Pengaruh Media Sosial Dalam Sistem Pembelajaran Daring
Ilustrasi beragam media sosial. (Sumber: Pinterest) |
Pandemi Covid-19 yang tak kunjung reda menyebabkan aktivitas masyarakat terkena dampaknya. Ranah pendidikan adalah satu dari sekian banyak sektor yang mengalami perubahan cukup signifikan agar bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan new normal. Proses belajar mengajar yang semula memerlukan tatap muka antara para pendidik dan pelajar, belum juga dapat dilaksanakan. Sarana media sosial pun dimanfaatkan tenaga pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan sebelumnya telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4
Tahun 2020 mengenai Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan Dalam Masa Darurat
Penyebaran Coronavirus Disease (COVID-19) yang menjadikan pembelajaran
daring sebagai opsi yang harus dilakukan oleh semua institusi pendidikan. Dalam
rangka mencegah penularan virus, mobilitas beragam kegiatan pun dibatasi sesuai
protokol kesehatan sehingga membuat interaksi sosial patut dihindari.
Pada
umumnya, penggunaan conferences call online seperti Zoom atau Google Meet
menjadi alternatif utama agar guru dan dosen dapat menyampaikan materi. Namun,
kehadiran media sosial rupanya tak luput dari perhatian para tenaga pendidik. Melibatkan
media sosial dalam proses pembelajaran daring dapat menjadi salah salah satu
cara agar sarana penyampaian materi serta tugas yang diberikan tidak monoton. Apalagi,
riset kerjasama antara We Are Social dan Hootsuite menunjukan
bahwa orang Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 14 menit dalam sehari untuk
membuka media sosial. Hal ini menunjukan bahwa interaksi media sosial dalam
kehidupan sehari-hari semakin akrab dan mudah diakses oleh banyak kalangan.
Pada prakteknya, kehadiran media sosial dalam pembelajaran daring juga memicu perdebatan karena beberapa kebijakan terkait nilai yang diberikan oleh Dosen. Diah Ayu (19), mahasiswi Program Studi Hubungan Masyarakat mengatakan bahwa dia tidak masalah jika media sosial digunakan untuk mengumpulkan tugas. Hanya saja, penilaian yang dilakukan oleh dosen harus adil. Jika penilaian murni berdasarkan jumlah likes atau retweet yang dihasilkan, maka hal tersebut dinilai tidak adil karena tidak menjamin kualitas sebuah tugas.
Ilustrasi media sosial sebagai sistem pembelajaran daring. (Sumber: Freepik.com) |
“Kalau
kualitasnya bagus tapi followers-nya dikit kan nggak bisa gitu
aja bersaing dengan yang sudah memiliki banyak followers. Menurutku penilaian
jangan sampai didasarkan likes atau retweet, melainkan harus tetap
dilihat kualitas tugasnya,” tuturnya.
Hal
senada juga dilontarkan oleh Ratna (19), mahasiswi Program Studi Ilmu
Komunikasi. “Kurang setuju sih kalau nilai murni didapat berdasarkan
angka sharing di media sosial. Nggak semua orang punya banyak
pengikut di media sosial. Kadang juga orang-orang cuma likes atau retweet
tanpa tau isi kontennya,” ujarnya.
Meski
demikian, ada banyak pengaruh positif yang didapat dari penggunaan media
sosial. Salah satunya adalah dapat memudahkan pelajar dan mahasiswa untuk
saling berbagi mengenai materi atau topik mengenai pelajaran tertentu. Hal ini
diakui oleh Damara (19), mahasiswi Program Studi Ilmu Komunikasi. “Di media
sosial, kita bisa cari materi atau e-book yang berhubungan dengan topik yang sedang
dipelajari,” ujarnya.
Pada kenyataanya, pro dan kontra adalah bukti bahwa media sosial memberi pengaruh terhadap corak pembelajaran daring saat ini. Mengingat kondisi pandemi yang masih belum dapat dipastikan kapan berakhir, maka pemanfaatan segala sarana dan media termasuk media sosial patut terus dilakukan. Evaluasi penggunaannya dalam pembelajaran daring juga harus dilaksanakan agar media sosial bisa membawa lebih banyak pengaruh baik dalam kegiatan belajar mengajar. (Mutiara Fauziah Nur Awaliah)
Editor: Mohamad Rizky Fabian
Tulis Komentarmu