Perlunya Regulasi untuk Mencegah Top Up Berlebihan oleh Anak di Bawah Umur
Ilustrasi kegiatan bermain game online. (Sumber: freepik.com) |
Gaming merupakan aktivitas yang digandrungi hampir semua kalangan di Indonesia. Salah satu platform yang merebak di akhir 2018-an hingga sekarang adalah Mobile Gaming atau media gaming dengan Smartphone. Problematika pun muncul ketika anak-anak di bawah umur membeli uang virtual di dalam game secara berlebihan. Lalu, perlukah adanya regulasi dalam pembelian uang virtual bagi anak di bawah umur?
Mobile
Gaming memang menjadi kegiatan yang kerap
dipilih dalam mengisi waktu luang. Kepopulerannya didukung oleh komunitas serta
jumlah pemain yang cukup fantastis. Dukungan dari brand smartphone
pada saat yang bersamaan juga mulai meningkat. Hal ini dibuktikan dengan perilisan
beberapa Gaming Phone seperti Xiaomi Black Shark pada April 2018, yang
diikuti oleh Asus ROG Phone 1 pada Oktober 2018.
Pertumbuhan jumlah pemain akhirnya mendorong adanya pengembangan fitur baru seperti Multi-Player (game yang dapat dimainkan oleh banyak pemain). Beberapa game seperti Minecraft, Mobile Legends, League of Legends: Wild Rift, serta Free Fire merupakan beberapa game yang menggunakan fitur tersebut. Dari sekian banyak game yang dapat diunduh di Google Playstore dan juga Apple App Store, Free Fire menjadi salah satu game yang paling banyak dimainkan di Indonesia.
Free Fire
merupakan game bergenre Battle Royale yang dirilis pada 30 September
2017. Pada tahun 2019, game ini menjadi salah satu game yang paling banyak
diunduh yaitu sebanyak 85 Juta kali. Game tersebut akrab di kalangan remaja
hingga anak di bawah umur.
Fitur yang cukup menarik perhatian pemain di beberapa game termasuk Free Fire adalah top up. Top up merupakan aktifitas membeli uang virtual di dalam game. Biasanya, gamer melakukan top up agar mendapatkan barang yang diinginkan, naik level lebih cepat, hingga membuka fitur yang masih terkunci. Fitur tersebut menjadi sorotan khalayak umum akibat kasus orang tua memarahi anak akibat top up game senilai Rp 800 ribu di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara.
Alif Arswedi,
salah satu gamer aktif menyampaikan bahwa pembuat game membutuhkan uang,
dan Top up merupakan salah satu cara untuk mendapatkannya. “Karena developer
game juga mencari uang dari game yang dibuatnya, jadi top up juga termasuk
bentuk support lain selain memainkan game, ” tambahnya.
Dalam Game Free Fire, top up dapat digunakan untuk membeli karakter, skin, hingga item ekslusif yang mendukung gameplay. Hal ini pun memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan. Beberapa menganggap praktik tersebut dapat membuat gamer menjadi lebih konsumtif. Hal ini dibuktikan beberapa kasus top up game dengan jumlah nominal yang besar oleh anak di bawah umur.
Sistem top up Free Fire melalui penyedia jasa vouher game online, Unipin. (Sumber: Arvy Zulfan) |
Sebut saja kasus yang dialami Ririn Ike Wulandari (37) seorang ibu asal Kediri, Jawa Timur. Dikutip dari laman kompas.com, ia mendapati tagihan "Game Online" sebesar Rp 11 Juta. Ia pun mengeluhkan tagihan yang cukup besar setelah mengetahui anaknya melakukan Top up diamond game.
Disamping
keuntungan yang disediakan ekslusif setelah Top Up, kurangnya kedewasaan dari
pemain juga memicu pembelian uang virtual dalam jumlah yang banyak. Bukan hal
baru, sejak awal kejayaan Free Fire dan genre MOBA (Multiplayer Online Battle
Arena), sudah terjadi beberapa kasus top up secara berlebihan.
Menanggapi
maraknya top up berlebihan oleh anak di bawah umur, Dr. Susanto selaku Ketua
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia)
menyampaikan tanggapannya. Dilansir dari detik.com, ia berharap agar semua
pihak bersama-sama melindungi anak. "Jadi dalam kasus tersebut,
semua mesti memiliki komitmen yang sama untuk melindungi anak,” imbuhnya.
Farhan Dzaky,
seorang gamer mengatakan bahwa orang tua harus dapat melakukan fungsi
pengawasan terhadap buah hatinya. Hal ini mengingat anak anak adalah sebaik
peniru dan mempelajari dari apa yang dilihatnya. “Seharusnya mereka (anak-anak)
mendapatkan kontrol penuh dari orang tua mereka,” tambah farhan.
Untuk mengatasi top
up berlebihan oleh anak anak dan hal negatif lainnya, Farhan setuju apabila
nominal pembelian dibatasi untuk anak di bawah umur. “Sebaiknya diberikan
peringatan batas usia terhadap akses game dan pembatasan top up sebesar Rp 100
ribu saja. Hal ini dilakukan agar tidak merugikan sang Anak dan orang tuanya,”
tutupnya.
Cara tersebut
hanya akan berhasil apabila komunikasi anak dan orang tua berjalan dengan baik.
Selain itu, proses mendidik juga harus dilakukan secara kontinyu melalui
pemberian keteladanan yang baik. Orang Tua harus memberikan contoh sehingga
sang anak mampu “menduplikasinya” sebagai perilaku yang baik.
Pada akhirnya, anak-anak
di era millenial sulit dipisahkan dari teknologi termasuk Smartphone dan
Internet. Sudah menjadi kewajiban bagi orang tua untuk mengontrol aktivitas
gaming anak, aktivitas fisik, dan aktivitas sosial demi mengimbangi moral serta sikap anak yang kelak diharapkan menjadi lebih baik. (Arvy Zulfan Akhmad Aulia)
Editor: Mohamad Rizky Fabian
Tulis Komentarmu