin bahwa peralatan makan
yang digunakan sudah benar-benar bersih."
Menanggapi kegiatan bukber yang kembali diadakan oleh sebagian orang, Rahmat, perawat di RS Royal Progress, Jakarta menganjurkan untuk tidak melakukan kegiatan buka bersamaterlebih dahulu. Rahmat beralasan, meskipun tetap mematuhi protokol kesehatan, bukan tidak mungkin bahwa ada kegiatan yang tidak mematuhi protocol seperti saat berfoto. Mereka harus berdekatan dan tidak menjaga jarak. Selain itu mereka juga harus melepaskan masker saat makan. “Ya meskipun sudah divaksin, tapi kan vaksin hanya mengurangi risiko terpapar, bukan membuat seseorang benar-benar aman dari risiko,” tutup Rahmat. (Maria Sekaringtyas)
Editor: Mohamad Rizky Fabian
Tulis Komentarmu