Dilema Buku Bajakan; Antara Penulis, Penjual, dan Pembeli
Suasana salah satu toko buku di Shopping Center (Sumber: Amelia Maulidina) |
Buku telah menjadi bagian bagi
kehidupan, mulai dari memberikan ilmu hingga penghiburan. Para penulis dan
penerbit bekerja bersama melahirkan sebuah karya, akan tetapi usaha tersebut
masih kurang mendapat penghargaan dari masyarakat.
Seperti dikutip dari postingan Boy
Candra dalam akun Twitternya @dsuperboy (31/3/2020) menyebutkan, “Kasian
penerbit. Sudahlah penjualan buku terganggu sebab wabah, harus tetap ngasih gaji pegawai. Sekarang
orang-orang nggak bertanggung jawab
malah semakin rajin menyebar PDF bajakan. Udah nggak ada hati nih orang-orang.”
Boy Candra sebagai seorang penulis
mengungkapkan kekesalannya terhadap masyarakat yang memilih menggunakan buku
bajakan dibandingkan dengan membeli buku original yang resmi dari penerbit,
meskipun sebenarnya sebagai penulis ia sudah lelah mengedukasi masyarakat
mengenai buku bajakan.
Dilansir dari Radar Jogja (28/11/2019),
dalam sidak dan sosialisasi mengenai buku bajakan di kawasan Shopping Center,
hampir 90 persen buku yang dijual merupakan buku bajakan. Juru bicara
Konsorsium Penerbit Jogjakarta, Hinu OS, menyebutkan bahwa akibat dari
perdagangan buku bajakan ini sudah menimbulkan kerugian yang cukup besar,
sekitar 13 miliar rupiah untuk total kerugian dari 13 penerbit yang bukunya
diperjualbelikan di kawasan Shopping Center. Hal tersebut tentu berdampak besar
bagi pihak penulis dan juga penerbit.
Dalam praktik jual beli buku, apabila
melihat dari sisi penulis dan penerbit tentu menginginkan karyanya dihargai
dengan cara masyarakat membeli buku yang original resmi dari penerbit, akan
tetapi apabila melihat dari sisi masyarakat yang membeli dan juga penjual
tentunya terdapat alasan tersendiri mengapa penjual terus menjajakan buku
bajakan dan masyarakat pun terus membelinya.
Menurut Masyita, salah seorang
mahasiswi Universitas Padjajaran, buku bajakan lebih dipilih karena lebih murah
sehingga lebih menghemat pengeluaran, walaupun jika dibandingkan dengan buku
original yang resmi dari penerbit kualitasnya jelas berbeda jauh dan seringkali
terdapat kecacatan di dalamnya.
Meskipun begitu, sebagai mahasiswa Ia tetap lebih memilih menggunakan buku bajakan dibandingkan dengan membeli buku original yang resmi dari penerbit. “Soalnya kan kita sebagai mahasiswa, buku yang diwajibkan sama dosen itu nggak cuma satu, kalo beli buku asli budgetnya jadi banyak banget, jadi mending beli buku bajakan aja,” imbuh Masyita.
Melihat dari segi penjualan,
perbandingan keuntungan antara penjualan buku bajakan dan buku original resmi
dari penerbit sangatlah signifikan. Budi Sulistyo, salah satu karyawan toko
buku di Shopping Center menjelaskan bahwa buku bajakan lebih banyak peminatnya
dibandingkan dengan buku-buku original resmi dari penerbit, terlebih lagi di
kalangan mahasiswa. Hal ini membuat penjual buku lebih banyak menyediakan buku
bajakan daripada buku-buku original resmi dari penerbit.
Peredaran buku bajakan memang menjadi
dilema tersendiri di kehidupan masyarakat. Di satu sisi pemerintah ingin
memberikan akses bacaan berkualitas melalui buku-buku resmi dari penerbit, akan
tetapi di sisi lain masyarakat memerlukan bacaan yang terjangkau. Namun, pada
kenyataannya buku-buku resmi sepenuhnya merupakan kuasa dari penerbit karena
penerbit yang mengatur biaya cetak, pajak, hingga royalti kepada penulis yang
tentunya membuat buku resmi yang diperjualbelikan di toko buku menjadi semakin
mahal harganya.
Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 mengenai hak cipta, untuk menekan peredaran
buku bajakan. Akan tetapi pada praktiknya sangat sulit untuk menekan peredaran
buku bajakan, karena masyarakat sendiri menilai penggunaan buku bajakan
merupakan hal yang biasa. “Sulit kalo pedagang di sini nggak jual buku bajakan
sama sekali, dulu itu ada sidak buku bajakan di sini, pasti ada yang kena
denda, tapi nanti setelahnya bakal balik jualan buku bajakan lagi,” tutur Budi
Sulistyo.
Salah satu narasumber, seorang karyawan
kios buku di wilayah Terban yang tidak ingin disebutkan namanya menuturkan
bahwa pendapatan dari kios sangat bergantung pada penjualan buku bajakan,
karena sebagian besar pembeli yang merupakan mahasiswa lebih memilih membeli
buku bajakan dengan kualitas yang jauh lebih rendah dibandingkan membeli buku
bekas yang original.
“Kalau dibandingin antara buku bekas
yang original sama buku bajakan, sebagian besar keuntungan emang dari penjualan buku bajakan dan kalau takut kena sanksi dari
pemerintah ya tetap takut, tapi mau gimana lagi, pembeli kan lebih banyak yang
milih beli buku bajakan dan kita sebagai penjual hanya memberikan apa yang
diinginkan pembeli. Kita makan juga dari hasil jual buku bajakan itu, jadi dilema
juga antara jual bajakan biar bisa makan atau harus ikut pemerintah biar aman
dari sanksi tapi nanti anak-anak bisa kelaparan,” jelas karyawan tersebut.
Keberadaan buku bajakan memang menjadi
perdebatan dan dilema dalam masyarakat, tidak dapat dipungkiri jika keberadaan
buku bajakan menjadi ancaman bagi pihak penulis dan penerbit karena keuntungan
dari royalti penjualan menjadi menurun. Namun, di sisi lain penjual dan pembeli
memilih buku bajakan bukan tanpa alasan. Sebagai pembeli, masyarakat
membutuhkan bacaan yang berkualitas juga terjangkau dan penjual sendiri hanya
menyediakan apa yang banyak dipilih oleh pembeli karena penghasilannya dipengaruhi
oleh minat pembeli.
Sehingga peran pemerintah di sini
sangat penting untuk menjembatani seluruh pihak, agar pihak penulis dan
penerbit tetap mendapat royalti secara utuh, tetapi pembeli juga dapat
mendapatkan bacaan berkualitas dengan harga terjangkau sehingga penjual tetap
mendapat keuntungan penjualan tanpa harus dilema antara keuntungan dan mematuhi
peraturan pemerintah. (Amelia Maulidina)
Editor: Wafa' Sholihatun Nisa'
Tulis Komentarmu