Budayawan Muda, Eva Bastiarani Memperjuangkan Sanggar Tari Srimpi di Tengah Gempuran Modernisasi
Potret Eva, pelatih, dan anggota sanggar tari Srimpi yang akan mengikuti lomba (Sumber : dokumentasi pribadi Eva) |
Aktif
di dunia tari sejak kecil merupakan suatu hal yang sudah akrab dengan seorang
Eva Bastiarani. Wanita yang biasa dipanggil Eva ini adalah anak pertama dari
seorang pendiri sanggar tari ternama di daerah Pemalang, Jawa Tengah yaitu ibu
Ely Prihatin. Sanggar tari tersebut diberi nama Sanggar Tari Srimpi. Sebagai anak
pertama, ia diarahkan ibunya untuk menekuni dunia tari sejak SD. Tak heran jika
ia sudah terlatih dan paham betul mengenai budaya seni tari, khususnya tari
tradisional. Eva juga mengaku, awalnya dia tidak pernah memikirkan bahwa tari
akan menjadi masa depannya. Sejak SD hingga SMA ia hanya menari untuk lomba dan
sekedar hobi saja. Namun setelah lulus SMA, ibunya menyarankan agar masuk
kuliah di jurusan seni tari juga. Karena sudah menjadi kebiasaan dan menyukai
hal tersebut, akhirnya Eva masuk di jurusan pendidikan seni tari.
Setelah
lulus, wanita yang memiliki hobi travelling ini sempat
mengajar sebagai guru di salah satu SMP di Kabupaten Pemalang, meskipun
sekarang sudah tidak lagi. Selama menjadi guru, Eva juga menjadi salah satu
pelatih di Sanggar Tari Srimpi. Di usia ibunya yang sudah tidak lagi muda, dia
membantu mengelola sanggar tari
tersebut. Kini sang Ibu hanya sebagai penanggung jawab, sedangkan Eva
bertugas sebagai pelatih aktif. Saat ini ada sekitar 120 anak yang dilatih oleh
Eva, mulai dari usia 5 tahun hingga usia lanjutan seperti remaja dewasa. Tidak
sendiri, dia dibantu oleh adik bungsu serta dua rekannya yang juga merupakan
mantan anak didik sanggar tari tersebut.
Berdiri sejak tahun 1991, sanggar tari Srimpi sudah
menghasilkan banyak karya. Sebelum masa pandemi, sanggar tari ini selalu mengadakan pentas seni
yang diadakan akhir tahun dengan tujuan untuk mengevaluasi dari setiap latihan
selama satu tahun itu. Adanya pandemi tentu menghambat kegiatan ini. Sejak
dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri (Imendagri) Nomor 15 Tahun 2021
tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Corona
Virus Disease 2019 di Wilayah Jawa dan Bali berlaku mulai
tanggal 3 Juli 2021, kegiatan latihan di sanggar tari Srimpi menjadi sangat
terbatas.
Latihan biasa diadakan di hari Jumat untuk anak-anak SD sedangkan hari Minggu
untuk anak-anak SMP dan remaja dewasa. Biaya untuk menjadi anggota di sanggar
ini yaitu Rp30.000 per bulan dan Rp200.000 untuk pendaftaran. Namun, sejak
pandemi biaya bulanan tersebut diganti dengan biaya per pertemuan sebesar
Rp10.000. Bisa dibayangkan, hanya dengan dana tersebut Eva dan ibunya harus
membaginya untuk keperluan sanggar. Mulai dari konsumsi anak-anak latihan,
konsumsi pelatih, biaya pelatih, biaya sewa gedung, hingga biaya tata rias dan
busana seluruh anggota sanggar tari jika akan mengadakan pentas seni. Selain
itu, dana tersebut juga dijadikan sebagai sumber jika akan mengikuti lomba
mewakili Sanggar Tari Srimpi.
Tak
hanya pandemi, hambatan dan tantangan juga sudah muncul di awal pendirian
sanggar tari ini. Banyak omongan miring yang didapat, mulai dari suara
gending atau musik iringan tari yang mengganggu masyarakat sekitar
hingga slentingan tokoh agama setempat yang memberi nasehat
kepada ketua sanggar tari (ibu dari Eva) bahwa tari adalah haram hukumnya dalam
agama Islam, apalagi mengingat orang tua Eva sendiri sudah menunaikan
ibadah haji. Tak pantas jika mereka masih melakukan hal yang dilarang oleh
agama. Padahal jika dipikir secara logika, hal tersebut dilakukan
sebagai upaya pelestarian budaya.
“Ya biarin aja. Kita balas slentingan dan
kritikannya dengan karya,” ucap Eva.
Walaupun telah dinilai sebagai sanggar
tari unggulan di Kabupaten Pemalang, Eva mengaku belum diberikan hak dan
fasilitas yang memadai dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang.
Jika mengikuti lomba atas nama Kabupaten Pemalang, sanggar tari Srimpi hanya
diberikan “uang makan” saja. Parahnya, untuk mengadakan pentas seni di gedung
milik pemerintah pun Eva harus membayar sendiri uang gedung dan uang
kebersihannya.
“Gapapa saya nombok, yang
penting anak-anak senang. Liat mereka semangat latihan aja
saya udah bangga. Biasanya kalau lomba dan menang, memang
dikasih dari sana (pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Pemalang)
tapi ya sitik,” ujar Eva.
Kini Eva hanya bisa berharap agar
pandemi cepat berlalu sehingga kegiatan latihan di sanggar tari Srimpi dapat
berjalan lancar seperti sebelumnya. Anak-anak juga dapat mempelajari kebudayaan
dengan semangat untuk segera tampil di pentas seni nanti.
“Semoga pandemi segera berlalu supaya
anak-anak semangat lagi latihannya, soalnya udah pada nanyain juga kapan pentas
seninya,” pungkas Eva.
Jangan sampai karena terbatasnya kegiatan selama pandemi menjadi sumber dari pudarnya semangat generasi muda untuk melestarikan kebudayaan di tengah gempuran modernisasi yang ada di Pemalang, Jawa Tengah. (Dias Nurul F)
Editor: Syiva PBA
Tulis Komentarmu