Realita Pembelajaran Daring bagi Anak-Anak Kelas Menengah ke Bawah
Anak-anak berbagi gadget demi mengikuti pembelajaran jarak jauh. (Sumber: Dias Nurul) |
Pemerintah
mengumumkan dua pasien positif Covid-19 pertama di Indonesia pada (2/3/2020).
Sejak saat itu, jumlah kasus positif terus bertambah hingga memberikan dampak
pada berbagai sektor kehidupan manusia, termasuk pendidikan.
Pada
tahun 2020, pemerintah membuat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) di beberapa wilayah yang mengalami kasus positif Covid-19 tertinggi. Selanjutnya,
di tahun 2021, kebijakan tersebut diganti dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM). Oleh sebab itu, beberapa tempat dan sarana prasarana umum
hanya bisa dibuka sebagian saja, bahkan banyak yang harus ditutup. Mulai dari
rumah sakit, tempat wisata, mal, hingga sekolah.
Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengambil keputusan untuk menerapkan
pembelajaran jarak jauh agar proses pendidikan tidak berhenti meski sekolah
ditutup. Ada beberapa cara yang diterapkan seperti menggunakan ponsel dan
aplikasi internet, kunjungan guru ke rumah murid, penugasan dari sekolah yang
dibawa ke rumah, serta menggunakan program televisi atau radio sehingga guru
tetap dapat berhubungan dengan murid, meski tidak bertemu secara langsung.
Tidak
semua murid dan guru di Indonesia memiliki keberuntungan yang sama. Dengan kata
lain, ada beberapa golongan masyarakat yang justru tidak diuntungkan karena
kebijakan tadi. Menurut data Kemendikbud pada April 2020, terdapat 40.779 atau
18% sekolah dasar dan menengah tak memiliki akses internet. Sementara itu,
sebanyak 7.552 atau sekitar 3% sekolah belum memiliki fasilitas listrik. Mengacu
hasil riset yang dikeluarkan oleh ISEAS-Yusof Ishak Institute, ada 69 juta jiwa
menjadi kehilangan akses menuju pembelajaran dan pendidikan. Di sisi lain,
tentu keluarga yang lebih mapan lebih mudah beradaptasi dalam proses pembelajaran
jarak jauh ini. Pada akhirnya, hal tersebut akan mengakibatkan fenomena ketimpangan
dalam dunia pendidikan.
Sebagai contoh yaitu Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di wilayah ini pada tahun 2018-2020 mencapai 209.003 jiwa, yang mana 37,22% diantaranya masih duduk di bangku SD, 31,63% SMP, dan 25,03% SMA. Karena itu, banyak orang tua merasa ikut kesulitan dalam pembelajaran jarak jauh ini. Mengingat anak lebih banyak membutuhkan dukungan sarana prasarana, apalagi anak yang masih duduk di bangku SD harus lebih banyak diawasi.
Kesulitan itulah yang diungkapkan oleh Tuti,
salah satu Ibu Rumah Tangga di Kabupaten Pemalang. “Pembelajaran jarak jauh ini
justru membuat saya lebih pusing karena tidak hanya harus memikirkan bagaimana
anak saya bisa sekolah dan dapat menerima pelajaran dengan baik, tetapi juga
harus memikirkan sarana dan prasarana yang layak agar mereka dapat belajar
dengan optimal,” ungkapnya.
Pembelajaran jarak jauh membuat pengeluaran keluarganya
bertambah. Ia yang hanya mendapatkan penghasilan dari suaminya sebagai kuli
bangunan, harus membeli kuota dan membeli gadget yang layak. Hanya terdapat
satu gadget untuk digunakan bersama, padahal mereka mempunyai lima anak yang
semuanya bersekolah. Ketika suaminya tidak sedang mengerjakan proyek dan
keuangan menipis, anak-anaknya akan melakukan pembelajaran daring di tempat
yang menyediakan Wi-Fi berbayar. Golongan menengah yang membuka tempat ini,
biasanya mematok harga dengan hitungan jam.
Di Pemalang khususnya di desa terpencil yang
mempunyai jaringan internet kurang kuat, tentu tempat semacam tadi sangat
membantu mereka yang kekurangan akses dalam pembelajaran jarak jauh. Meski
begitu, masih banyak orang tua yang belum berkesempatan untuk memanfaatkannya
secara maksimal, lagi-lagi disebabkan oleh masalah ekonomi.
Hal ini diungkapkan oleh Siti yang berprofesi
sebagai Ibu Rumah Tangga. “Saya sih bergantung dengan pendapatan setiap
hari. Seandainya sudah cukup untuk makan hari ini dan besok, sisanya bisa
digunakan untuk beli voucher Wi-Fi di rumah tetangga untuk anak sekolah. Apabila
tidak ada uangnya, ya anak-anak saya di rumah,” ujar Siti.
Memiliki dua orang anak yang masih duduk di
bangku SD, tidak menjadikan Siti memaksakan kondisi keuangan keluarganya.
Selain itu, ia juga mempertimbangkan usia anaknya yang masih belia. Baginya, pada
usia tersebut, sekolah daring belum menjadi sesuatu yang terlalu penting karena
anak-anak cepat bosan.
“Anak-anak usia segitu tahunya cuma main.
Kalau dipegangin gadget, ya susah untuk serius belajar atau malah bosan dan
rewel duluan. Mending ga usah ikut
kelas daripada buang-buang uang buat beli voucher aja,” tambahnya.
Hal semacam itulah yang menjadikan sekolah
jarak jauh semakin dilematis. Anak-anak yang seharusnya fokus sekolah daring di
tempat Wi-Fi berbayar, justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk bermain gim.
“Kalau sudah tidak ada kelas, ya main PUBG atau
Free Fire. Sayang vouchernya karena bisa dipakai satu jam. Biasanya kelas cuma
berapa menit doang,” ucap salah satu
anak.
Kebijakan pemerintah dalam menangani krisis pada
sektor pendidikan mengakibatkan berbagai dampak. Namun, melihat fenomena di
atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran daring ini justru merugikan
masyarakat golongan menengah ke bawah. Mereka harus memikirkan agar anak-anaknya
bisa mendapatkan pendidikan yang layak, padahal untuk makan saja seringkali
kurang. Meski pemerintah telah memberikan
subsidi berupa uang hingga kuota, bantuan tersebut juga masih belum tersalurkan
secara optimal. Pada akhirnya, ketimpangan ekonomi dan sosial akan melahirkan kesenjangan
pendidikan yang lebih besar, khususnya ketika masa pembelajaran jarak jauh seperti
ini. (Dias Nurul Fajriani)
Editor: Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu