Burnout di Kalangan Mahasiswa Semasa Pandemi
Ilustrasi mahasiswa melakukan kegiatan perkuliahan daring menggunakan komputer akibat pandemi. (Sumber: freepik) |
Sudah
setahun lebih semenjak virus Covid-19 memasuki Indonesia dan menyebabkan
pandemi. Tak hanya di Indonesia, pandemi ini juga terjadi di seluruh dunia yang
mengakibatkan banyak kegiatan menjadi terhambat, salah satunya adalah kegiatan
perkuliahan bagi para mahasiswa.
Mulai
bulan Februari hingga Maret tahun 2020, seluruh universitas di Indonesia
berbondong-bondong mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan perkuliahan secara
daring. Tentu saja perpindahan cara kuliah ini membutuhkan adaptasi terlebih
dahulu baik untuk mahasiswa maupun untuk pihak dosen. Tak jarang proses
adaptasi yang terjadi ini menimbulkan beberapa kendala yang bisa mengganggu
efektivitas pembelajaran, seperti belum siapnya laman pembelajaran dari pihak universitas,
hingga adanya dosen atau mahasiswa yang gaptek
alias gagap teknologi.
Selain
itu, juga terdapat masalah-masalah lain dalam pembelajaran daring di masa
pandemi ini. Misalnya, susahnya jaringan atau kuota yang habis begitu cepat.
Permasalahan ini dirasakan oleh Imam Hafiidz, seorang Mahasiswa S1 Matematika
Universitas Islam Nasional Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ia menghitung untuk
mengikuti video conference
perkuliahan dengan bertatap muka (on
camera), mengerjakan tugas, dan kebutuhan internet lainnya bisa
menghabiskan hampir 50 GB dalam sebulan. Sebaliknya, subsidi kuota yang
mahasiswa dapatkan dari program bantuan pemerintah hanya sebesar 15 GB per
bulannya.
Shinta
Rizkiani, seorang Mahasiswi S1 Manajemen Universitas Diponegoro (UNDIP),
memiliki cerita yang berbeda. Saat diwawancara pada hari Selasa (1/6) yang
lalu, ia mengatakan bahwa di UNDIP memiliki kebijakan untuk tidak terlalu lama
melakukan video conference karena
takut akan membebani. Di satu sisi, hal ini merupakan solusi dari borosnya
kuota internet yang terpakai untuk melakukan kuliah daring, tetapi pembatasan
waktu untuk melaksanakan kuliah secara sinkron tersebut, bisa berakibat pada
kurangnya penyampaian dan juga pemahaman materi perkuliahan. Untuk lebih
menunjang pemahaman, sebagian besar dosen akan memberikan tugas untuk
dikerjakan mahasiswa. Dengan begitu, diharapkan mahasiswa dapat mempelajari
materi secara mandiri sembari mengerjakan tugas.
“Dari
universitasku, melarang untuk terlalu lama ada di meeting room, apalagi kalau (harus) on video karena itu juga memakan kuota. Nah, dari situ timbul tugas
yang banyak,” ungkap Shinta.
Shinta
menjelaskan, banyaknya tugas yang ia terima sebagai dampak kebijakan menghemat
kuota mahasiswa, justru membuatnya kewalahan karena tenggat waktu yang berdekatan,
bahkan bisa bersamaan antara tugas yang satu dengan yang lainnya. Hal ini
semakin membuat ia merasa terbebani sebab materi yang diberikan oleh dosen juga
tidak bisa terserap dengan baik.
“Untuk
materi kuliah itu kadang kita ngga
menyerap dengan baik, (karena) dari jurusanku sendiri itu lebih (sering) ke
presentasi per kelompok. Peran dosen (di sini) itu ga terlalu banyak. Jadi, kita mengandalkan teman yang
pengetahuannya rata-rata juga sama,” jelas Shinta.
Hal
serupa juga dialami oleh Imam Hafiidz selaku Mahasiswa S1 Matematika.
Kebanyakan materi yang ia pelajari merupakan pemahaman atas konsep-konsep ilmu
matematika, yang mana hal tersebut tidak bisa berjalan secara maksimal ketika
perkuliahan secara daring meski tugas yang diberikan tidak sebanyak ketika
perkuliahan luring.
“Kalo udah masuk semester tiga atau
semester empat, sudah mulai
mengalami kesulitan sih karena banyak materi yang pelu dijelaskan lebih
rinci dan mungkin itu lebih enak ketika dijelaskan pada saat (kuliah) tatap
muka secara langsung,” jelasnya.
Imam
juga mengungkapkan kendala dalam perkuliahan yang ia rasakan. “Untuk
tugas-tugasnya itu tidak terlalu banyak, tetapi kita dituntut untuk bisa explore secara mandiri, seperti kita
mempelajari materi-materi baru yang belum tentu kita paham betul, dan juga
belum tahu jawaban kita itu benar atau salah karena ketika mengumpulkan jawaban
kita tidak diberikan feedback oleh
dosen,” ungkap Imam.
Meski
sama dari bidang studi saintek, Arif Wicaksono selaku Mahasiswa S1 Teknik Sipil
Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) Semarang, mengaku mengalami kendala
perkuliahan yang berbeda. “Teknik sipil sendiri ‘kan kebanyakan (butuh) praktik
ya. Jadi, sempet ada beberapa
praktikum yang diundur atau disesuaikan agar tetap taat pada protokol kesehatan,
tetapi esensi dari materi tersebut tetap aman,” jawab Arif.
Ia
juga membagikan bagaimana kesulitannya dalam menghadapi tugas perkuliahan yang
menumpuk dan membuatnya lelah secara fisik dan psikis alias burnout. “Karena (kuliah) online,
semua (materi) isinya tugas. Sementara itu, di rumah belum tentu bisa
menciptakan suasana belajar yang baik sehingga kita kesulitan dalam
menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan,” ujar Arif.
Susahnya
menciptakan suasana belajar saat perkuliahan daring juga dirasakan oleh Fina
Nurliana, Mahasiswi S1 Sosiologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. “Kemarin
waktu masih berangkat ke kampus untuk kuliah luring, laptop jarang dipakai
ya, terus kita tiba-tiba dituntut untuk kuliah di rumah sendirian, pakai
laptop terus. Menurutku, itu buat kaget banget sih, susah penyesuaiannya, apalagi ketika masih awal-awal,” jelas Fina.
Namun,
dari segi materi dan kegiatan perkuliahan, Fina sadar jika yang ia alami di
perkuliahan daring ini tidak seberat dengan teman-teman yang berada di bidang saintek
dengan banyak praktikum. “Kalau dari aku (yang soshum), (perkuliahannya) bisa
dibilang lebih ringan daripada temen-temen yang saintek karena ga ada praktikum. Jadi, kita bisa
belajar materi kuliah sendiri,” jelas Fina sesuai sudut pandangnya.
Fina
juga menambahkan bahwasanya ia justru mulai nyaman dengan perkuliahan daring di
masa pandemi ini. “Terus makin ke sini juga makin nyaman buat kuliah online walaupun banyak materi kuliah
yang ga paham. Kalau ujian, pasti enak online daripada (waktu) offline,” tambah Fina.
Meskipun
mengaku mulai nyaman dengan perkuliahan daring ini, Fina mengaku bahwa ketika awal
sistem kuliah daring ini dilaksanakan, ia sempat kewalahan karena tugas-tugas
yang diberikan sangat banyak demi mengejar materi perkuliahan. Untungnya, saat
ini pengadaan tugas-tugas tersebut sudah diringankan.
“Kalau
tugas sih dulu banyak waktu
awal-awal, setiap mata kuliah ada tugasnya, dan dalam satu hari itu bisa sampai
ada tiga kelas dengan mata kuliah yang berbeda. Untungnya, mulai masuk ke
semester tiga, setelah ada diskusi dengan pihak dekan, tugas-tugas jauh lebih
ringan, ya walaupun materi tetep ga terlalu paham,” jelasnya.
Perkuliahan
dalam jaringan ini membawa dampak negatif maupun positif dalam pelaksanaannya.
Tentu saja masih banyak yang harus dibenahi oleh berbagai pihak terkait kegiatan
belajar mengajar yang berubah karena masa pandemi ini, baik itu dari pihak
pemerintahan, tenaga pengajar, maupun dari mahasiswa itu sendiri. Perubahan ini
dibutuhkan untuk menghindari mahasiswa yang merasa burnout, tetapi
penerimaan materi juga tetap harus berlangsung secara optimal. (Bimo
Yogatama)
Editor:
Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu