YaGalih, Bergulat Melawan Stigma Bong Suwung
Galih (kiri) saat melakukan pameran. (Sumber: Galih Pramudya Wardana Siswoyo)
“Aku
gak mau jadi emas, aku ingin jadi tahi yang bisa menghidupi tanaman di
sekitar,” tegas Galih soal prinsip hidupnya.
Meski
akrab dipanggil YaGalih, saya memilih menyapa pria 21 tahun ini dengan sebutan
Mas Galih. Ia adalah seorang pemuda asli Bong Suwung. Suatu kawasan yang dikenal
sebagai lokalisasi para pekerja seks komersil. “Sebenarnya sedih, bahkan
orang terdekatku juga seorang pekerja. Itu memang tuntutan perut untuk makan
dan kehidupan sehari-hari,” katanya.
Bong
Suwung berada di Kecamatan Jetis, Kelurahan Bumijo. Lokasinya terletak di antara
perbatasan Jlagran dan Badran. Keberadaannya memang kalah eksis jika
dibandingkan dengan Pasar Kembang (Sarkem). Bong Suwung lebih dikenal dengan
kawasan lokalisasi kelas menengah ke bawah. Meski demikian, praktik keduanya
sama-sama dianggap sebagai penyakit sosial dan perusak moral oleh kebanyakan
orang.
“Yang
aku sedihkan adalah komponen masyarakat di luar dunia prostitusi, tetapi
tinggal di Bong Suwung. Misalnya, anak-anak. Mereka jadi dipandang sebelah mata
karena orang-orang punya standar sosial sendiri. Orang-orang di sini dimasukan
dalam golongan bawah dan selalu dianggap kotor,” ungkap pria dengan nama
lengkap Galih Pramudya Wardana Siswoyo ini.
Ruang
untuk Anak-Anak, Kelas Senja Kantiwani
Hasil karya menggambar anak-anak di Kelas Senja Kantiwani. (Sumber: Galih Pramudya Wardana Siswoyo)
Berawal
dari kepedulian terhadap anak-anak di Bong Suwung, Galih bersama dua orang
rekannya menjalankan Kelas Senja Kantiwani. Kelas senja adalah wadah
pendidikan alternatif bagi anak-anak di Bong Suwung. Jumlah muridnya mencapai
50 orang. Layaknya gerakan alternatif, tidak ada batasan khusus mengenai kegiatan
yang dijalankan. Mulai dari menggambar, menonton film, menuntaskan tugas
sekolah, hingga membuat rujak. Semua bebas dilakukan. “Orang tua mereka tidak
bisa mengawasi setiap saat. Jadi, mereka menitipkan anaknya ke Kelas Senja,” jelas
Galih.
“Aku
suka ketika orang senang dan gak bisa melihat temen susah. Aku memiliki rasa
sensitif itu. Akhirnya jadi seperti semacam jeda juga untuk aku bisa main,”
tutur Galih menjelaskan alasannya menjalankan Kelas Senja Kantiwani dengan uang
pribadi.
Saya
sempat bertanya mengapa ia memilih untuk mengabdi seperti ini. Lalu Galih
bercerita tentang Pak Parjo, sosok yang mampu membuatnya terpanggil. “Dia salah
satu orang yang peduli dengan lingkungannya. Agar anak-anak Bong Suwung
memiliki aktivitas yang bermanfaat, dia mengajak les tinju. Pak Parjo juga
senang mengajak beli dan memelihara merpati. Dia memperkenalkan bahwa kita
harus merawat apa yang kita miliki. Seperti halnya sebuah kampung. Sebuah
ekosistem yang memang harus kita rawat dan jaga,” tutur Galih.
Meski
demikian, menjalankan Kelas Senja bukan tanpa kendala. Selain karena kesibukan
pekerjaan atau kuliah, sebagai pengajar mereka memiliki beban tersendiri untuk
bisa memberikan penjelasan mengenai Bong Suwung. “Orang tua kadang melepaskan
dan tidak memberi pengertian apa itu Bong Suwung. Ini yang sebenarnya aku
alami. Apa sih ngamar? Kenapa ya bisa ada tempat ini? Nah, itu yang harus
dijelaskan,” ungkap lulusan Jurusan Lukis Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR)
Yogyakarta ini.
Galih
menyayangkan bahwa Kelas Senja belum bisa memberikan pendidikan seks pada para
anak. Hal ini disebabkan ia dan dua kawannya masih belum menguasai materi. Pada
akhirnya, mereka sekadar meneruskan penjelasan umum bahwa Bong Suwung adalah
“pasarnya wong tuwo”. Sedangkan bagi mereka yang telah memasuki jenjang SMP,
diberikan penjelasan dari hati ke hati secara emosional. “Edukasi seks itu
penting, apalagi di daerah seperti ini,” tegas Galih.
Galih
ingin kampungnya lebih terlihat di mata masyarakat. “Dari stigma-stigma yang
aku dapat, bisa engga ya aku membuat kampungku ini terlihat. Orang tahunya Bong
Suwung adalah tempat prostitusi. Semakin ke sini, apa yang dibutuhkan Bong
Suwung adalah agar orang-orang tidak hanya melihat jeleknya prostitusi itu,”
tutur lulusan SMP Muhammadiyah 1 Yogyakarta ini.
Dunia
Seni, Tato, dan Ekspresi Diri
Proses menato yang dilakukan oleh Galih. (Sumber: Galih Pramudya Wardana Siswoyo) |
Salah
satu hal yang menarik perhatian saya adalah tato yang memenuhi badannya. Iseng
saya bertanya mengenai tato mana yang menjadi favoritnya. “Aku ada di kepala.
Burung itu simbol kebebasan ya. Kenapa di kepala? Karena merdeka sejak pikiran
itu penting menurutku,” jelas Galih sambil menyibakkan rambut untuk menunjukan
tato burung itu kepada saya.
Galih
juga bercerita bahwa tato yang dibenturkan dengan agama samawi memang
menyebabkan timbulnya stigma dari tato itu sendiri. Meski begitu, ia
menanggapinya dengan biasa-biasa saja. “Tato ini engga menghambat kita
melakukan aktivitas yang lain,” katanya.
Galih
juga seorang penato. Karirnya dimulai ketika ia magang di SURVIVE!Garage,
sebuah ruang alternatif komunitas. Dari yang awalnya menggunakan alat sederhana
buatan sendiri, sekarang Galih telah memahami standar keamanan dalam tato. Saat
ini, Galih memiliki bisnis tato bersama temannya meski sebenarnya ia sempat
memiliki studio sendiri. Pada waktu itu, terpaksa ia tutup karena pandemi.
Studionya tidak berpenghasilan, sementara banyak tuntutan pengeluaran. Ia
mengaku bahwa kala itu adalah salah satu masa terberatnya. “Dulu aku masih bisa
melakukan progam yang ingin aku lakukan. Sekarang gak bisa karena semua progam
itu kan dari uang pribadi ya. Paling berat adalah ketika suatu progam yang aku
lakukan itu tidak bisa sesuai ekspetasi,” katanya.
Tidak
hanya tato, Galih juga mendalami fotografi, videografi, hingga seni lukis. Seni
yang menurutnya santai menjadi alasan ia memilih menekuni bidang ini. “Waktu
itu juga banyak film. Contohnya, “Beautiful Loser”. Itu juga menginspirasi aku
buat memilih seni.”
Dalam
dunia seni yang ia geluti, Bong Suwung adalah salah satu sumber inspirasinya.
“Aku dan teman-teman dari Amikom berkolaborasi membuat film “Ngebong Melawan
Stigma”. Sebuah dokumenter mengenai Bong Suwung.”
Dari
beberapa kali pameran yang telah berhasil ia lakukan, pameran perdana menjadi
yang paling berkesan bagi dirinya. Meski sempat terkendala karena harus
mempresentasikan karya lukisnya dengan Bahasa Inggris, di sanalah untuk
pertamakali karyanya berhasil laku. Salah satu dosen asal Australia yang
mengatakan bahwa ia bisa berkembang dalam 10 atau 15 tahun mendatang selalu menjadi
pemicu semangatnya untuk terus berkarya. “Aku dari awal tertarik dengan rumah
karena aku memiliki trauma. Tentang orang tua yang komunikasinya gak bagus. Aku
gatau aku harus di posisi ibu, bapak, atau kemana. Akhirnya aku sama nenekku.
Aku menjelaskan bahwa yang ada di rumah itu aku,” tutur Galih saat menjelaskan
hasil karyanya.
Walaupun
begitu, ukuran prestasi bagi Galih bukanlah seberapa banyak pameran yang telah
ia lakukan. Baginya, prestasi terbesar adalah ketika ia bisa memiliki banyak
teman dan jaringan. Ia yakin bahwa lingkungan baru bisa membuatnya terus
berkembang. “Ketika aku masih bisa membuka satu pintu, berarti itu akan
mengantarkan aku pada pintu yang lain. Nah, prestasi itu yang harus aku dapat.
Jaringan itu,” kata pria kelahiran bulan Desember ini.
Pergi
untuk Kembali
Pada
umur 19 tahun, Galih memilih untuk meninggalkan Bong Suwung. Galih merasa tidak
bisa jika harus terjebak dalam kehidupan kampung yang sangat santai. “Kalau aku
gak ketemu SURVIVE!Garage atau temen-temen lingkup yang sekarang membangunku,
mungkin aku udah jadi apa gatau,” ungkap pria yang mengaku bahwa sebenarnya dirinya
adalah seorang pemalas.
Meski
saat ini sudah tidak tinggal di Bong Suwung, Galih terus aktif melakukan
kegiatan dan berhubungan dengan warga di sana. “Dulu itu memang setiap Jumat
ada mujadahan dan ternyata pengisinya adalah guruku di SMSR. Waktu itu guruku
bilang ‘masih ada bunga yang tumbuh di antara duri’. Ketika itu aku belum tahu
arti dari metafor ini.”
Banyak
kegiatan yang telah dilakukan Galih bagi kampungnya. Mulai dari membuat Kelas
Senja bagi anak-anak, sempat membuka usaha roti bakar untuk pemuda, hingga
menghasilkan karya seni. Semua itu tetap belum membuatnya puas. Ia ingin lebih
berkontribusi. Karena menurutnya, banyak potensi yang bisa digerakan di Bong
Suwung.
“Ketika
membuat progam, kita harus memiliki suatu patokan dan beban moral Bong Suwung
secara kolektif itu yang aku bawa. Kalau tanpa ada kontribusi yang lebih,
justru aku mengeksploitasi kampungku. Aku menjual kampungku untuk aku sendiri,”
jelas pria yang mengaku tidak menyukai keramaian ini.
Di
penghujung ceritanya, Galih mengisahkan momen-momen menyenangkan ketika ia
tinggal di Bong Suwung. Salah satunya adalah saat ia berulang tahun. “Ketika
itu para pengurus Bong Suwung iuran. Terus dikasih ke aku uangnya. Dikasih
rokok, roti, minum. Padahal aku sendiri lupa.”
Galih
menutup cerita dengan memberikan pesan kepada masyarakat luas. “Kalau mau lebih
tahu soal Bong Suwung, masuk dan main aja. Bong Suwung itu terbuka. Jangan
terus menghakimi orang-orang yang ada wilayah ini sebagai golongan
bawah.” (Delima Purnamasari)
Editor:
Syiva PBA
Tulis Komentarmu