MENILIK 5 FILM INDONESIA YANG MEMANG LAYAK DITONTON
Rekomendasi 5 Film Indonesia (Sumber: olahan gambar Arinda Qurnia)
Film Abracadabra karya Faozan Rizal berdurasi 86 menit (Sumber: Layar.id) Rekomendasi pertama adalah film bergenre fantasi garapan Faozan Rizal. Film ini menggandeng aktor kenamaan seperti Reza Rahadian, Butet Kertaradjasa, Dewi Irawan, Jajang C Noer hingga Lukman Sardi. Di tengah pilihan tayangan drama azab yang tidak masuk di nalar, film ini memberikan angin segar karena tidak setengah-setengah ketidakrasionalannya. Seolah selaras dengan lagu temanya, Ngalor Ngidul (red: ke utara ke selatan) oleh Kill The DJ, yang bermakna ketidakjelasan dalam bergerak atau berpindah-pindah.
|
Film
27 Steps of May karya Ravi Bharwani dengan
durasi 112 menit (Sumber: Kompas.com) |
Film
ini merupakan kolaborasi Ravi Bharwani (sutradara), Rayya Makarim (penulis),
dan Wilza Lubis (produser). Karya yang dikemas dalam genre drama psikologis ini
, mengangkat isu pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan. Tidak
main-main, sang penulis, Rayya Makarim, melakukan riset mendalam untuk
memperoleh gambaran perasaan dan trauma penyintas kekerasan seksual. Sehingga
isu sensitif yang masih dianggap tabu oleh masyarakat dapat tereksekusi baik
dan tidak terkesan asal-asalan.
Bermula
dari tokoh May, siswi SMP, yang mengalami pelecehan seksualoleh seorang pria
saat ia baru pulang dari pasar malam
menuju rumahnya melalui gang sempit. Hal tersebut menjadi pemicu perubahan pada
dirinya. May lantas mengurung diri di kamar, kesulitan berekspresi dan
berbicara, hingga memutuskan untuk selalu menggunakan pakaian berlengan panjang
dan kaos kaki panjang.
Selama
delapan tahun May (diperankan Raihaanun) dan Ayahnya (diperankan Lukman Sardi) berjuang
untuk melanjutkan hidup pasca kejadian. Namun konflik justru dimulai secara
bertubi-tubi, mulai dari terbakarnya rumah tetangga May yang mengharuskannya
keluar kamar untuk menyelamatkan diri hingga kembali munculnya trauma May
ketika seorang pesulap mencium pipinya. Kejadian itu memukul dan menenggelamkan
May dalam memorinya di masa lalu tetapi sekaligus menjadi titik tolak dirinya
untuk sembuh dari traumanya.
“Judul
tersebut bukan hanya memiliki makna sebagai 27 langkah untuk May keluar dari
kamar, melainkan melambangkan langkah – langkah yang diambil oleh May untuk
keluar dari dinding yang dia ciptakan dan untuk mengatasi trauma yang
dirasakan,” pendapat Dovana pada tugas analisis mata kuliah Kajian Sinema di
UPN “Veteran” Jawa Timur.
Sebanding
dengan upaya penyajiannya, film ini meraih beberapa penghargaan. Diantaranya
adalah Piala Citra 2019 untuk
Pemeran Utama Perempuan Terbaik, Piala Maya 2020 untuk
Aktris Utama Terpilih dan Aktor
Utama Terpilih, dan peraih Pemeran Pasangan Terbaik dan Pemeran
Utama Pria Terbaik pada ajang Indonesian Movie Actors Award 2020.
Sekala Niskala (2018)
Film Sekala Niskala berdurasi 83 menit (Sumber: Geotimes)
Film
garapan Kamila Andini dengan latar kebudayaan di Bali ini dibintangi oleh Happy
Salma, Ayu Laksmi, Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena, Ni Kadek Thaly Titi
Kasih, dan I Ketut Rina. Sekala Niskala merupakan dua kata yang bermakna
kehidupan yang mempercayai dua hal dengan seimbang. Film ini sarat akan
kehidupan budaya, mitos, hingga kemagisan dalam kemasan visual yang eksotis dan
surealis.
Kisah
yang tentang sepasang anak kembar bernama Tantri dan Tantra yang berusia 10
tahun. Meski kembar, watak keduanya tampak bersebrangan. Tantri memiliki
pembawaan yang tenang tak seperti adiknya, Tantra, yang begitu aktif bahkan
cenderung nakal. Sayangnya, Tantra mengalami nasib malang lantaran dirinya
mengidap penyakit tumor ganas yang merenggut kemampuan kinerja indranya secara
bertahap. Di momen ini Tantri begitu terpukul dan depresi karena menyadari
bahwa waktunya bersama Tantra menuju habis.
Sisi
imajinatif pun dihadirkan di bagian ini sebagai pemaknaan atas kata sekala (nyata) dan niskala (tidak nyata). Dalam dunia imaji Tantri di setiap malam, dirinya
dan Tantra bermain layaknya semua baik-baik saja. Namun dunia itu lantas lenyap
setiap matahari mulai terbit. Keseimbangan disini diwujudkan dalam kepercayaan
pada mitos oleh masyarakat Bali namun tetap meyakini dari sisi logika keilmuan
seperti upaya pengobatan medis Tantra di rumah sakit.
“Bali dalam Sekala Niskala juga tak menawarkan
eksotisme turistik. Yang kita saksikan justru rumah kecil tanpa penerangan,
orang-orang miskin yang saban hari hanya makan nasi berlauk telur, dan rumah
sakit kelas dua—tempat segala kenangan, imajinasi, dan kegetiran itu hadir,”
tulis M Faisal di Tirto.id.
Tak hanya mampu menyihir
penonton, film ini pun mampu menarik daya di berbagai penghargaan. Diantaranya
adalah memenangkan The Grand Prix pada kategori Generation Kplus International Jury di ajang Festival Film Berlinale
ke-68 di Berlin, Adelaide International
Film Festival di Australia untuk kategori International
Feature Fiction Competition, nominasi Festival Film Tempo 2017, dan Best Youth Feature Film di Asia Pacific Screen Awards 2017.
Siti (2014)
Siti,
film karya Eddie Cahyono berdurasi 88 menit (Sumber: IDN Times) Meski
menjadi film keluaran enam tahun silam, Siti masih layak bahkan tetap
merepresentasikan isu klise yang marak terjadi. Film yang disutradari oleh
Eddie Cahyono ini mengisahkan kehidupan seorang wanita yang harus menjadi
tulang punggung keluarga dengan berbagai dilematika batinnya. Menghadirkan
Sekar Sari sebagai poros cerita bersama Ibnu Widodo, Bintang Timur, dan Haydar
Salishz, film ini terasa dramatis terlebih dikemas secara hitam putih. Siti
(diperankan Sekar Sari) merupakan wanita 24 tahun yang bersuamikan Bagus (Ibnu
Widodo) dan memiliki seorang anak bernama Bagas (Bintang Timur). Dirinya harus
memikul beban sebagai pencari nafkah lantaran sang suami mengalami kecelakaan
laut dengan kapalnya yang baru, sehingga membuatnya tidak mampu berjalan.
Nahasnya, kapal baru itu harus karam padahal dibeli dengan uang pinjaman.
Keadaan pun menuntut Siti untuk bekerja keras dengan menjual peyek jingking di
Pantai Parangtritis sepanjang hari dan malam hari sebagai pemandu di
remang-remangnya karaoke. Film
ini seolah menekankan bagaimana kedudukan dan peran perempuan di mata
masyarakat. Siti yang dituntut keadaan harus mencari uang, namun juga melawan
penilaian yang menyorot dirinya. Penggambaran rasa bimbang, gelisah, amarah
tersampaikan dengan baik dalam film ini. Keseimbangan terbentuk dengan hadirnya
tokoh dan adegan pencair suasana seperti Sri dan Bagas di tengah konflik yang
meruncing. Tak ayal jika film ini menyabet berbagai penghargaan. Di Festival Film Indonesia 2015 memenangkan kategori Film Terbaik, Penulis Skenario Asli Terbaik, dan Penata Musik Terbaik. Pada ajang Apresiasi Film Indonesia 2015 memenangkan kategori Film Fiksi Panjang Terbaik dan Poster Terbaik. Di kancah internasional meraih penghargaan sebagai Special Mention di 9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015, Best Scriptwriter Asian New Talent Award Shanghai International Film Festival 2015, Best Performance for Silver Screen Award Singapore International Film Festival 2014, dan Honourable Feature Mention di 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015. Penulis: Arinda Qurnia Editor: Syiva P.B.A |
Tulis Komentarmu