Mayoran, Upaya Merawat Nilai Kebersamaan dan Kesederhanaan di Pesantren
Beberapa santri sedang makan mayoran. (Sumber: Dzika Fajar) |
Mayoran
adalah tradisi yang bisa ditemukan di banyak pesantren. Tradisi ini adalah
sebutan dari makan secara kolektif. Tidak sekadar makan bersama, tetapi makan
dalam skala besar dengan menggunakan satu wadah yang sama. Ini adalah ungkapan
rasa syukur santri sebagai seorang penuntut ilmu.
Fahmi,
seorang pegiat budaya sekaligus santri menuturkan pandangannya mengenai tradisi
ini. “Tradisi mayoran atau makan bersama sebetulnya sudah ada sebelum adanya pesantren.
Misalnya, orang dulu setiap masak pasti menyediakan makanan di sudut rumah
khusus untuk tamu yang berkunjung,” ujarnya pada Kamis, 17/2/2022 lalu.
Rasa
syukur atas berkat yang dilimpahkan Sang Pencipta diungkapkan dalam wujud makan
bersama. Mayoran biasanya dilaksanakan setelah menyelesaikan hajat tertentu, seperti
pada saat khataman Al-Qur’an. Dapat pula sekadar mengungkapkan rasa syukur karena
diberikan nikmat sehat dan bisa berkumpul dengan teman-teman.
Kebersamaan
menjadi nilai utama yang ada di pesantren karena mayoritas kegiatan dilakukan secara
berbarengan. Walaupun terkesan simpel, mayoran memiliki makna mendalam dalam
perspektif santri. Lauk makanan yang sederhana tidak menjadi masalah karena
yang paling penting adalah diberikan nikmat berupa kesehatan.
Menu
yang biasanya dimakan secara mayoran bervariasi. Biasanya sebelum melaksanakan mayoran,
suatu kelompok santri menentukan terlebih dahulu makanan yang akan disajikan.
Mulai dari sambal terong, syukur-syukur yang paling istimewa adalah menu
ayam.
Tradisi
makan bersama secara mayoran adalah budaya turun-temurun di pesantren. Dengan
demikian, melestarikan tradisi ini menjadi penting demi menjaga nilai secara
filosofis.
Urgensi
mayoran
Mayoran
juga memiliki makna simbolis. Pada dasarnya, manusia dimata Allah adalah sama. Saat
masuk pesantren semua santri dianggap sama. Tidak memadang suku, ras, maupun
golongan wujud dari senasib sepenanggungan. Tidak ada batasan yang memisahkan
kaya maupun miskin, tidak peduli anak pejabat, anak presiden, dan lain
sebagainya.
“Kita
diajarkan untuk tidak mementingkan diri sendiri dan keluarga, tetapi
mementingkan makhluk secara luas. Itu menjadi ajaran kanjeng Nabi, bahkan sahabat
Nabi yaitu Umar. Makannya itu harus bareng,” ungkap Fahmi.
Makan
secara bersama-sama bukan hanya dimaknai secara simbolis saja, tetapi di balik
itu semua terdapat sunah yang di ajarkan. Nabi Muhammad SAW menganjurkan
sahabat-sahabatnya untuk makan bersama sehingga terdapat keberkahan di dalamnya.
Oleh karena itu, kiai-kiai sebagai pimpinan di pesantren mengajarkan betapa
pentingnya menjalin kerukunan satu sama lain. Ini merupakan bentuk hablum
minannas atau menjalin dan menjaga hubungan sesama umat manusia.
Hikam,
salah satu santri mengatakan mengenai nilai kekeluargaan ini. “Dengan makan bersama,
rasa kekeluargaan di antara santri akan lebih terasa akrab,” ucapnya pada
Kamis, 17/2/2022 lalu.
Kebersamaan
membangun lingkungan egalitarian dalam kehidupan pesantren. Dengan lingkungan
yang egaliter, timbul perasaan simpati dan empati pada orang lain yang nantinya
bisa di aplikasikan di kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, santri akan
belajar pentingnya kerja sama, saling peduli, saling menyayangi, dan saling
menghormati satu sama lain.
Selain
nilai kebersamaan, implementasi dari kesederhanaan seorang santri dapat dilihat
dari kegiatan sehari-hari sebagai urgensi menciptakan karakter yang tidak
bermegah-megahan dan tidak berlebihan dalam menjalani kehidupan. Kesederhanaan
tersebut tercermin dari lauk makanan seadanya yang dimakan bersama secara
mayoran. “Lauk itu tidak penting, yang penting adalah kebersamaan,” ujar Hikam.
Dilema
mayoran
Merebaknya
virus Covid-19 menjadi penghalang dalam melestarikan tradisi mayoran ini. Dulu mayoran
bisa dilakukan di acara-acara besar, seperti hajatan hingga haul pesantren.
Sedangkan sekarang, hanya bisa dilakukan secara terbatas.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa dalam dua tahun terakhir, praktik tradisi mayoran mulai
menurun. Kekhawatiran akan hilangnya tradisi mayoran mulai timbul karena sudah
tidak masif dilakukan. Bukan hanya mayoran, transformasi salaman sebagai bentuk
bertegur sapa yang pada umumnya dilakukan bahkan sudah mulai luntur.
Dilema
antara usaha untuk antara menjaga tradisi dan menjaga kesehatan sama pentingnya.
Salah satu upaya untuk menjaga kedua aspek tersebut adalah senantiasa menjaga
kebersihan tubuh, lingkungan, dan makanan agar dihindarkan dari virus yang
hingga saat ini belum juga usai.
Merawat
tradisi memang baik, akan tetapi alangkah lebih penting untuk menjaga kesehatan.
Hal ini mengingat bahwa aktivitas di pesantren yang mayoritas dilakukan
bersama-sama. “Jangankan soal makan, salat saja lebih baik di rumah ketimbang
di masjid jika keadaanya memang benar-benar tidak memungkinkan,” pungkas Fahmi.
(Dzika Fajar Alfian Ramadhani)
Editor:
Delima Purnamasari
Tulis Komentarmu