Praktik Kolusi di Mata Civitas Academica
Ilustrasi kolusi (Sumber: Nasional Tempo) |
Saat ini, kolusi menjadi kata yang cukup familiar didengar oleh berbagai masyarakat, termasuk civitas academica. Khuswatun
Hasanah, salah satu tenaga pendidik Jurusan Ilmu Komunikasi UPN “Veteran”
Yogyakarta menilai kolusi merupakan bentuk kerja sama, tetapi dengan tujuan
untuk menjatuhkan. Sebab, kolusi sendiri lebih mengarah pada sebuah
persengkongkolan dengan konotasi negatif.
"Misal,
ada kekerasan seksual di sebuah intansi atau organisasi, lalu kolusi terhadap
media agar tidak terjadi pemberitaan ya. Kadang ada yang disertai
gratifikasi," kata dosen yang akrab disapa Mbak Uswah tersebut.
Dilanjutkannya,
bahwa ada banyak praktik kolusi yang diwarnai pemberian uang atau
fasilitas-fasilitas tertentu. “Tidak usah jauh-jauh. Misalnya kong kali kong
dalam pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang memakai calo. Apalagi calonya
dari internal kepolisian itu sendiri,” imbuh Uswah.
Merujuk
pada UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, kolusi
sendiri diartikan sebagai bentuk permufakatan atau kerja sama secara melawan
hukum antar penyelenggaraan negara dan pihak lain, masyarakat, dan atau negara.
Berdasarkan hal tersebut, Uswah sendiri memberikan pandangannya jika ditanyai
contoh kolusi di kehidupan sehari-hari mungkin justru akan mengarah pada Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hal ini dikarenakan bentuk contohnya yang simpel
dan tidak ada persekongkolan besar yang sampai melanggar hukum penyelenggaraan
negara.
Sementara
itu, Ryda Kartika, salah satu mahasiswi anggota BEM Fisip UPN “Veteran”
Yogyakarta menyampaikan persepsinya mengenai praktik kolusi dalam sebuah
organisasi kemahasiswaan. Menurutnya, organisasi kemahasiswaan dapat dikatakan
rentan terjadi praktik kolusi di dalamnya. Ia mengatakan, “Dibilang rentan
bisa, karena individu (organisasi) berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda. Mungkin ada yang memiliki komunitas di luar organisasi dan punya
pandangan (negatif) sendiri. Nah, takutnya
tujuan atau pandangannya itu melawan hukum dan ada yang dibawa ke organisasi
tersebut.”
Dirinya
menggarisbawahi, bahwa tujuan organisasi kemahasiswaan sendiri merupakan tempat
mengembangkan aspirasi, inisiasi, dan kreativitas mahasiswa yang intinya
relevan dengan tujuan pendidikan Perguruan Tinggi. Perlu diingat juga bahwa
peran dan fungsi mahasiswa ialah sebagai iron
stock, agen of change, moral force, dan lain-lain.
“Dari
beberapa pengertian tersebut, bisa dibilang juga kalau mahasiswa sendiri itu
dikenal anti KKN (Korupsi Kolusi Nepotisme), karena mereka sudah sadar apa
perannya tadi. Jadi kalau ada praktik kerja sama, nggak sampai mengarah ke ranah hukum,” jelas mahasiswi Administrasi
Bisnis tersebut.
Serupa
dengan Ryda, Via Municha, mahasiswi Universitas Negeri Malang mengaku bahwa
praktik kolusi sendiri merupakan kerja sama yang mengarah pada pelanggaran
hukum. “Kalau sampai mengarah ke hukum sih
enggak. Tapi memang ada kerja sama antar organisasi kemahasiswaan yang
tujuannya untuk memperluas kekuasaan,” ungkap mantan anggota sebuah organisasi kemahasiswaan
yang tak ingin disebutkan namanya tersebut.
“Salah
satu organisasi kampus sebelum periodeku memang sempat didominasi sama anggota
organisasi luar kampus, mulai dari ketua sampai bawahannya. Jadi susah misal
mau daftar ke organisasi kampus yang itu kalau bukan berasal dari organisasi
luar kampus yang kusebut tadi,” imbuhnya. Dirinya mengaku kini tak tertarik
lagi mengikuti organisasi kampus tersebut dan memilih bergabung dengan sebuah
organisasi bidikmisi.
Makna
dan contoh dari kolusi sendiri memang beragam. Tergantung kolusi yang
dimaksudkan merupakan kolusi yang seperti apa. Uswah memaparkan, “Kalau pakai
versinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nanti kolusinya beda lagi, ada yang
sampai perbuatan melawan hukum ya.” Yang perlu diperhatikan ialah bahwa antara
korupsi, kolusi, dan nepotisme seringkali sulit dipisahkan. Hal ini dikarenakan
bisa saja ada multikejahatannya, seperti kolusi yang bercampur korupsi, kolusi
bercampur nepotisme, dan lainnya.
“Saran
saya buat mahasiswa agar tetap jadi seseorang yang jujur seberat apapun
godaannya. Karena berani jujur itu hebat,” pesan Uswah. Di samping itu, Ryda
juga memberikan pesan dan sarannya dari sudut pandang sebagai anggota
organisasi kemahasiswaan, “Harus membangun kesadaran, tahu apa tujuan kita ikut
organisasi tersebut, dan apa yang akan kita jalani. Kalau sudah tidak
sefrekuensi sama tujuan organisasi ya susah juga,” jelas mahasiswi tahun
angkatan 2018 tersebut. “Terlebih waktu dilantik di sebuah organisasi itu kan
ada aturan seperti nggak boleh mendahulukan
kepentingan pribadi diatas kepentingan organisasi. Ke depannya kalau melanggar
pasti ada konsekuensi. Aku menekankan di bagian membangun kesadarannya itu
sendiri,” imbuhnya ketika diwawancarai melalui aplikasi Line. (Arie Sulistyaning)
Editor: Wafa' Sholihatun Nisa'
Tulis Komentarmu